Selasa, 16 September 2014

Sebatas Mimpi

Tahun 1991
            “Di, kamu gak pa-pa?” seseorang datang membantunya berdiri. Dia mengibas-ngibaskan celana pendek jins yang kotor. “Di, lutut kamu berdarah, kuobati dulu yah?” Laki-laki itu masuk ke dalam rumahnya dan kembali membawa obat merah di tangannya.
            Dianti menjerit kesakitan. “Didot mana sih? Sialan, beraninya sama anak cewek! Dia itu cowok apa banci sih!” laki-laki itu cuma tersenyum. Didot yang dimaksud Dianti adalah Didit adiknya. Anak laki-laki paling badung dalam keluarganya. Dan musuh sekaligus sohib Dianti.
            “Gimana sih ceritanya kamu sampe jatuh?” tanya laki-laki itu perhatian. “Wah, kamu sih gak tau kalo Didot tuh anak paling curang yang aku kenal. Udah tau kalah main catur, bukannya ngaku kalah malah aku didorong sampe jatuh. Gimana gak ngeselin!” kisah Dianti berapi-api. Laki-laki itu hanya mengangguk-angguk saja.
            “Ya, udah kamu pulang deh! Udah sore. Entar kamu dicariin ibu kamu lho!”
            “Iya, ya…aku juga udah mo pulang! Bilangin ke Didot supaya dia minta maaf sama aku. Kalo gak, aku gak akan temenan lagi sama dia,” anak perempuan berambut cepak itu pergi meninggalkannya. Inung geleng-geleng kepala. Mana mungkin adiknya akan betah tidak berteman lagi dengan Dianti. Walau mereka seperti kucing dan anjing tapi mereka susah untuk dipisahkan.
***

Tahun 1995

            “Ada apa lagi?” Inung menurunkan surat kabar yang tengah dibacanya ketika dilihatnya Dianti datang tergesa-gesa. “Didot mana?” suaranya terdengar emosi.
            “Tadi sih pergi. Bilangnya mo main. Gak tau main di mana? Paling juga main PS sama Trio. Aku pikir dia main sama kamu. Biasanya kan sore-sore gini dia nongkrong di rumah kamu. Main catur, kartu atau PS, tapi kok tumben kamu nyariin dia?”
            “Aku lagi sebel ama dia,” mulut mungil itu langsung monyong berapa senti. “Again?” Inung ngakak. “Dia masukin ular plastik ke tasku. Gimana aku gak sebel coba! Kagetnya itu, yang bikin aku jantungan! Kupikir ular betulan. Taunya boongan!”
            “Trus, kamu nyari dia supaya dia minta maaf lagi, begitu?” Inung memiringkan kepalanya untuk menatap lurus ke wajah mungil itu. “Enggaaak! Aku cuma mo bilang ke dia kalo aku mo pindah. Maksudku, aku dan keluargaku akan pindah ke Bekasi. Mas gak tau yah, kalo rumah-rumah di sini mo digusur?”
            “Yah, aku tau, Di!” ada sebersit kesedihan di hati Inung. Baginya rumah yang ditempati sejak lahir menyimpan banyak kenangan. Rasanya berat untuk meninggalkannya. Apalagi rumah mereka lokasinya sangat strategis, terletak di tengah kota. Tapi yah resikonya seperti itu. Tempat mereka menjadi incaran para investor yang menginginkannya sebagai lahan bisnis. Namun warga di daerah Senopati Dalam ini cukup beruntung. Mereka dapat menjual tanah mereka setinggi-tingginya dan mencari rumah baru yang cukup terjangkau di daerah pinggiran.
            “Mas Inung dan keluarga mo pindah kemana?” pertanyaan Dianti membuyarkan lamunannya.
            “Belum tau, Di. Ayahku masih cari-cari rumah yang cocok. Oya, kapan kamu pindah?”
            “Kayaknya sih minggu depan,” Dianti menjawab malas. “Jadi sekolah kamu gimana? Kamu tinggalin juga?” tanya Inung lagi.
