Tahun 1991
“Di, kamu gak pa-pa?” seseorang
datang membantunya berdiri. Dia mengibas-ngibaskan celana pendek jins yang
kotor. “Di, lutut kamu berdarah, kuobati dulu yah?” Laki-laki itu masuk ke
dalam rumahnya dan kembali membawa obat merah di tangannya.
Dianti menjerit kesakitan. “Didot mana sih? Sialan,
beraninya sama anak cewek! Dia itu cowok apa banci sih!” laki-laki itu cuma
tersenyum. Didot yang dimaksud Dianti adalah Didit adiknya. Anak laki-laki
paling badung dalam keluarganya. Dan musuh sekaligus sohib Dianti.
“Gimana sih ceritanya kamu sampe jatuh?” tanya laki-laki
itu perhatian. “Wah, kamu sih gak tau kalo Didot tuh anak paling curang yang
aku kenal. Udah tau kalah main catur, bukannya ngaku kalah malah aku didorong
sampe jatuh. Gimana gak ngeselin!” kisah Dianti berapi-api. Laki-laki itu hanya
mengangguk-angguk saja.
“Ya, udah kamu pulang deh! Udah sore. Entar kamu dicariin
ibu kamu lho!”
“Iya, ya…aku juga udah mo pulang! Bilangin ke Didot
supaya dia minta maaf sama aku. Kalo gak, aku gak akan temenan lagi sama dia,”
anak perempuan berambut cepak itu pergi meninggalkannya. Inung geleng-geleng
kepala. Mana mungkin adiknya akan betah tidak berteman lagi dengan Dianti.
Walau mereka seperti kucing dan anjing tapi mereka susah untuk dipisahkan.
***
Tahun 1995
“Ada apa lagi?” Inung menurunkan
surat kabar yang tengah dibacanya ketika dilihatnya Dianti datang tergesa-gesa.
“Didot mana?” suaranya terdengar emosi.
“Tadi sih pergi. Bilangnya mo main.
Gak tau main di mana? Paling juga main PS sama Trio. Aku pikir dia main sama
kamu. Biasanya kan sore-sore gini dia nongkrong di rumah kamu. Main catur,
kartu atau PS, tapi kok tumben kamu nyariin dia?”
“Aku lagi sebel ama dia,” mulut
mungil itu langsung monyong berapa senti. “Again?” Inung ngakak. “Dia masukin
ular plastik ke tasku. Gimana aku gak sebel coba! Kagetnya itu, yang bikin aku
jantungan! Kupikir ular betulan. Taunya boongan!”
“Trus, kamu nyari dia supaya dia
minta maaf lagi, begitu?” Inung memiringkan kepalanya untuk menatap lurus ke
wajah mungil itu. “Enggaaak! Aku cuma mo bilang ke dia kalo aku mo pindah.
Maksudku, aku dan keluargaku akan pindah ke Bekasi. Mas gak tau yah, kalo
rumah-rumah di sini mo digusur?”
“Yah, aku tau, Di!” ada sebersit
kesedihan di hati Inung. Baginya rumah yang ditempati sejak lahir menyimpan
banyak kenangan. Rasanya berat untuk meninggalkannya. Apalagi rumah mereka
lokasinya sangat strategis, terletak di tengah kota. Tapi yah resikonya seperti
itu. Tempat mereka menjadi incaran para investor yang menginginkannya sebagai
lahan bisnis. Namun warga di daerah Senopati Dalam ini cukup beruntung. Mereka
dapat menjual tanah mereka setinggi-tingginya dan mencari rumah baru yang cukup
terjangkau di daerah pinggiran.
“Mas Inung dan keluarga mo pindah
kemana?” pertanyaan Dianti membuyarkan lamunannya.
“Belum tau, Di. Ayahku masih
cari-cari rumah yang cocok. Oya, kapan kamu pindah?”
“Kayaknya sih minggu depan,” Dianti
menjawab malas. “Jadi sekolah kamu gimana? Kamu tinggalin juga?” tanya Inung
lagi.
“Yah, gak. Gokil apa aku harus ninggalin sekolah sebagus itu.
