Talitha
memilih sepotong dress cantik berwarna ungu muda dengan motif bunga mawar mungil
berwarna ungu tua. Modelnya sederhana namun di matanya cukup manis jika
dikenakan ke kantor di hari Sabtu.
Talitha
memeriksa kantong belanjaannya. Dia sudah membeli sepatu kerja high heels warna krem, sendal cantik
untuk jalan-jalan, baju olah raga untuk ke gym,
tas kerja hitam untuk menggantikan tas kerja hitamnya yang sudah ketinggalan modelnya. Dan kini dress cantik ungu muda ini akan kembali
memenuhi kantong belanjaannya.
Talita
menghitung-hitung. Limit kartu kreditnya tinggal satu juta rupiah lagi, rasanya
masih cukup kok, dia menghibur dirinya serasa tersenyum senang. Harga dress ini enam ratus ribu, masih tersisa
beberapa limit lagi.
“Dress ini diskon, Bu. Jadi hanya empat
ratus ribu tiga puluh ribu, Ibu mau bayar cash
atau....”
“Pakai
ini aja, Mba...,” Talitha memberikan kartu kreditnya. “Baik, Bu,” mbak kasir
yang cantik itu tersenyum ramah.
Setelah
urusan pembayaran selesai, dia meninggalkan departement
store itu dengan perasaan bahagia. Melewati sebuah coffe shop. Rasanya dia ingin mampir untuk sekedar menghilangkan
rasa hausnya dengan segelas iced coffe
dan sepotong donat green tea kesukaannya.
Itu berarti dia harus menggesekkan kartunya lagi. Huh, uang tunainya hanya
cukup untuk ongkos pulang dengan menggunakan taxi. Dengan belanjaan sebanyak
ini, tidak mungkin dia pulang dengan busway.
Tapi
rasanya dia masih bisa untuk membeli dua buah roti kopi kesukaannya. Satu buah
untuk teman minum kopi nanti malam, sedangkan sisanya untuk sarapan sebelum
berangkat ke kantor.
Melewati pintu keluar mal, matanya langsung hunting mencari taxi yang masih kosong.
Untunglah, tidak butuh waktu lama, sebuah taxi berhenti. Talitha segera naik
dan berdoa semoga perjalanan pulang berjalan lancar, tidak terjebak macet
sehingga uang di dompetnya cukup untuk membayar ongkos taxi.
Hari
masih pagi, Talitha dengan santai memasuki kantornya. Pagi ini dia terlihat
cantik dengan kemeja polos hitam dengan vest kotak-kotak gradiasi warna
coklat-krem dan rok span krem. Sepatu high
heels cantik warna krem dan tas kerja hitam dengan model keren yang baru
dia beli kemarin.
“Wuih,
sepatu dan tas baru nih?” Nining teman sekantornya menyapa ramah ketika mereka
bertemu di pintu masuk. Nining terkagum-kagum dengan penampilan Talitha. Walau
staf baru, namun penampilannya tidak kalah dengan karyawan senior, yang sudah
memiliki jabatan dan gaji di atas rata-rata.
“Yaa,
begitu deh,” Talitha tersenyum sumringah. Begitu melewati front office, Nike memberikan informasi yang mengejutkan.
“Bu
Litha, tadi dicariin orang bank,”
ujarnya seraya membereskan dokumen-dokumen yang masuk.
“Dari
bank mana ya, Ke?” Litha menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Nining ngikik, ”emang kamu nasabah di berapa bank?”
“Maksudmu,
member kartu kredit di bank apa aja gitu?” Talitha mendelik tak suka.
“Yaa, begitu deh,” Nining mengikuti kata-kata Talitha dan pergi berlalu.
“Ke,
kalo ada yang cari aku lagi, bilang
aja aku nggak masuk yaaa,” Talitha
buru-buru masuk lift. Tiba-tiba kepalanya terasa berat.
Di
kubikel mungilnya, Talitha menenangkan diri. Dia punya tiga kartu kredit,
semuanya sudah over limit. Tinggal
satu yang tersisa beberapa ratus ribu saja karena sudah terpakai shopping kemarin.