            “Yah, gak. Gokil  apa aku harus ninggalin sekolah sebagus itu. Udah masuknya susah. Apalagi baru tiga bulan aku sekolah di sana. Mana cowok-cowoknya keren-keren. Rugi dong kalo belom dapat!” seperti biasa Inung cuma senyum-senyum. “Iya deh aku doain moga kamu dapet salah satu dari yang keren-keren itu!”
“Makasih, Mas! Oya, nitip buat Didot yah? Bilangin kenang-kenangan dari aku!” Dianti langsung ngeloyor pergi. Inung memandang heran pada kado yang dibungkus rapi itu. Soalnya pakai pita segala. Tumben si tomboy itu jadi mendadak feminin dengan berpita ria. Dan ketika dibuka Didit, isinya segala hewan melata yang tentu saja terbuat dari plastik. Kekagetan Dianti waktu itu dirasakan juga oleh Didit! Inung hanya tersenyum begitu melihat ekspresi Didit.
“Di, kapan kita ketemu lagi yah?” bisik Inung sendu. Rasa kehilangan diam-diam menyelimuti hatinya. Baginya Dianti sudah dianggap seperti adiknya sendiri.
***
Tahun 2003
            “Hoy, lagi ngelamunin jorok yah?” datang-datang Monik melemparkan boneka Teddy Bear milik Iben. Dilihatnya Dianti senyum-senyum sendiri. “Ah, elo aja yang pikirannya ngeres,” balas Dianti tidak mau kalah.
            “Trus, kenapa dong elo senyum-senyum sendiri? Elo masih waras kan, belum kurang setengah ons?” ledek Monik lagi.
            “Gue lagi mengenang masa lalu,” mata indah Dianti langsung menerawang. “Pasti sama cowok deh!” tebak Monik to the point. “Ya, iya lah. Masak sama cewek, emangnya gue lines?” balas Dianti cepat.
            “Yah, kirain,” jawab Monik santai. “Sialan loe!” Dianti membalas melempar boneka Teddy Bear tadi. Untung aja Iben kuliah. Kalau dia tahu boneka kesayangannya jadi objekan lemparan, bisa ngamuk Iben!
            “By the way, siapa sih cowok spesial itu? Tumben elo gosipin soal cowok. Kirain cewek tomboy kalo elo gak butuh laki-laki?” Monik senyum-senyum.
            “Dia  itu kakaknya sohib gue waktu kecil. Boleh dibilang dia itu penolong dan pelindung gue. Dari dulu gue pengeeen banget punya kakak cowok. Tapi gue malah punya tiga kakak cewek yang centil-centil itu, ngeselin gak sih?”
            “Emang dia baek sama elo?” tanya Monik lagi.
            “Ya, iya lah. Dia tuh selalu belain gue kalo gue berantem sama anak-anak cowok, terutama sama Didot, adiknya. Di mata gue dia tuh hero!”
            “Hihihi, kayak judul lagu aja. Eh, tapi jangan-jangan dia baek ama elo karna dia naksir salah satu kakak elo kali! Elo-nya aja ke-GR-an!”
            “Enggak mungkinlah! Emangnya kakak gue suka ama berondong muda? Usia kakak gue tuh jauh di atas dia, Monik!”
            “Oh, I see. Eh, tapi ngomong-ngomong elo pernah ketemu lagi sama dia, gak?”
            “Ketemu?” mata indah Dianti langsung menerawang.
***
Tahun 2000
            “Mbak, kalo mo ke UI turun di sini aja. Entar Mbak nyebrang, trus naik bis kampus dari halte sana,” tunjuk kenek bis jurusan Pasar Minggu-Depok. “Makasih, Bang!” Dianti bergegas turun. Dipeluknya erat-erat map berisi dokumen-dokumen yang dibutuhkan untuk pendaftaran di Politeknik UI.
            Di halte bis kampus banyak mahasiswa yang sudah mengantri untuk naik bis. Mana bis kampusnya lama banget datangnya. Kalo datang juga udah jadi rebutan mahasiswa atau calon mahasiswa yang sudah tidak sabar menunggu.
