Selasa, 16 September 2014

Enggar & Talitha

            Talitha memilih sepotong  dress cantik berwarna ungu muda dengan motif bunga mawar mungil berwarna ungu tua. Modelnya sederhana namun di matanya cukup manis jika dikenakan  ke kantor di hari Sabtu.
            Talitha memeriksa kantong belanjaannya. Dia sudah membeli sepatu kerja high heels warna krem, sendal cantik untuk jalan-jalan, baju olah raga untuk ke gym, tas kerja hitam untuk menggantikan tas kerja hitamnya yang sudah  ketinggalan modelnya. Dan kini dress cantik ungu muda ini akan kembali memenuhi kantong belanjaannya.
            Talita menghitung-hitung. Limit kartu kreditnya tinggal satu juta rupiah lagi, rasanya masih cukup kok, dia menghibur dirinya serasa tersenyum senang. Harga dress ini enam ratus ribu, masih tersisa beberapa limit lagi.
            “Dress ini diskon, Bu. Jadi hanya empat ratus ribu tiga puluh ribu, Ibu mau bayar cash atau....”
            “Pakai ini aja, Mba...,” Talitha memberikan kartu kreditnya. “Baik, Bu,” mbak kasir yang cantik itu tersenyum ramah.
            Setelah urusan pembayaran selesai, dia meninggalkan departement store itu dengan perasaan bahagia. Melewati sebuah coffe shop. Rasanya dia ingin mampir untuk sekedar menghilangkan rasa hausnya dengan segelas iced coffe dan sepotong donat green tea kesukaannya. Itu berarti dia harus menggesekkan kartunya lagi. Huh, uang tunainya hanya cukup untuk ongkos pulang dengan menggunakan taxi. Dengan belanjaan sebanyak ini, tidak mungkin dia pulang dengan busway.
            Tapi rasanya dia masih bisa untuk membeli dua buah roti kopi kesukaannya. Satu buah untuk teman minum kopi nanti malam, sedangkan sisanya untuk sarapan sebelum berangkat ke kantor.
            Melewati pintu keluar mal, matanya langsung hunting mencari taxi yang masih kosong. Untunglah, tidak butuh waktu lama, sebuah taxi berhenti. Talitha segera naik dan berdoa semoga perjalanan pulang berjalan lancar, tidak terjebak macet sehingga uang di dompetnya cukup untuk membayar ongkos taxi.

