Senin, 06 Oktober 2014

Musim Akan Berganti


Mata Inez melotot ke arah Katrin.
“Gila kamu. Masak nggak ikut. Gimana dengan klub pecinta alam kita?”
“Aku sudah menyerahkan semuanya kepada Gun. Dia juga berpengalaman dalam hal ini, Nez.”
     “Karena Wicak, kan? Trin, hanya karena seorang Wicak kamu mengundurkan diri dari kepemimpinan pendakian Gunung Ciremai kali ini. Mana Katrin yang aku kenal menghadapi persoalan apapun.”
          “ini soal perasaan, Nez. Walau sudah berpuluh momen pendakian gunung dan penjelajahan hutan kujalani tapi aku tetap saja cewek normal yang kadangkali bisa merasakan sakit hati. Cobalah mengerti, Nez”
          “Aku ngerti, Trin. Tapi aku tak ingin Wicak menertawakan kekalahanmu...”
          Katrin menggeleng kepala mungilnya dengan wajah lesu.
          “Sudahlah, aku tak peduli. Aku akan mengurung diri di lab. Membantu Prof. Pieter dalam suatu penelitian. Aku akan mencoba melupakan Wicak dengan kesibukan seperti itu. Kuharap kau mau membantu Gunadi mengurus pendakian Gunung Ciremai anak-anak kelas satu.”
          “Tentu saja. Akan kubantu semampuku. Tapi Trin, rasanya pendakian ini akan hambar tanpa tawa dan semangatmu...”
          “lho, kamu kok jadi sentimental sih, Nez? Sudahlah, aku percaya pendakian kalian ini akan berhasil walau tanpa aku,” Katrin mencoba memberi semangat. Inez mengangguk. Berusaha yakin dengan kata-kata katrin barusan.
***
          Katrin mengunci pintu lab dan memasukan kunci itu ke dalam saku sweaternya. Angin senja menyambutnya. Dingin. Kemudian menyerpa wajahnya yang putih bersih tanpa polesan apa-apa.
          Katin membayangkan kesibukan Gunadi dan Inez mengurusi anak anak kelas satu dalam pendakian gunung ciremai kali ini. Dia menghela napas berat. Betapa ingin dia menghirup udara segar di atas puncak Gunung Ciremai. Mencium bau tanah yang khas. Seakan sudah berabad abad tidak menginjakan jalan setapak menuju ke sana. Padahal baru tiga bulan dia vakum dari kegiatan pecinta alam.
          Rasanya baru kemarin Wicak datang kerumahnya dan mengaku terus terang atas permainan hatinya selama ini. Dia tidak sungguh-sungguh mencintai Katrin. Dia hanya bertaruh dengan kawan-kawannya untuk meraih hatinya. Gadis Gunung yang selalu beku dengan tawaran kasih ternyata tak sanggup menolak Wicak, cowok yang begitu pandai membius pesonanya.
          Katrin begitu sakit hati. Dia sudah terlanjur menyukai Wicak. Wicak yang manis, penuh peratian, berwajah tampan dan mempunyai tubuh atletis karena pemain basket yang handal disekolahnya. Ternyata dibalik semua itu dia menawarkan luka untuk Katrin. Tanpa dapat katrin duga sebelumya.
          “Halo, Nona Manis. Sudah selesai mencatat hasil penelitian?” Sebuah suara berat yang khas membuyarkan lamunanya tentang Wicak.
          Dibawah pohon Akasia Prof. Pieter tersenyum arif. Katrin mengangguk dengan pertanyaan Prof. Disamping Prof. Seorang cowok ternsenyum manis. Katrin membalas dengan gugup karena dia merasa tak mengenal cowok itu.
          “ini lho, Hang, Katrin yang selalu Papa ceritakan. Gadis gunung yang gila praktikum.”
          “Halo, Trin. Saya Hang, Putra tertua Prof. Papa banyak cerita soal kamu lho. Kayaknya Papa bangga banget punya murid secerdas kamu,” puji makhluk itu. “Saya kuliah di UNPAD jurusan Farmasi tahun ke empat...”
          “Ala, jangan suka promosi  kamu, Hang. Gak baik itu,” potong Prof.
          “Ugh, Papa ganggu aja,” cowok itu mendelik ke arah papanya. Prof tertawa riuh. Diacak acaknya rambut putra yang model cepak ala tentara itu.
          “Yah, jadi berantakan nih, Pa,” protes cowok itu dengan tawa bas.
MUSIM
AKAN
BERGANTI