            Dianti masih setia menunggu bis yang lain datang. Dia tidak ingin berjubelan seperti yang lainnya. Tapi lama-lama kalo dia masih di sini saja, bisa-bisa dia terlambat mendaftar. Dia terpaksa ikut berjubelan dengan yang lainnya. Badannya terhuyung akan jatuh ketika sopir bis merem secara mendadak, jika saja sebuah tangan kokoh tidak menolongnya.
            “Kamu gak pa-pa?” tanya sebuah suara yang berada di belakang.
            “Gak pa-pa kok. Makasih yah?” Dianti menoleh ke belakang untuk mengucapkan terima kasih. Betapa kagetnya dia ketika melihat sebuah sosok yang tinggi menjulang dengan wajah yang begitu familiar. Bukankah dia Inung, kakak Didit, musuhnya itu?
            “Lho, Mas kok ada di sini?” sapanya kaget. Inung tersenyum manis. “Aku kuliah di sini, Di.  Udah tingkat tiga. Kamu sendiri ngapain, jangan bilang lagi nyari yang keren-keren di UI yah?”
            Dianti terkekeh. Dia langsung menunjukkan map yang bertuliskan sebuah lembaga pendidikan. “Oh, kamu daftar di Politeknik? Kemarin ikut ‘UMPTN’ gak?”
            “Enggak. Percuma, Mas, gak ada harapan. Peluangnya kecil gara-gara ada jalur khusus gitu. Paling yang bisa kuliah di negeri anak-anak orang kaya juga,” bibir mungil itu monyong beberapa senti. Inung tersenyum mengamati gadis mungil di depannya. Dia tidak pernah berubah. Tetap saja kritis. Penampilannya juga sama. Rambut cepak, kacamata mungil dan celana jins.
            “Mo aku temenin daftar ke Politeknik gak?” tawar Inung ketika bis melaju melewati beberapa kampus. Fakultas FISIP, Psikologi, Sastra dan Ekonomi. Dianti memandang kagum pada pemandangan di luar sana. Wah, keren banget! pujinya dalam hati.
            “Mas gak ada kuliah? Entar ganggu lagi?” tanya Dianti nggak enak hati.
            “Kebetulan aku udah libur kok. Aku ke sini juga mo daftar ulang sama ngurusin soal nilai. Gak masalah aku nemenin kamu dulu.”
            “Ya, udah deh kalo gitu. Thank’s yah!” Dianti memberikan senyum termanisnya. Inung mengangguk seraya membalas senyum itu.
            “Gimana, Di, ujiannya susah gak?” tau-tau Inung sudah muncul di hadapannya sebulan kemudian. Dianti betul-betul suprais bertemu dengan sosok yang paling dia rindukan.
            “Wah, susah banget! Kayaknya gak ada harapan deh. Mas lihat sendiri. Di GOR Senayan ini dipenuhi calon mahasiswa yang pengen keterima di Politeknik UI. Saingannya itu lho!” Dianti geleng-geleng kepala takjub.
            “Jangan pesimis dulu, nasib orang kan siapa tau?” nasehat Inung. Dianti tersenyum.
            “Oya, Mas ikutan jadi panitia penerimaan mahasiswa baru yah?” tanya Dianti begitu mereka berjalan menyelusuri jalan menuju halte bis. “Gak kok. Aku cuma bantu temen aja,” jawab Inung. Pandangannya asyik melihat orang-orang yang tengah latihan olah raga. Diam-diam Dianti memperhatikan cowok tinggi di sampingnya. Dia senyum sendiri. Betapa dia suka dengan sosok seperti Inung itu!
            “Di, mau aku anterin kamu pulang, gak?” tiba-tiba saja Inung menawari dirinya untuk mengantarkan dia pulang.
            “Ke Bekasi? Gak usah, Mas. Makasih. Kasian Mas Inung, Bekasi-Pondok Aren kan jauh, sampe jam berapa Mas sampe rumah?”
            “Gak pa-pa juga kok. Kasian kamu kalo harus pulang sendirian.”
