Mata Inez melotot ke arah Katrin.
“Gila kamu. Masak nggak ikut. Gimana dengan klub
pecinta alam kita?”
“Aku sudah menyerahkan semuanya kepada Gun. Dia juga
berpengalaman dalam hal ini, Nez.”
“Karena Wicak, kan? Trin, hanya karena seorang Wicak kamu mengundurkan diri
dari kepemimpinan pendakian Gunung Ciremai kali ini. Mana Katrin yang aku kenal
menghadapi persoalan apapun.”
“ini soal perasaan, Nez. Walau sudah berpuluh momen pendakian gunung dan
penjelajahan hutan kujalani tapi aku tetap saja cewek normal yang kadangkali
bisa merasakan sakit hati. Cobalah mengerti, Nez”
“Aku ngerti, Trin. Tapi aku tak ingin Wicak menertawakan kekalahanmu...”
Katrin menggeleng kepala mungilnya dengan wajah lesu.
“Sudahlah, aku tak peduli. Aku akan mengurung diri di lab. Membantu Prof.
Pieter dalam suatu penelitian. Aku akan mencoba melupakan Wicak dengan
kesibukan seperti itu. Kuharap kau mau membantu Gunadi mengurus pendakian Gunung Ciremai anak-anak kelas satu.”
“Tentu saja. Akan kubantu semampuku. Tapi Trin, rasanya pendakian ini akan
hambar tanpa tawa dan semangatmu...”
“lho, kamu kok jadi sentimental sih, Nez? Sudahlah, aku percaya pendakian
kalian ini akan berhasil walau tanpa aku,” Katrin mencoba memberi semangat.
Inez mengangguk. Berusaha yakin dengan kata-kata katrin barusan.
Katrin mengunci pintu lab dan memasukan kunci itu ke dalam saku sweaternya.
Angin senja menyambutnya. Dingin. Kemudian menyerpa wajahnya yang putih bersih
tanpa polesan apa-apa.
Katin membayangkan kesibukan Gunadi dan Inez mengurusi anak anak kelas satu
dalam pendakian gunung ciremai kali ini. Dia menghela napas berat. Betapa ingin
dia menghirup udara segar di atas puncak Gunung Ciremai. Mencium bau tanah yang
khas. Seakan sudah berabad abad tidak menginjakan jalan setapak menuju ke sana.
Padahal baru tiga bulan dia vakum dari kegiatan pecinta alam.
Rasanya baru kemarin Wicak datang kerumahnya dan mengaku terus terang atas
permainan hatinya selama ini. Dia tidak sungguh-sungguh mencintai Katrin. Dia
hanya bertaruh dengan kawan-kawannya untuk meraih hatinya. Gadis Gunung yang
selalu beku dengan tawaran kasih ternyata tak sanggup menolak Wicak, cowok yang
begitu pandai membius pesonanya.
Katrin begitu sakit hati. Dia sudah terlanjur menyukai Wicak. Wicak yang manis,
penuh peratian, berwajah tampan dan mempunyai tubuh atletis karena pemain
basket yang handal disekolahnya. Ternyata dibalik semua itu dia menawarkan luka untuk Katrin. Tanpa dapat katrin duga sebelumya.
“Halo, Nona Manis. Sudah selesai mencatat hasil penelitian?” Sebuah suara berat
yang khas membuyarkan lamunanya tentang Wicak.
Dibawah pohon Akasia Prof. Pieter tersenyum arif. Katrin mengangguk dengan
pertanyaan Prof. Disamping Prof. Seorang cowok ternsenyum manis. Katrin
membalas dengan gugup karena dia merasa tak mengenal cowok itu.
“ini lho, Hang, Katrin yang selalu Papa ceritakan. Gadis gunung yang gila
praktikum.”
“Halo, Trin. Saya Hang, Putra tertua Prof. Papa banyak cerita soal kamu lho.
Kayaknya Papa bangga banget punya murid secerdas kamu,” puji makhluk itu. “Saya
kuliah di UNPAD jurusan Farmasi tahun ke empat...”
“Ala, jangan suka promosi kamu, Hang. Gak baik itu,” potong Prof.
“Ugh, Papa ganggu aja,” cowok itu mendelik ke arah papanya. Prof tertawa riuh.
Diacak acaknya rambut putra yang model cepak ala tentara itu.
“Yah, jadi berantakan nih, Pa,” protes cowok itu dengan tawa bas.
MUSIM
AKAN
BERGANTI
Yang terdengar
merdu di telinga Katrin.