            Hari masih pagi, Talitha dengan santai memasuki kantornya. Pagi ini dia terlihat cantik dengan kemeja polos hitam dengan vest kotak-kotak gradiasi warna coklat-krem  dan rok span krem. Sepatu  high heels cantik warna krem dan tas kerja hitam dengan model keren yang baru dia beli kemarin.
            “Wuih, sepatu dan tas baru nih?” Nining teman sekantornya menyapa ramah ketika mereka bertemu di pintu masuk. Nining terkagum-kagum dengan penampilan Talitha. Walau staf baru, namun penampilannya tidak kalah dengan karyawan senior, yang sudah memiliki jabatan dan gaji di atas rata-rata.
            “Yaa, begitu deh,” Talitha tersenyum sumringah. Begitu melewati front office, Nike memberikan informasi yang mengejutkan.
            “Bu Litha, tadi dicariin orang bank,” ujarnya seraya membereskan dokumen-dokumen yang masuk.
            “Dari bank mana ya, Ke?” Litha menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Nining ngikik, ”emang kamu nasabah di berapa bank?”
            “Maksudmu, member kartu kredit di bank apa aja gitu?” Talitha mendelik tak suka. “Yaa, begitu deh,” Nining mengikuti kata-kata Talitha dan pergi berlalu.
            “Ke, kalo ada yang cari aku lagi, bilang aja aku nggak masuk yaaa,” Talitha buru-buru masuk lift. Tiba-tiba kepalanya terasa berat.
            Di kubikel mungilnya, Talitha menenangkan diri. Dia punya tiga kartu kredit, semuanya sudah over limit. Tinggal satu yang tersisa beberapa ratus ribu saja karena sudah terpakai shopping kemarin.
            Ini alasannya mengapa dia seperti kutu loncat yang selalu berpindah kerja. Alasannya hanya satu, menghindar debt collector! Untunglah kemampuan bahasa asing yang dimiliki ditambah teknologi informasi yang dia kuasai sehingga dia tidak sulit untuk mendapatkan pekerjaan baru.
            Hampir setiap bulan dia dibuat pusing oleh tagihan dari ketiga kartu kreditnya. Walau hanya pay minimum, namun dari total semua tagihan yang dia miliki, tentu saja gajinya tidak cukup! Belum untuk membayar sewa kamar kos yang sebulannya 1 juta, biaya transport, biaya makan sehari-hari, hang out  ke kafe, mencoba menu di resto yang baru dan lain-lain.  
            “Bu, tadi ada yang nyari lagi, tapi sesuai dengan pesan Ibu, saya bilang Ibu tidak masuk hari ini,” lapor Nike ketika Talitha pulang.
            “Dia nggak ngotot mau ketemu?” tanya Talitha heran. Biasanya, dia selalu kucing-kucingan dengan debt collector untuk menghindari tagihan.
            “Ngotot juga sih, Bu. Tapi bisa saya handle kok,” Nike tersenyum manis. “Trims ya, Ke,” Talitha melangkah dengan perasaan tidak menentu.
            Begitu sampai di tempat kos, Talitha langsung browsing mencari lowongan pekerjaannya. Dia juga harus mencari tempat kos yang baru. Dia takut debt collector ‘menemukan’ kosnya.
            Dia pernah merasakan betapa ‘menakutkan’ berhubungan dengan debt collector. Beberapa kali dia pindah tempat kerja, pindah kos, berganti nomor ponsel untuk mengindari teror debt collector. Namun kecanduannya menggunakan kartu kredit membuat dia tidak bisa menyelesaikan masalah yang sudah dihadapi tiga tahun belakangan ini.