            “It’s oke! Aku biasa sendiri kok. Oya, itu bis jurusan Bekasi, aku duluan yah, Mas! Doain aku dapet di Poltek, biar bisa ketemu lagi,” dengan sigap Dianti masuk ke dalam bis.
            “Pasti. Ati-ati, Di!” Inung melambaikan tangannya.
            Entah karena doa Inung atau karena memang hasil ujian Dianti memuaskan, akhirnya dia diterima juga di Politeknik UI. Karena jarak Bekasi-Depok yang terlalu jauh, Dianti memutuskan untuk kos. Untuk itu dia terpaksa hunting untuk mencari tempat kos. Untunglah dia menemukan tempat kos yang cocok, yang tidak terlalu jauh jaraknya dengan kampusnya. Jarak kampus dengan kosnya bisa ditempuh dengan bis kampus kurang lebih seperempat jam.
            Dianti mulai memasuki dunia baru. Dunia kampus dan kehidupan anak kos, yang jauh berbeda dari dunia sebelumnya. Dia lalu disibukkan dengan jadwal kuliahnya yang cukup padat, tugas-tugas kuliah, praktikum, laporan-laporan dan lain-lain. Sejenak dia melupakan sebuah sosok yang selalu dia kagum sejak kecil.



Tahun 2003
            “Aneh sih kalo elo gak pernah ketemu ama dia lagi sejak elo kuliah?” tanya Monik tiba-tiba. Pertanyaan itu membuat lamunannya terhenti. “Gue juga gak ngerti. Sialnya gue gak tau dia kuliah dimana. Maksud gue fakultas dan jurusannya. Gak mungkin kan gue ‘ngubek-ngubek’ UI segitu luasnya,” jelas Dianti yang membuat Monik tersenyum.
            “Elo pergi aja ke dukun. Tanyain dimana pujaan hati elo berada,” lalu Monik dengan jailnya menyanyikan lagu ‘Dinda Dimana Kau Berada’-nya Katon Bagaskara. Tentu aja nama Dinda diganti dengan Inung.
            “Emangnya elo yang suka pergi ke dukun kalo ada masalah?” balas Dianti, yang membuat suara indah itu terhenti. “Kan elo yang ngajarin?” Monik nggak mau kalah. Akhirnya kamar Dianti dan Iben menjadi berantakan akibat perang lemparan bantal dan sejenisnya yang dilancarkan Dianti dan Monik.
*****
Tahun 2004
            Liburan semester ganjil. Anak-anak kos buat acara liburan bareng ke Puncak. Om-nya Era menyediakan villa-nya untuk tempat inap. Anak-anak kos tentu saja girang bukan main. Selain bisa refeshing, biayanya juga tidak terlalu mahal. Mereka patungan mengumpulkan uang untuk biaya transport, makan dan dokumentasi.
            Perjalanan diawali dengan menggunakan kereta api Jabotabek menuju Bogor. Dasar anak kos, cuek saja mereka berfoto ria di stasiun Pondok Cina sebelum berangkat. Dari stasiun Bogor, mereka memilih angkot jurusan Bogor-Ciawi. Tentu saja mereka mencarter angkot, sehingga mereka bebas bercanda dan saling menyela.
            Esok paginya, mereka hiking ke perkebunan teh. Kebetulan lokasinya tidak terlalu jauh dari tempat mereka menginap. Dianti mengikat tali sepatu ketsnya. Dengan semangat dia mengejar Ina dan Monik yang sudah menaiki perkebunan teh itu. Nafasnya ngos-ngosan. Devi yang melihatnya tersenyum saja. “Nyantai aja, Di. Elo kayak dikejar maling aja,” ledek Era yang berjalan di samping Iben dan Vina.
            “Ada cowok-cowok keren!” teriak Monik norak. Devi mendelik sebel ke cewek berkulit putih itu. “Elo bisa gak histeris  gak sih, Mon, kalo ngeliat cowok cakep?” tanya gadis Batak yang memang anti cowok.
            “Sori, Dev, abis gue bosen liat yang tua-tua mulu,” bibir Monik maju beberapa senti. Dianti tersenyum. Memang dari kemarin perjalanan, mereka belum menemukan ‘barang-barang bagus’. Dalam kereta api, sopir angkot bahkan penjaga villa, sudah setengah uzur semua, hahaha.