Katrin
menyaksikan pemandangan di depannya dengan mata tak berkedip. Betapa akrabnya
hubungan seorang bapak dengan anak kesayangannya. Begitu terbuka dan demokratis. Katrin tidak pernah
menemukan di keluarganya sendiri.
Papa yang terlalu sibuk dengan tugasnya mengawasi pemboran minyak di sebuah perusahaan perminyakan sehingga banyak meninggalkan keluarganya. Mama yang sibuk
dengan berbagai arisan, acara-acara sosial dan kumpul-kumpul dengan para ibu
kalangan menengah ke atas.
Di rumahnya yang besar dan bagus, Katrin merasa kesepian. Karena itu dia lebih
suka mengurung diri di lab membantu Prof dalam berbagai penelitian. Atau
mengurusi klub pencinta alam di sekolahnya. Dengan kesibukan seperti itu Katrin
merasa terhibur.
“Trin, kok malah diam? Cerita dong biar saya
bisa denger suara kamu,” Hang meliriknya dari kaca spion. Katrin
mengangkat wajahnya. Bingung. Di samping Hang yang merangkap sopir sore
ini, Prof. tertawa riuh dengan kepolosan wajah Katrin. Seandainy beliau memiliki putri secantik dan secerdas Katrin seperti impian beliau selama ini, Prof. berjanji akan menyayanginya.
“Sudahlah, Hang. Jangan ganggu Katrin. Dia sedang berbuka,” lirik Prof.
dengan sekulum senyum. Katrin menundukkan wajah dalam-dalam. Saking
akrabnya dia dengan Prof. Katrin selalu cerita jika dia punya masalah. Katrin
menganggap Prof. seperti papanya sendiri.
“Broken heart ya, Trin?” Tanya Hang.
“Itukan biasa, namanya juga anak muda. Kayak kamu yang ditolak gurumu yang
cantik itu waktu SMA kelas satu,” Prof. terkekeh.
“Ugh, Papa, jangan bongkar luka lama dong,” Hang tertawa ngebas lagi.
Katrin di jok belakang cuma ngegeleng-geleng kepala dengan canda mereka yang
penuh akrab. Tanpa sadar Katrin ikut dalam obrolan mereka yang seru dan
menyenangkan dalam perjalanan pulang menuju rumahnya.
*****
Katrin sedang asyik meneliti hasil penelitian Prof. kemarin ketika telepon
mendering nyaring. Katrin mengangkat telepon dengan mulut masih sibuk mengunyah sepotong sandwich.
“Hai, Nez, apa kabar? Gimana pendakiannya, sukses, kan? Kapan pulang”
“Tadi pagi. Dipercepat dari rencana semula. Abis anak-anak kelas satu itu
banyak yang rewel. Ada yang kedinginanlah, terserang penyakit maag, sampai
ada yang menyesal ikut pendakian. Aduuuuh, capek sekali aku dan Gun mengurusi
mereka.”
“Ceritain dong, Nez. Aku penasaran nih.”
“Nanti deh ketemu hari Senin di sekolah. Soalnya aku masih capek. Mana
ransel belum kubongkar isinya. Kalau Mamah tahu habis deh aku kena marah. Udah
dulu ya, Trin. Sampai ketemu lagi. daaah!”
Katrin menutup horn
telepon seraya melamun. Dia masih penasaran dengan cerita Inez.
Rasanya ingin buru-buru ke rumah Inez. Tapi kasihan, Inez pasti masih lelah.
Lagi pula dua hari lagi sekolah dimulai. Dia bisa ngegosip sepuasnya dengan
Inez.
“Non, ada Den
Hang,” Mbok membuyarkan lamunannya.
“Tolong
buat kan dua gelas es jeruk ya, Mbok. Sekalian kue coklat yang dibeli Mama kemarin.”
Mbok Yem
mengangguk patuh. Katrin bergegas menemui Hang di serambi depan
Hang sore ini
sudah rapih dengan kemeja lengan panjang dan jeans hitam. Hang sedang asik
dengan Koran sore. Katrin memandangnya lama. Kalau saja Hang yang duluan datang untuk meraih hatinya. Seandainya bukan Wicak. Mungkin cerita sedih ini tidak
terjadi.
Katrin
menggelengkan kepala seraya menggigit bibirnya yang juga mungil.
“Jangan mimpi, Trin. Hang datang hanya sebagai seorang kakak yang baik untukmu ,”
Hatinya mengingatkan. Di Bandung sana dia pasti sudah mempunyai seorang gadis
cantik jelita dan juga cerdas.