Yang terdengar merdu di telinga Katrin.
Katrin menyaksikan pemandangan di depannya dengan mata tak berkedip. Betapa akrabnya hubungan seorang bapak dengan anak kesayangannya. Begitu terbuka dan demokratis. Katrin tidak pernah menemukan di keluarganya sendiri.
          Papa yang terlalu sibuk dengan tugasnya mengawasi pemboran minyak di sebuah perusahaan perminyakan  sehingga banyak meninggalkan keluarganya. Mama yang sibuk dengan berbagai arisan, acara-acara sosial dan kumpul-kumpul dengan para ibu kalangan menengah ke atas.
          Di rumahnya yang besar dan bagus, Katrin merasa kesepian. Karena itu dia lebih suka mengurung diri di lab membantu Prof dalam berbagai penelitian. Atau mengurusi klub pencinta alam di sekolahnya. Dengan kesibukan seperti itu Katrin merasa terhibur.
        “Trin,  kok malah diam? Cerita dong biar saya bisa denger suara kamu,”  Hang meliriknya dari kaca spion. Katrin mengangkat wajahnya. Bingung.  Di samping Hang yang merangkap sopir sore ini, Prof. tertawa riuh dengan kepolosan wajah Katrin. Seandainy beliau memiliki putri secantik dan secerdas Katrin seperti impian beliau selama ini, Prof. berjanji akan menyayanginya.
          “Sudahlah, Hang. Jangan ganggu Katrin. Dia sedang berbuka,”  lirik Prof. dengan sekulum senyum.  Katrin menundukkan wajah dalam-dalam. Saking akrabnya dia dengan Prof. Katrin selalu cerita jika dia punya masalah. Katrin menganggap Prof. seperti papanya sendiri.
          “Broken heart ya, Trin?” Tanya Hang.
          “Itukan biasa, namanya juga anak muda. Kayak kamu yang ditolak gurumu yang cantik itu waktu SMA kelas satu,”  Prof. terkekeh.
          “Ugh, Papa, jangan bongkar luka lama dong,” Hang tertawa ngebas lagi.
          Katrin di jok belakang cuma ngegeleng-geleng kepala dengan canda mereka yang penuh akrab. Tanpa sadar Katrin ikut dalam obrolan mereka  yang seru dan menyenangkan dalam perjalanan pulang menuju rumahnya.
*****

          Katrin sedang asyik meneliti hasil penelitian Prof. kemarin ketika telepon mendering nyaring. Katrin mengangkat telepon dengan mulut masih sibuk mengunyah sepotong sandwich.
          “Hai, Nez, apa kabar? Gimana pendakiannya, sukses, kan? Kapan pulang”
          “Tadi pagi. Dipercepat dari rencana semula. Abis anak-anak kelas satu itu banyak yang rewel. Ada yang kedinginanlah, terserang penyakit maag, sampai ada yang menyesal ikut pendakian. Aduuuuh, capek sekali aku dan Gun mengurusi mereka.”
          “Ceritain dong, Nez. Aku penasaran nih.”
          “Nanti deh ketemu hari Senin di sekolah. Soalnya aku masih capek.  Mana ransel belum kubongkar isinya. Kalau Mamah tahu habis deh aku kena marah. Udah dulu ya,  Trin. Sampai ketemu lagi. daaah!”
Katrin menutup horn telepon seraya melamun. Dia masih penasaran dengan cerita  Inez. Rasanya ingin buru-buru ke rumah Inez. Tapi kasihan, Inez pasti masih lelah. Lagi pula dua hari lagi sekolah dimulai. Dia bisa ngegosip sepuasnya dengan Inez.
“Non, ada Den Hang,” Mbok membuyarkan lamunannya.
“Tolong buat kan dua gelas es jeruk ya, Mbok. Sekalian kue coklat yang dibeli Mama kemarin.”
Mbok Yem mengangguk patuh. Katrin bergegas menemui Hang di serambi depan
Hang sore ini sudah rapih dengan kemeja lengan panjang dan jeans hitam. Hang sedang asik dengan Koran sore. Katrin memandangnya lama. Kalau saja Hang yang duluan datang untuk meraih hatinya. Seandainya bukan Wicak. Mungkin cerita sedih ini tidak terjadi.
Katrin menggelengkan kepala seraya menggigit bibirnya yang juga mungil. “Jangan mimpi, Trin. Hang datang hanya sebagai seorang kakak yang baik untukmu ,” Hatinya mengingatkan. Di Bandung sana dia pasti sudah mempunyai seorang gadis cantik jelita dan juga cerdas.
“Ada apa, Trin?” Tanya Hang seraya memiringkan kepalanya meneliti wajah gadis itu. Katrin menggelengkan dengan wajah bersemu merah. Untung ada Mbok Yem yang datang membawakan minuman dan kue coklat pesanan Katrin. Menetralkan kembali suasana.
“Nanti malam aku akan kembali ke  Bandung. Senin aku sudah mulai kuliah. Tapi tidak berarti kita tidak berhubungan lagi. Kita tetap berteman. Aku janji akan menulis surat buatmu. Aku akan cerita tentang dunia kampusku dan kamu juga harus berjanji membalasnya dengan cerita pendakian gunungmu atau hasil penilitian Papa di lab. Mau kan, Trin?”
Katrin mengangguk. “Kau dengar itu, Trin. Dia hanya menganggapnya teman yang baik.Jadi jangan berharap apa-apa,” hatinya mengingatkan lagi.
“Kau sudahberhasil melupakan seorang Wicak yang melukai hatimu, Trin. Jadilah Katrin yang dulu.Yang punya semangat mengurus klub pencinta alam dan menyibukkan diri dengan penelitian-penelitian Papa.Kamu mesti berjanji, Trin?”
Katrin mengangguk. Rasa percaya dirinya kembali pulih. Ditatapnya mata teduh Hang dengan rasa berterimakasih atas perhatian Hang yang tulus.
****