            Senyum Dianti terhenti ketika melihat sebuah sosok yang selalu dia rindukan selama ini. Siapa lagi kalau bukan Inung! Inung pun datang mendekat. “Hai, Di, kamu sama siapa?”
            “Oh, eh,” Dianti jadi kagok gitu. Lalu dia memperkenalkan teman-teman kosnya yang disambut suka cita oleh Monik, Era dan Ina. Inung pun memperkenalkan teman-teman fakultasnya. Mereka kuliah di Teknik Arsitektur UI.
            “Kami sedang mengadakan observasi gedung-gedung tua di Bandung. Sekarang refeshing dulu di Puncak,” jelas Inung. Dianti mengangguk saja. Tentu saja dia girang banget bisa ketemu lagi dengan Inung. Dianti dan Inung memisahkan diri dari teman-temannya mereka.
Mereka berjalan santai di sela-sela tanaman teh. Dianti asyik melihat para wanita pemetik teh yang dengan cekatan memetik teh dan memasukkan ke sebuah bakul. Dinginnya udara pagi membuat dia agak menggigil. “Kamu kedinginan yah, Di? Nih, pake jaketku,” Inung sudah melepaskan jaket jinsnya dari tubuhnya yang membuat Dianti terkagum-kagum. Tubuh Inung terlihat begitu atletis.
“Makasih yah, Mas. Sweaterku dipinjem temenku,” jelas Dianti ketika tadi di tengah perjalanan menuju ke puncak perkebunan teh, Iben meminjam sweaternya.
“Gak pa-pa kok, Di. Nyantai aja,” lalu mereka asyik ngobrol saja. Dari soal keluarga, kuliah dan juga kos. Ternyata Inung juga kos, tapi di daerah Kober. “Kamu kenapa kosnya di daerah Pondok Cina, kan lebih deket kalau kamu kos di daerah Kober?” tanya Inung. Memang sih kalau dipikir-pikir tempatnya dia kuliah dan Inung, lebih dekat dengan daerah Kober. Nggak heran kalau anak-anak Poltek dan Teknik kebanyakan kos di daerah itu. Cuma tempatnya agak terpencil dan transportnya sedikit  susah.
“Wah, tempat itu sepi, Mas. Mana kemana-mana susah transportnya. Dari kampus aku bisa naik bis kampus dan turun di halte depan gedung Rektorat. Dari sana aku tinggal jalan,” jelas Dianti. “Iya, biar bisa ngeceng anak-anak UI yah, Di?” ledek Inung jail.
“Ih, Mas tau aja,” balas Dianti dengan senyum manisnya. Lagi asyik-asyik ngobrol, tau-tau Monik datang menyolek pinggangnya. “Di, mo terus pacaran apa pulang? Anak-anak udah kelaperan tuh nungguin elo dari tadi!”
Dianti mendelik sebel. Dasar Monik, nggak rela yah kalo dia bisa ngobrol-ngobrol dengan cowok secakep Inung? Tapi dia pamit juga. Inung memberikan alamat kosnya. “Di, kapan-kapan main yah ke kosku?” Dianti mengangguk senang. Dia rada salting ketika Inung terus saja memandangi kepergiannya.
“Waduh, seneng yah dapet gebetan baru! Gue udah kepanasan nih, dijemur kayak ikan asin!” ledek Ina begitu dia dan Monik bergabung dengan yang lainnya. “Biasaaa, ketemu ‘my first love’,” ledek Monik. Dia lalu nyanyiin lagu First Love-nya Nikka Costa. “Nik, elo pengen jadi penyanyi tapi gak kesampaian yah?” ledek Dianti dengan senyum sumringahnya. Iya, siapa sih yang nggak seneng ketemu pacar lama? What, pacar, nggak salah, Di? Bisik suara hatinya. Tapi Dianti nggak peduli. Dia senyum-senyum lagi.