Udah masuknya susah. Apalagi baru tiga bulan aku sekolah di sana. Mana
cowok-cowoknya keren-keren. Rugi dong kalo belom dapat!” seperti biasa Inung
cuma senyum-senyum. “Iya deh aku doain moga kamu dapet salah satu dari yang
keren-keren itu!”
“Makasih, Mas! Oya, nitip buat Didot yah? Bilangin kenang-kenangan
dari aku!” Dianti langsung ngeloyor pergi. Inung memandang heran pada kado yang
dibungkus rapi itu. Soalnya pakai pita segala. Tumben si tomboy itu jadi
mendadak feminin dengan berpita ria. Dan ketika dibuka Didit, isinya segala
hewan melata yang tentu saja terbuat dari plastik. Kekagetan Dianti waktu itu
dirasakan juga oleh Didit! Inung hanya tersenyum begitu melihat ekspresi Didit.
“Di, kapan kita ketemu lagi yah?” bisik Inung sendu. Rasa kehilangan
diam-diam menyelimuti hatinya. Baginya Dianti sudah dianggap seperti adiknya
sendiri.
***
Tahun 2003
“Hoy, lagi ngelamunin jorok yah?”
datang-datang Monik melemparkan boneka Teddy Bear milik Iben. Dilihatnya Dianti
senyum-senyum sendiri. “Ah, elo aja yang pikirannya ngeres,” balas Dianti tidak
mau kalah.
“Trus, kenapa dong elo senyum-senyum
sendiri? Elo masih waras kan, belum kurang setengah ons?” ledek Monik lagi.
“Gue lagi mengenang masa lalu,” mata
indah Dianti langsung menerawang. “Pasti sama cowok deh!” tebak Monik to the
point. “Ya, iya lah. Masak sama cewek, emangnya gue lines?” balas Dianti cepat.
“Yah, kirain,” jawab Monik santai.
“Sialan loe!” Dianti membalas melempar boneka Teddy Bear tadi. Untung aja Iben
kuliah. Kalau dia tahu boneka kesayangannya jadi objekan lemparan, bisa ngamuk
Iben!
“By the way, siapa sih cowok spesial
itu? Tumben elo gosipin soal cowok. Kirain cewek tomboy kalo elo gak butuh
laki-laki?” Monik senyum-senyum.
“Dia
itu kakaknya sohib gue waktu kecil. Boleh dibilang dia itu penolong dan
pelindung gue. Dari dulu gue pengeeen banget punya kakak cowok. Tapi gue malah
punya tiga kakak cewek yang centil-centil itu, ngeselin gak sih?”
“Emang dia baek sama elo?” tanya
Monik lagi.
“Ya, iya lah. Dia tuh selalu belain
gue kalo gue berantem sama anak-anak cowok, terutama sama Didot, adiknya. Di
mata gue dia tuh hero!”
“Hihihi, kayak judul lagu aja. Eh,
tapi jangan-jangan dia baek ama elo karna dia naksir salah satu kakak elo kali!
Elo-nya aja ke-GR-an!”
“Enggak mungkinlah! Emangnya kakak
gue suka ama berondong muda? Usia kakak gue tuh jauh di atas dia, Monik!”
“Oh, I see. Eh, tapi ngomong-ngomong
elo pernah ketemu lagi sama dia, gak?”
“Ketemu?” mata indah Dianti langsung
menerawang.
***
Tahun 2000
“Mbak, kalo mo ke UI turun di sini
aja. Entar Mbak nyebrang, trus naik bis kampus dari halte sana,” tunjuk kenek
bis jurusan Pasar Minggu-Depok. “Makasih, Bang!” Dianti bergegas turun.
Dipeluknya erat-erat map berisi dokumen-dokumen yang dibutuhkan untuk
pendaftaran di Politeknik UI.
Di halte bis kampus banyak mahasiswa
yang sudah mengantri untuk naik bis. Mana bis kampusnya lama banget datangnya.
Kalo datang juga udah jadi rebutan mahasiswa atau calon mahasiswa yang sudah
tidak sabar menunggu.