Kehidupan berjalan seperti semula. Katrin disibukkan kembali dengan pelajaran-pelajaran, buku-buku, PR-PR, tugas-tugas sekolah dan berbagai kesibukan lainnya. Katrin kembali aktif di klub pencinta alam sekolahnya. Dia telah berhasil mengubur sosok Wicak dalam dasar hatinya yang paling dalam.
Karena usaha Prof. Pieter, keluarganya kini terjalin harmonis. Papa lebih banyak meluangkan untuk Katrin dan Laras, adiknya. Mama lebih banyak di rumah mengajak kedua putrinya memasak atau membuat kue hobi lama Mama, dan hubungannya dengan Prof. tidak hanya antar guru kimia dan muridnya tapi juga Prof. menginginkan Katrin seperti anak sendiri.
          Katrin tetap berhubungan dengan Hang melalui surat atau telepon. Selama ini Hang mengisi kesepian hatinya dengan canda dan tawa Hang yang selalu hadir menyemarakkan suasana.
          Diam-diam Katrin berharap Hang datang tidak hanya sebagai sahabat yang baik tapi dia juga berharap Hang akan menawarkan kasih yang lain.
          Sampai kemudian sepucuk surat yang wangi datang. Dengan tidak sabar Katrin membukanya.

            Dearest: Katrin.
            Trin, aku minta maaf tak dapat pamit kepadamu. Aku sibuk mengurus transport, keperluan akademis, menugaskan jabatanku di Senat dan mengejar sisa-sisa SKS kuliahku. Trin, malam ini juga harus berangkat ke Jerman. Aku mendapat beasiswa dari kampus untuk melanjutkan memperdalam ilmu farmasi di Jerman.
            Kuharap persahabatan kita tidak akan putus karena perpisahan seperti ini. Kau tetap mau meluangkan waktumu untuk membalas suratku, Trin.
            Sebetulnya aku ingin ke Cirebon sebelum berangkat. Tapi aku tak punya waktu lagi, Trin. Ada sesuatu yang ingin ku katakan. Sudah lama sebetulnya. Ketika kita berjumpa pertama kali, aku sudah merasa jatuh hati kepadamu. Tapi aku ingin kau menyembuhkan lukamu dulu. Aku ingin kita berteman dan bersahabat dulu, saling mengenal hati kita masing-masing.
            Hampir sebulan kita bersahabat, aku yakin perasaanku tidak berubah.
            Tidak perlu cepat-cepat menjawabnya, Trin. Biarlah semuanya berjalan apa adanya. Kalau kau belum dapat membuka hatimu untukku, aku akan tetap menunggunya, Trin. Percayalah.
            Selamat tinggal, Trin. Jaga dirimu baik-baik. Sampai jumpa.
            Hangga

            Mata Katrin perlahan basah. Di dekapnya surat itu erat-erat. Ditatapnya sisa senja yang terlukis indah. Malam sebentar lagi tiba dan esok mentari datang melepas kepergian bulan.
          Hari datang dan pergi. Musim akan selalu berganti. Memberi nuansa yang berbeda untuk kehidupan. Seperti kehidupan Katrin dan Hang. J

0 komentar:

Posting Komentar