            “Bu, ada yang cari, dari bank,” suara Nike dari intercom.
            “Bilang saya ada meeting, Ke,” suara Talitha berubah panik. “Baik, Bu...” suara Nike menghilang.
            Talitha bergegas ke toilet. Dia mencoba menenangkan diri. Dia harus kabur sebelum debt collector menemukannya. Dia sudah menyiapkan pengunduran diri, namun Pak Hendrik, Senior Manajer HRD, sedang bertugas ke kantor cabang di daerah.
            Kebetulan dia juga harus hunting mencari kos yang baru. Talitha bergegas mengambil tas kerjanya. Dia keluar lewat pastry kantor. Hampir saja dia bertabrakan dengan seseorang, Talitha mendelik kesal. Lelaki itu tersenyum ramah.
            “Mau kemana, Bu? Kok buru-buru?” Tubuh jangkungnya menghalangi Talitha.
            “Aku ada perlu dulu,” Talitha mencoba tenang.
            “Keluar kantor lewat pastry? Aneh betul!” dia nyengir. Namun di mata Talitha, cengiran itu menakutkan, seolah-olah Enggar tahu bahwa dia tengah berhadapan dengan masalah yang cukup menakutkan dalam hidupnya.
            “Maaf, aku buru-buru!” Talitha mencoba keluar dari pintu pastry. Enggar menarik tangannya. “Mencoba kabur dari kejaran dari debt collector ya?” laki-laki tampan itu tersenyum lagi. Talitha tersentak kaget.
            “Ikut aku,” Enggar menarik tangannya, memasuki lift dan naik ke lantai 20. Begitu keluar dari lift, Enggar mengajaknya masuk ke ruangannya.
            “Duduklah,” Enggar menunjukkan seperangkat sofa nyaman di depan meja kerjanya. Dia melepas dasinya. Disimpan dasi itu di atas meja kerjanya. Dia mencari sebuah dokumen dari laci kerjanya. Talitha meliriknya diam-diam.
            “Talitha Nurma Sari. Umur 30 tahun. Lulusan S1 Komunikasi Massa dari Universitas Kencana dengan nilai Indeks Prestasi Kumulatif 3,50. Sudah berganti 7 perusahaan dalam jangka waktu tiga tahun,” Enggar menggelengkan kepalanya. “Oya, satu lagi. Termasuk black list dari Bank Indonesia. Good!” Enggar nyengir lagi.
            “Kau tahu, Talitha, Sebetulnya aku tidak setuju kau diterima di perusahaan ini. Aku tahu back record-mu di perusahaan-perusahaan sebelumnya. Namun Pak Hendrik ingin memberi kesempatanmu bekerja. Ternyata dugaanku salah! Kinerjamu bagus, Talitha. Hanya sayang, kamu harus berhubungan dengan debt collector-debt collector tersebut. Sehingga mengganggu pekerjaanmu. Berapa utang-utangmu di bank-bank tersebut?” Enggar menatapnya tajam
            Talitha terdiam. Sudah hampir tiga tahun ini dia tidak nyaman dengan hidupnya. Hampir setiap malam dia tidak bisa tidur. Betapa teror-teror itu sangat menakutkan. Sangat mengganggu hidupnya!
            Harusnya dia tahu diri. Dia berasal dari keluarga yang cukup sederhana di kota Kediri. Atas kebaikan hati tantenya dia bisa meneruskan pendidikannya di Jakarta. Berkat kecerdasannya, dia berhasil lulus dengan nilai memuaskan dan diterima sebuah perusahaan bonafide.
            Jakarta sudah membuatnya berubah. Dia berubah menjadi seorang gadis kosmopolitan yang ingin menikmati gemerlapnya kota Jakarta. Cara instan dia lakukan. Menjadi nasabah pada tiga kartu kredit dengan jumlah limit yang berbeda. Menikmati hidup dengan tumpukan utang!
            Gemetar Talitha menyodorkan tagihan-tagihan itu ke bosnya. Enggar langsung meng-faks kertas-kertas tagihan itu. “Mbak, tolong tutupi tagihan-tagihan itu. Tinggal dihitung aja, berapa potongan yang dibebankan pada Bu Talitha setiap bulannya. Terima kasih,” suara Enggar terdengar begitu berwibawa.
            Talitha menatap tak percaya pada wajah tampan itu. Enggar pura-pura sibuk dengan monitor laptop-nya. “Sepertinya Anda harus bekerja lembur untuk menutupi tagihan-tagihan ini, mungkin selama 5 tahun!”
            “Terima kasih,” suara Talitha terdengar gemetar. Setelah dia mencoba meminjam uang kepada saudara dan teman-temannya untuk menutupi utangnya. Nihil! Rasanya dia ingin memeluk laki-laki tampan di depannya. Dia sudah menyelamat hidupnya. He is my superhero! bisik Talitha terdengar norak. Tapi kalau bukan laki-laki tampan itu, hidupnya akan terus terancam oleh utang-utang terkutuk itu!
Enggar, yunior HRD di kantor periklanan yang cukup bonafide di Jakarta. Salah satu pemegang saham, sehingga apa yang dia instruksikan ke Vivi, manajer keuangan perusahaan, bisa langsung disetujui.
“Mana kartu-kartu kredit itu? Aku sita untuk jaminannya,” Enggar mengangkat wajahnya tiba-tiba. Talitha gugup, namun dia mencoba tersenyum. Dikeluarkan koleksi kartu kreditnya. Hmm, dia lega. Ini terapi yang diterapkan Enggar supaya dia terbebas dari  shopping-crazy. Dia harus berubah menjadi smart shopper! Syukurlah, kemarin dia masih sempat belanja. Tanpa sadar Talitha tersenyum sendiri.
            Talitha melangkah ringan keluar dari kantornya. Mulai besok, dia akan memulai hari baru yang lebih baik Dia berjanji akan hidup sesuai dengan kemampuannya.
There is will be my simple life, janjinya lagi. Talitha tersenyum. Bahagia.

*****

0 komentar:

Posting Komentar