Dianti masih setia menunggu bis yang
lain datang. Dia tidak ingin berjubelan seperti yang lainnya. Tapi lama-lama
kalo dia masih di sini saja, bisa-bisa dia terlambat mendaftar. Dia terpaksa
ikut berjubelan dengan yang lainnya. Badannya terhuyung akan jatuh ketika sopir
bis merem secara mendadak, jika saja sebuah tangan kokoh tidak menolongnya.
“Kamu gak pa-pa?” tanya sebuah suara
yang berada di belakang.
“Gak pa-pa kok. Makasih yah?” Dianti
menoleh ke belakang untuk mengucapkan terima kasih. Betapa kagetnya dia ketika
melihat sebuah sosok yang tinggi menjulang dengan wajah yang begitu familiar.
Bukankah dia Inung, kakak Didit, musuhnya itu?
“Lho, Mas kok ada di sini?” sapanya
kaget. Inung tersenyum manis. “Aku kuliah di sini, Di. Udah tingkat tiga. Kamu sendiri ngapain,
jangan bilang lagi nyari yang keren-keren di UI yah?”
Dianti terkekeh. Dia langsung
menunjukkan map yang bertuliskan sebuah lembaga pendidikan. “Oh, kamu daftar di
Politeknik? Kemarin ikut ‘UMPTN’ gak?”
“Enggak. Percuma, Mas, gak ada
harapan. Peluangnya kecil gara-gara ada jalur khusus gitu. Paling yang bisa
kuliah di negeri anak-anak orang kaya juga,” bibir mungil itu monyong beberapa
senti. Inung tersenyum mengamati gadis mungil di depannya. Dia tidak pernah berubah.
Tetap saja kritis. Penampilannya juga sama. Rambut cepak, kacamata mungil dan
celana jins.
“Mo aku temenin daftar ke Politeknik
gak?” tawar Inung ketika bis melaju melewati beberapa kampus. Fakultas FISIP,
Psikologi, Sastra dan Ekonomi. Dianti memandang kagum pada pemandangan di luar
sana. Wah, keren banget! pujinya dalam hati.
“Mas gak ada kuliah? Entar ganggu
lagi?” tanya Dianti nggak enak hati.
“Kebetulan aku udah libur kok. Aku
ke sini juga mo daftar ulang sama ngurusin soal nilai. Gak masalah aku nemenin
kamu dulu.”
“Ya, udah deh kalo gitu. Thank’s
yah!” Dianti memberikan senyum termanisnya. Inung mengangguk seraya membalas
senyum itu.
“Gimana, Di, ujiannya susah gak?”
tau-tau Inung sudah muncul di hadapannya sebulan kemudian. Dianti betul-betul
suprais bertemu dengan sosok yang paling dia rindukan.
“Wah, susah banget! Kayaknya gak ada
harapan deh. Mas lihat sendiri. Di GOR Senayan ini dipenuhi calon mahasiswa
yang pengen keterima di Politeknik UI. Saingannya itu lho!” Dianti
geleng-geleng kepala takjub.
“Jangan pesimis dulu, nasib orang
kan siapa tau?” nasehat Inung. Dianti tersenyum.
“Oya, Mas ikutan jadi panitia
penerimaan mahasiswa baru yah?” tanya Dianti begitu mereka berjalan menyelusuri
jalan menuju halte bis. “Gak kok. Aku cuma bantu temen aja,” jawab Inung.
Pandangannya asyik melihat orang-orang yang tengah latihan olah raga. Diam-diam
Dianti memperhatikan cowok tinggi di sampingnya. Dia senyum sendiri. Betapa dia
suka dengan sosok seperti Inung itu!
“Di, mau aku anterin kamu pulang,
gak?” tiba-tiba saja Inung menawari dirinya untuk mengantarkan dia pulang.
“Ke Bekasi? Gak usah, Mas. Makasih.
Kasian Mas Inung, Bekasi-Pondok Aren kan jauh, sampe jam berapa Mas sampe
rumah?”
“Gak pa-pa juga kok. Kasian kamu
kalo harus pulang sendirian.”
“It’s oke! Aku biasa sendiri kok.