“Ada apa,
Trin?” Tanya Hang seraya memiringkan kepalanya meneliti wajah gadis itu. Katrin
menggelengkan dengan wajah bersemu merah. Untung ada Mbok Yem yang datang membawakan minuman dan kue coklat pesanan Katrin. Menetralkan
kembali suasana.
“Nanti malam
aku akan kembali ke Bandung. Senin aku sudah mulai kuliah. Tapi tidak
berarti kita tidak berhubungan lagi. Kita tetap berteman. Aku janji akan
menulis surat buatmu. Aku akan cerita tentang dunia kampusku dan kamu juga
harus berjanji membalasnya dengan cerita pendakian gunungmu atau hasil
penilitian Papa di lab. Mau kan, Trin?”
Katrin
mengangguk. “Kau dengar itu, Trin. Dia hanya menganggapnya teman yang baik.Jadi
jangan berharap apa-apa,” hatinya mengingatkan lagi.
“Kau sudahberhasil
melupakan seorang Wicak yang melukai hatimu, Trin. Jadilah Katrin yang
dulu.Yang punya semangat mengurus klub pencinta alam dan menyibukkan diri
dengan penelitian-penelitian Papa.Kamu mesti berjanji, Trin?”
Katrin
mengangguk. Rasa percaya dirinya kembali pulih. Ditatapnya mata teduh Hang
dengan rasa berterimakasih atas perhatian Hang yang tulus.
Kehidupan
berjalan seperti semula. Katrin disibukkan kembali dengan pelajaran-pelajaran,
buku-buku, PR-PR, tugas-tugas sekolah dan berbagai kesibukan lainnya. Katrin kembali
aktif di klub pencinta alam sekolahnya. Dia telah berhasil mengubur sosok Wicak
dalam dasar hatinya yang paling dalam.
Karena usaha
Prof. Pieter, keluarganya kini terjalin harmonis. Papa lebih banyak meluangkan
untuk Katrin dan Laras, adiknya. Mama lebih banyak di rumah mengajak kedua putrinya memasak atau membuat kue hobi lama Mama, dan hubungannya dengan Prof. tidak hanya antar guru kimia dan muridnya
tapi juga Prof. menginginkan Katrin seperti anak sendiri.
Katrin tetap berhubungan dengan Hang melalui surat atau telepon. Selama ini
Hang mengisi kesepian hatinya dengan canda dan tawa Hang yang selalu hadir
menyemarakkan suasana.
Diam-diam Katrin berharap Hang datang tidak hanya sebagai sahabat yang baik tapi
dia juga berharap Hang akan menawarkan kasih yang lain.
Sampai kemudian sepucuk surat yang wangi datang. Dengan tidak sabar Katrin
membukanya.
Dearest: Katrin.
Trin, aku minta maaf tak dapat pamit kepadamu. Aku sibuk mengurus transport,
keperluan akademis, menugaskan jabatanku di Senat dan mengejar sisa-sisa SKS
kuliahku. Trin, malam ini juga harus berangkat ke Jerman. Aku mendapat beasiswa
dari kampus untuk melanjutkan memperdalam ilmu farmasi di Jerman.
Kuharap persahabatan kita tidak akan putus karena perpisahan seperti ini. Kau
tetap mau meluangkan waktumu untuk membalas suratku, Trin.
Sebetulnya aku ingin ke Cirebon sebelum berangkat. Tapi aku tak punya waktu
lagi, Trin. Ada sesuatu yang ingin ku katakan. Sudah lama sebetulnya. Ketika
kita berjumpa pertama kali, aku sudah merasa jatuh hati kepadamu. Tapi aku
ingin kau menyembuhkan lukamu dulu. Aku ingin kita berteman dan bersahabat
dulu, saling mengenal hati kita masing-masing.
Hampir sebulan kita bersahabat, aku yakin perasaanku tidak berubah.
Tidak perlu cepat-cepat menjawabnya, Trin. Biarlah semuanya berjalan apa
adanya. Kalau kau belum dapat membuka hatimu untukku, aku akan tetap
menunggunya, Trin. Percayalah.
Selamat tinggal, Trin. Jaga dirimu baik-baik. Sampai jumpa.
Hangga
Mata Katrin perlahan basah. Di dekapnya surat itu
erat-erat. Ditatapnya sisa senja yang terlukis indah. Malam sebentar lagi tiba
dan esok mentari datang melepas kepergian bulan.
Hari datang dan pergi. Musim akan selalu berganti. Memberi nuansa yang berbeda
untuk kehidupan. Seperti kehidupan Katrin dan Hang. J