Ini
alasannya mengapa dia seperti kutu loncat yang selalu berpindah kerja.
Alasannya hanya satu, menghindar debt
collector! Untunglah kemampuan bahasa asing yang dimiliki ditambah
teknologi informasi yang dia kuasai sehingga dia tidak sulit untuk mendapatkan
pekerjaan baru.
Hampir
setiap bulan dia dibuat pusing oleh tagihan dari ketiga kartu kreditnya. Walau
hanya pay minimum, namun dari total
semua tagihan yang dia miliki, tentu saja gajinya tidak cukup! Belum untuk
membayar sewa kamar kos yang sebulannya 1 juta, biaya transport, biaya makan
sehari-hari, hang out ke kafe, mencoba menu di resto yang baru dan
lain-lain.
“Bu,
tadi ada yang nyari lagi, tapi sesuai dengan pesan Ibu, saya bilang Ibu tidak
masuk hari ini,” lapor Nike ketika Talitha pulang.
“Dia
nggak ngotot mau ketemu?” tanya
Talitha heran. Biasanya, dia selalu kucing-kucingan dengan debt collector untuk menghindari tagihan.
“Ngotot juga sih, Bu. Tapi bisa saya handle kok,” Nike tersenyum manis. “Trims ya, Ke,” Talitha melangkah dengan
perasaan tidak menentu.
Begitu
sampai di tempat kos, Talitha langsung browsing
mencari lowongan pekerjaannya. Dia juga harus mencari tempat kos yang baru. Dia
takut debt collector ‘menemukan’
kosnya.
Dia pernah merasakan betapa ‘menakutkan’ berhubungan
dengan debt collector. Beberapa kali
dia pindah tempat kerja, pindah kos, berganti nomor ponsel untuk mengindari
teror debt collector. Namun
kecanduannya menggunakan kartu kredit membuat dia tidak bisa menyelesaikan
masalah yang sudah dihadapi tiga tahun belakangan ini.
“Bu,
ada yang cari, dari bank,” suara Nike dari intercom.
“Bilang
saya ada meeting, Ke,” suara Talitha
berubah panik. “Baik, Bu...” suara Nike menghilang.
Talitha
bergegas ke toilet. Dia mencoba menenangkan diri. Dia harus kabur sebelum debt collector menemukannya. Dia sudah
menyiapkan pengunduran diri, namun Pak Hendrik, Senior Manajer HRD, sedang
bertugas ke kantor cabang di daerah.
Kebetulan
dia juga harus hunting mencari kos
yang baru. Talitha bergegas mengambil tas kerjanya. Dia keluar lewat pastry kantor. Hampir saja dia
bertabrakan dengan seseorang, Talitha mendelik kesal. Lelaki itu tersenyum
ramah.
“Mau
kemana, Bu? Kok buru-buru?” Tubuh jangkungnya menghalangi Talitha.
“Aku
ada perlu dulu,” Talitha mencoba tenang.
“Keluar
kantor lewat pastry? Aneh betul!” dia
nyengir. Namun di mata Talitha,
cengiran itu menakutkan, seolah-olah Enggar tahu bahwa dia tengah berhadapan
dengan masalah yang cukup menakutkan dalam hidupnya.
“Maaf,
aku buru-buru!” Talitha mencoba keluar dari pintu pastry. Enggar menarik tangannya. “Mencoba kabur dari kejaran dari debt collector ya?” laki-laki tampan itu
tersenyum lagi. Talitha tersentak kaget.
“Ikut
aku,” Enggar menarik tangannya, memasuki lift dan naik ke lantai 20. Begitu
keluar dari lift, Enggar mengajaknya masuk ke ruangannya.
“Duduklah,”
Enggar menunjukkan seperangkat sofa nyaman di depan meja kerjanya. Dia melepas
dasinya. Disimpan dasi itu di atas meja kerjanya. Dia mencari sebuah dokumen
dari laci kerjanya. Talitha meliriknya diam-diam.