Oya, itu bis jurusan Bekasi, aku duluan yah, Mas! Doain aku dapet di Poltek,
biar bisa ketemu lagi,” dengan sigap Dianti masuk ke dalam bis.
“Pasti. Ati-ati, Di!” Inung
melambaikan tangannya.
Entah karena doa Inung atau karena
memang hasil ujian Dianti memuaskan, akhirnya dia diterima juga di Politeknik
UI. Karena jarak Bekasi-Depok yang terlalu jauh, Dianti memutuskan untuk kos.
Untuk itu dia terpaksa hunting untuk mencari tempat kos. Untunglah dia
menemukan tempat kos yang cocok, yang tidak terlalu jauh jaraknya dengan
kampusnya. Jarak kampus dengan kosnya bisa ditempuh dengan bis kampus kurang
lebih seperempat jam.
Dianti mulai
memasuki dunia baru. Dunia kampus dan kehidupan anak kos, yang jauh berbeda
dari dunia sebelumnya. Dia lalu disibukkan dengan jadwal kuliahnya yang cukup
padat, tugas-tugas kuliah, praktikum, laporan-laporan dan lain-lain. Sejenak
dia melupakan sebuah sosok yang selalu dia kagum sejak kecil.
Tahun 2003
“Aneh sih kalo elo gak pernah ketemu
ama dia lagi sejak elo kuliah?” tanya Monik tiba-tiba. Pertanyaan itu membuat
lamunannya terhenti. “Gue juga gak ngerti. Sialnya gue gak tau dia kuliah
dimana. Maksud gue fakultas dan jurusannya. Gak mungkin kan gue ‘ngubek-ngubek’
UI segitu luasnya,” jelas Dianti yang membuat Monik tersenyum.
“Elo pergi aja ke dukun. Tanyain
dimana pujaan hati elo berada,” lalu Monik dengan jailnya menyanyikan lagu
‘Dinda Dimana Kau Berada’-nya Katon Bagaskara. Tentu aja nama Dinda diganti
dengan Inung.
“Emangnya elo yang suka pergi ke
dukun kalo ada masalah?” balas Dianti, yang membuat suara indah itu terhenti.
“Kan elo yang ngajarin?” Monik nggak mau kalah. Akhirnya kamar Dianti dan Iben
menjadi berantakan akibat perang lemparan bantal dan sejenisnya yang dilancarkan
Dianti dan Monik.
*****
Tahun 2004
Liburan semester ganjil. Anak-anak
kos buat acara liburan bareng ke Puncak. Om-nya Era menyediakan villa-nya untuk
tempat inap. Anak-anak kos tentu saja girang bukan main. Selain bisa refeshing,
biayanya juga tidak terlalu mahal. Mereka patungan mengumpulkan uang untuk
biaya transport, makan dan dokumentasi.
Perjalanan diawali dengan
menggunakan kereta api Jabotabek menuju Bogor. Dasar anak kos, cuek saja mereka
berfoto ria di stasiun Pondok Cina sebelum berangkat. Dari stasiun Bogor,
mereka memilih angkot jurusan Bogor-Ciawi. Tentu saja mereka mencarter angkot,
sehingga mereka bebas bercanda dan saling menyela.
Esok paginya, mereka hiking ke
perkebunan teh. Kebetulan lokasinya tidak terlalu jauh dari tempat mereka menginap.
Dianti mengikat tali sepatu ketsnya. Dengan semangat dia mengejar Ina dan Monik
yang sudah menaiki perkebunan teh itu. Nafasnya ngos-ngosan. Devi yang
melihatnya tersenyum saja. “Nyantai aja, Di. Elo kayak dikejar maling aja,”
ledek Era yang berjalan di samping Iben dan Vina.
“Ada cowok-cowok keren!” teriak
Monik norak. Devi mendelik sebel ke cewek berkulit putih itu. “Elo bisa gak
histeris gak sih, Mon, kalo ngeliat
cowok cakep?” tanya gadis Batak yang memang anti cowok.
“Sori, Dev, abis gue bosen liat yang
tua-tua mulu,” bibir Monik maju beberapa senti. Dianti tersenyum. Memang dari
kemarin perjalanan, mereka belum menemukan ‘barang-barang bagus’. Dalam kereta
api, sopir angkot bahkan penjaga villa, sudah setengah uzur semua, hahaha.