*****







Akhir Tahun 2005                      
            Dianti benar-benar panik ketika belum mendapatkan bahan-bahan untuk pembuatan laporan praktikumnya. Mana laporannya harus dikumpulkan besok. Terpaksalah dia cari informasi kesana – kemari. Untungnya Dion, teman sekelasnya sudah memiliki bahan yang lengkap.
            “Buku laporan gue ada di kos, Di. Elo mau pulang kuliah ke kos  gue dulu? Kebetulan gue bawa motor, elo bisa nebeng gue,” kata Dion. “Emangnya elo kos dimana?” tanya Dianti langsung tertarik. Soalnya kalo nggak salah Dion kos di daerah Kober. Itu kan daerah kosnya Inung juga. Dion lalu menyebutkan sebuah alamat.
            “Sebentar-sebentar, kayaknya itu tempat kosnya temen gue deh,” Dianti lalu mengeluarkan catatan alamat Inung. Diberikannya pada Dion. “Oh iya, Inung emang temen kos gue. Nanti elo bisa ketemu dia. Kalo gak salah hari ini dia libur kuliah,” jelas Dion. Dada Dianti langsung berdebar-debar. Dia betul-betul suprais bisa ketemu lagi dengan Inung. Sudah berapa lama mereka tidak ketemu sejak pertemuan terakhir mereka di Puncak? Dianti menghitung, kira-kira enam bulan. Wah, lama juga yah? Kayaknya baru kemarin dia melihat sosok Inung diantara perkebunan teh.
            “Ini kamarnya, bentar yah gue panggilin dulu,” Dion mengetuk pintu sebuah kamar yang terletak di depan, dekat ruang tamu. Dianti sebenarnya risih juga berada di tempat kos laki-laki. Tapi terpaksalah, demi tugas praktikumnya. Lalu sosok yang dia rindukan itu keluar. Tapi dia tidak sendiri. Ada seorang gadis cantik di sampingnya. Inung terkejut. Tapi tentu saja Dianti lebih syok lagi!
            “Sori, gue lagi ngerjain tugas bareng Lastri di komputer gue. Gimana kabarnya, Di?” sapa Inung ramah, seperti biasa. “Ala, ngerjain tugas apa pacaran?” ledek Dion. Yang diledek, wajahnya sudah memerah seperti kepiting rebus. Dianti hanya terpaku. Dia tidak tahu mau berbuat apa. Mendadak dadanya menjadi nyeri. Seperti ada sebilah pisau yang menusuk dadanya.
            “Siapa, Nung?” tanya gadis itu seraya melirik Dianti tidak suka. “Oh, tetangga gue waktu di Senopati. Dia udah kayak adik gue sendiri. Dia temen berantem adik gue, Didit,” Inung tersenyum. Tiba-tiba senyum itu terlihat menyebalkan di mata Dianti.
            Dianti segera pamit. Tidak dihiraukan panggilan Dion yang mengingatkan akan tugas praktikumnya. Who cares! Dia hanya ingin cepat-cepat pergi dan berharap tidak akan bertemu lagi dengan Inung.
            Tak terasa matanya telah basah. Dengan pandangan kosong, Dianti memandangi pemandangan di luar sana lewat jendela bis kampus. Kenapa untuk memiliki Inung hanya sebatas mimpi? Bisiknya sedih.
            Betapa selama ini dia begitu mengagumi sosok seperti Inung. Betapa lamanya dia harus menunggu untuk bertemu lagi dengan sosok itu. Tapi akhirnya begitu menyakitkan. Begitu sia-sia.
            Tanpa sadar, matanya telah basah.  

 Tiba-tiba angin berhembus kencang, menerbangkan daun-daun akasia di sepanjang jalan. Dianti memandangi daun-daun itu yang jatuh di tanah lalu mengering. Suasana sepanjang jalan itu terasa begitu sepi. Seperti hatinya yang tiba-tiba hampa. Kosong. Seperti balon yang pecah tertusuk duri. Tak terbentuk lagi. Begitu pun hatinya yang kini hancur berkeping-keping.
*****

0 komentar:

Posting Komentar