“Talitha
Nurma Sari. Umur 30 tahun. Lulusan S1 Komunikasi Massa dari Universitas Kencana
dengan nilai Indeks Prestasi Kumulatif 3,50. Sudah berganti 7 perusahaan dalam
jangka waktu tiga tahun,” Enggar menggelengkan kepalanya. “Oya, satu lagi. Termasuk
black list dari Bank Indonesia. Good!” Enggar nyengir lagi.
“Kau
tahu, Talitha, Sebetulnya aku tidak setuju kau diterima di perusahaan ini. Aku
tahu back record-mu di perusahaan-perusahaan sebelumnya. Namun Pak Hendrik
ingin memberi kesempatanmu bekerja. Ternyata dugaanku salah! Kinerjamu bagus,
Talitha. Hanya sayang, kamu harus berhubungan dengan debt collector-debt collector tersebut. Sehingga mengganggu
pekerjaanmu. Berapa utang-utangmu di bank-bank tersebut?” Enggar menatapnya
tajam
Talitha
terdiam. Sudah hampir tiga tahun ini dia tidak nyaman dengan hidupnya. Hampir
setiap malam dia tidak bisa tidur. Betapa teror-teror itu sangat menakutkan.
Sangat mengganggu hidupnya!
Harusnya
dia tahu diri. Dia berasal dari keluarga yang cukup sederhana di kota Kediri.
Atas kebaikan hati tantenya dia bisa meneruskan pendidikannya di Jakarta.
Berkat kecerdasannya, dia berhasil lulus dengan nilai memuaskan dan diterima
sebuah perusahaan bonafide.
Jakarta
sudah membuatnya berubah. Dia berubah menjadi seorang gadis kosmopolitan yang
ingin menikmati gemerlapnya kota Jakarta. Cara instan dia lakukan. Menjadi
nasabah pada tiga kartu kredit dengan jumlah limit yang berbeda. Menikmati
hidup dengan tumpukan utang!
Gemetar
Talitha menyodorkan tagihan-tagihan itu ke bosnya. Enggar langsung meng-faks
kertas-kertas tagihan itu. “Mbak, tolong tutupi tagihan-tagihan itu. Tinggal
dihitung aja, berapa potongan yang dibebankan pada Bu Talitha setiap bulannya.
Terima kasih,” suara Enggar terdengar begitu berwibawa.
Talitha
menatap tak percaya pada wajah tampan itu. Enggar pura-pura sibuk dengan
monitor laptop-nya. “Sepertinya Anda
harus bekerja lembur untuk menutupi tagihan-tagihan ini, mungkin selama 5
tahun!”
“Terima
kasih,” suara Talitha terdengar gemetar. Setelah dia mencoba meminjam uang
kepada saudara dan teman-temannya untuk menutupi utangnya. Nihil! Rasanya dia
ingin memeluk laki-laki tampan di depannya. Dia sudah menyelamat hidupnya. He is my superhero! bisik Talitha
terdengar norak. Tapi kalau bukan laki-laki tampan itu, hidupnya akan terus
terancam oleh utang-utang terkutuk itu!
Enggar, yunior HRD di kantor periklanan yang
cukup bonafide di Jakarta. Salah satu pemegang saham, sehingga apa yang dia
instruksikan ke Vivi, manajer keuangan perusahaan, bisa langsung disetujui.
“Mana kartu-kartu
kredit itu? Aku sita untuk jaminannya,” Enggar mengangkat wajahnya tiba-tiba.
Talitha gugup, namun dia mencoba tersenyum. Dikeluarkan koleksi kartu
kreditnya. Hmm, dia lega. Ini terapi yang diterapkan Enggar supaya dia terbebas
dari shopping-crazy.
Dia harus berubah menjadi smart shopper!
Syukurlah, kemarin dia masih sempat belanja. Tanpa sadar Talitha tersenyum
sendiri.
Talitha
melangkah ringan keluar dari kantornya. Mulai besok, dia akan memulai hari baru
yang lebih baik Dia berjanji akan hidup sesuai dengan kemampuannya.
There
is will be my simple life, janjinya lagi. Talitha tersenyum.
Bahagia.
*****
0 komentar:
Posting Komentar