Senyum Dianti terhenti ketika
melihat sebuah sosok yang selalu dia rindukan selama ini. Siapa lagi kalau
bukan Inung! Inung pun datang mendekat. “Hai, Di, kamu sama siapa?”
“Oh, eh,” Dianti jadi kagok gitu.
Lalu dia memperkenalkan teman-teman kosnya yang disambut suka cita oleh Monik,
Era dan Ina. Inung pun memperkenalkan teman-teman fakultasnya. Mereka kuliah di
Teknik Arsitektur UI.
“Kami sedang mengadakan observasi
gedung-gedung tua di Bandung. Sekarang refeshing dulu di Puncak,” jelas Inung.
Dianti mengangguk saja. Tentu saja dia girang banget bisa ketemu lagi dengan
Inung. Dianti dan Inung memisahkan diri dari teman-temannya mereka.
Mereka berjalan santai di sela-sela tanaman teh. Dianti asyik
melihat para wanita pemetik teh yang dengan cekatan memetik teh dan memasukkan
ke sebuah bakul. Dinginnya udara pagi membuat dia agak menggigil. “Kamu
kedinginan yah, Di? Nih, pake jaketku,” Inung sudah melepaskan jaket jinsnya
dari tubuhnya yang membuat Dianti terkagum-kagum. Tubuh Inung terlihat begitu
atletis.
“Makasih yah, Mas. Sweaterku dipinjem temenku,” jelas Dianti ketika
tadi di tengah perjalanan menuju ke puncak perkebunan teh, Iben meminjam
sweaternya.
“Gak pa-pa kok, Di. Nyantai aja,” lalu mereka asyik ngobrol saja.
Dari soal keluarga, kuliah dan juga kos. Ternyata Inung juga kos, tapi di
daerah Kober. “Kamu kenapa kosnya di daerah Pondok Cina, kan lebih deket kalau
kamu kos di daerah Kober?” tanya Inung. Memang sih kalau dipikir-pikir
tempatnya dia kuliah dan Inung, lebih dekat dengan daerah Kober. Nggak heran kalau
anak-anak Poltek dan Teknik kebanyakan kos di daerah itu. Cuma tempatnya agak
terpencil dan transportnya sedikit
susah.
“Wah, tempat itu sepi, Mas. Mana kemana-mana susah transportnya.
Dari kampus aku bisa naik bis kampus dan turun di halte depan gedung Rektorat.
Dari sana aku tinggal jalan,” jelas Dianti. “Iya, biar bisa ngeceng anak-anak
UI yah, Di?” ledek Inung jail.
“Ih, Mas tau aja,” balas Dianti dengan senyum manisnya. Lagi
asyik-asyik ngobrol, tau-tau Monik datang menyolek pinggangnya. “Di, mo terus
pacaran apa pulang? Anak-anak udah kelaperan tuh nungguin elo dari tadi!”
Dianti mendelik sebel. Dasar Monik, nggak rela yah kalo dia bisa
ngobrol-ngobrol dengan cowok secakep Inung? Tapi dia pamit juga. Inung
memberikan alamat kosnya. “Di, kapan-kapan main yah ke kosku?” Dianti
mengangguk senang. Dia rada salting ketika Inung terus saja memandangi
kepergiannya.
“Waduh, seneng yah dapet gebetan baru! Gue udah kepanasan nih,
dijemur kayak ikan asin!” ledek Ina begitu dia dan Monik bergabung dengan yang
lainnya. “Biasaaa, ketemu ‘my first love’,” ledek Monik. Dia lalu nyanyiin lagu
First Love-nya Nikka Costa. “Nik, elo pengen jadi penyanyi tapi gak kesampaian
yah?” ledek Dianti dengan senyum sumringahnya. Iya, siapa sih yang nggak seneng
ketemu pacar lama? What, pacar, nggak salah, Di? Bisik suara hatinya. Tapi
Dianti nggak peduli. Dia senyum-senyum lagi.
*****
Akhir Tahun 2005
Dianti benar-benar panik ketika
belum mendapatkan bahan-bahan untuk pembuatan laporan praktikumnya. Mana
laporannya harus dikumpulkan besok. Terpaksalah dia cari informasi kesana –
kemari. Untungnya Dion, teman sekelasnya sudah memiliki bahan yang lengkap.
“Buku laporan gue ada di kos, Di.
Elo mau pulang kuliah ke kos gue dulu?
Kebetulan gue bawa motor, elo bisa nebeng gue,” kata Dion. “Emangnya elo kos
dimana?” tanya Dianti langsung tertarik. Soalnya kalo nggak salah Dion kos di
daerah Kober. Itu kan daerah kosnya Inung juga. Dion lalu menyebutkan sebuah
alamat.
“Sebentar-sebentar, kayaknya itu
tempat kosnya temen gue deh,” Dianti lalu mengeluarkan catatan alamat Inung.
Diberikannya pada Dion. “Oh iya, Inung emang temen kos gue. Nanti elo bisa
ketemu dia. Kalo gak salah hari ini dia libur kuliah,” jelas Dion. Dada Dianti
langsung berdebar-debar. Dia betul-betul suprais bisa ketemu lagi dengan Inung.
Sudah berapa lama mereka tidak ketemu sejak pertemuan terakhir mereka di
Puncak? Dianti menghitung, kira-kira enam bulan. Wah, lama juga yah? Kayaknya
baru kemarin dia melihat sosok Inung diantara perkebunan teh.
“Ini kamarnya, bentar yah gue
panggilin dulu,” Dion mengetuk pintu sebuah kamar yang terletak di depan, dekat
ruang tamu. Dianti sebenarnya risih juga berada di tempat kos laki-laki. Tapi
terpaksalah, demi tugas praktikumnya. Lalu sosok yang dia rindukan itu keluar.
Tapi dia tidak sendiri. Ada seorang gadis cantik di sampingnya. Inung terkejut.
Tapi tentu saja Dianti lebih syok lagi!
“Sori, gue lagi ngerjain tugas
bareng Lastri di komputer gue. Gimana kabarnya, Di?” sapa Inung ramah, seperti
biasa. “Ala, ngerjain tugas apa pacaran?” ledek Dion. Yang diledek, wajahnya
sudah memerah seperti kepiting rebus. Dianti hanya terpaku. Dia tidak tahu mau
berbuat apa. Mendadak dadanya menjadi nyeri. Seperti ada sebilah pisau yang
menusuk dadanya.
“Siapa, Nung?” tanya gadis itu
seraya melirik Dianti tidak suka. “Oh, tetangga gue waktu di Senopati. Dia udah
kayak adik gue sendiri. Dia temen berantem adik gue, Didit,” Inung tersenyum.
Tiba-tiba senyum itu terlihat menyebalkan di mata Dianti.
Dianti segera pamit. Tidak dihiraukan
panggilan Dion yang mengingatkan akan tugas praktikumnya. Who cares! Dia hanya
ingin cepat-cepat pergi dan berharap tidak akan bertemu lagi dengan Inung.
Tak terasa matanya telah basah.
Dengan pandangan kosong, Dianti memandangi pemandangan di luar sana lewat
jendela bis kampus. Kenapa untuk memiliki Inung hanya sebatas mimpi? Bisiknya
sedih.
Betapa selama ini dia begitu
mengagumi sosok seperti Inung. Betapa lamanya dia harus menunggu untuk bertemu
lagi dengan sosok itu. Tapi akhirnya begitu menyakitkan. Begitu sia-sia.
Tanpa sadar, matanya telah
basah.
Tiba-tiba angin berhembus
kencang, menerbangkan daun-daun akasia di sepanjang jalan. Dianti memandangi
daun-daun itu yang jatuh di tanah lalu mengering. Suasana sepanjang jalan itu
terasa begitu sepi. Seperti hatinya yang tiba-tiba hampa. Kosong. Seperti balon
yang pecah tertusuk duri. Tak terbentuk lagi. Begitu pun hatinya yang kini
hancur berkeping-keping.
*****
0 komentar:
Posting Komentar