Jam sepuluh pagi Tasha baru saja
bangun. Aku yang sudah selesai jogging bareng Papa, cuma bisa mendelik kesal
ketika Tasha dengan santai meneguk susu coklat sambil nonton Film Keluarga-nya
RCTI. Dia masih bergaun tidur dengan rambut acak-acakan.
“Mandi dulu dong, Tasha!” tegur Mama dengan
secarik daftar belanjaan di tangan.
“Nanti dulu, Mam. Mbak Tita juga belum.”
“Mbak sih habis jogging, nah kamu jam
segini baru bangun,” omelku kesal. Tapi Tasha cuek. Dia asyik nonton tanpa
mempedulikan kata-kataku.
“Ta, temenin Mama ke Golden Truly, ya?”
Pinta Mama yang tentu saja tak dapat kutolak.
Lagi-lagi aku mendelik kesal ke arah Tasha.
Heran kenapa aku terus yang kebagian nemenin Mama. Mentang-mentang si manja itu
pernah sekali menolak. Karena itu Mama tidak penah mencobanya lagi.
“Tasha, kamu saja deh yang nemenin Mama.
Sekali-kali dong,” bujukku dengan suara lembut setelah Mama balik lagi ke
dapur.
“Enggak ah, Tasha mau nonton film ini,” jawabnya
tegas.
Aku
mandi dengan perasaan dongkol. Padahal nanti aku harus mengetik bahan-bahan
mading yang akan terbit Rabu besok. Tapi untuk menolak Mama, aku tidak tega.
Terpaksa aku harus mengalah lagi.
Kukenakan kaos oblong putih jeans belel dan
kets putih. Sedangkan Mama begitu cantik dengan blus pink, rok motif bunga-bunga dengan warna lembut dan sepatu
sandalnya. Hmm, Mama jadi kelihatan muda dengan dandanan seperti itu. Pasti
tidak ada yang menyangka kalau kedua putrinya sudah remaja.
“Mmm, jangan lupa pesanan Tasha semalam!”
ugh, pasti beraneka cemilan kesukaannya. Coklat, ice cream, Dunkin Donat,
Chitato ukuran big, roti cokelat dan lain-lain. Heran, biar doyan ngemil tapi
tetap saja badannya langsing. Tidak seperti aku yang mau kurus saja susahnya
minta ampun. Padahal sudah berbagai diet aku coba. Mungkin keturunan Papa yang
memang sudah rada gendut dari sananya. Sedangkan Tasha keturunan Mama yang
tetap langsing biar umurnya sudah mendekati empat puluh.
Kami pamit pada Papa yang asyik membaca Kompas di teras. Mama mengemudikan mobil
dengan santai.
Mama mengenakan kacamata rayban untuk
menghindari matahari. Hmm, Mama jadi kelihatan tambah keren.
Di lampu merah perempatan jalan Senopati,
di sisi Mama ada sebuah mobil Forsa yang isinya dua cowok modis. Tapi mama
cuek, tetap konsentrasi mengemudikan mobil.
Kalau ada Tasha pasti anak itu ribut. Sibuk
mengomeli penggoda Mama. Tapi tentu saja Tasha jadi korban godaan mereka
berikutnya. Soalnya Tasha tidak kalah cantiknya dengan Mama. Kalau aku, malas untuk
meladeni cowok-cowok iseng seperti itu. Mau menegur mereka saja aku minder
duluan. Kadang kala aku suka sedih. Kenapa sih aku tidak cantik seperti Mama
dan Tasha.
Seperti biasa setiap minggu pagi Mama
belanja kebutuhan sehari-hari untuk seminggu penuh. Kecuali sayur, ikan,
daging, ayam dan buah, kalau kurang Mama pasti menyuruh Mbok Yem belanja di
Pasar Santa.
Sampai di rumah Tasha sudah menunggu di
teras bareng Papa. Siang ini dia cukup lincah dengan kaos oblong biru dan
celana pendek jeans. Dengan rambut ala Demi Moore seperti itu, dia jadi
kelihatan cantik sekali.
“Duh Mama, lama banget ditungguin,” Tasha
cuma menyambar Dunkin Donat tanpa mempedulikan aku yang kerepotan membawa
tas-tas plastik kedapur.
“Oya, tadi Riko kesini nganterin bahan-bahan
mading. Tuh, Tasha simpan di meja makan,” kata nya seraya mengambil donat isi
strawberry.
“Kenapa enggak disuruh nunggu sih?” aku
mendelik kesal.Selera ku untuk meneguk jus jeruk dingin hilang karena ulah nya.
Padahal kami harus diskusi soal bahan-bahan mading yang harus diedit.
Ala,cuma Rico ini, ngapain sih harus
disuruh nunggu segala?” jawabnya seenaknya. Ini salah satu sifat yang paling
aku benci. Suka memandang orang dari kekayaan, kebekenan, atau kekerenannya.
“Tasha, kok gitu sih?” omel Mama dengan
suara lembut.
“Habis temen-temen mbak Tita enggak ada
yang oke sih, Mam. Lain ‘kan sama Tasha,” katanya nyebelin. Aku cuma diam.
Soalnya kalau diterusin bakal tidak selesai-selesai. Tasha mana mau mengalah.
***
“PA, kita makan siang di Bakmi Gajah
Mada PI Mall aja. Sekalian Tasha mau nyari tas ransel yang kayak Ivo. Bagus
deh, Pa,” mulai deh manja merayu
“Lho, ‘kan baru
minggu lalu kamu beli tas Esprit. Sekarang mau beli lagi?”
“Tapi Tasha kan
enggak punya tas ransel. Lagian tas ransel itu fleksibel, bisa dibawa kemana
aja, Pa. Ke sekolah, kemping, les, fitnes, berenang, dan....”
“Ke pesta,”
potongku sebel. Tasha mulai cemberut. Sebentar lagi pasti ngambek kalau
permintaannya tidak dipenuhi. Untuk menghindari semua itu Papa selalu menurut.
Kalau Mama sih no problem. Sudah dari
tadi setuju. Pokoknya segala permintaan anak kesayangannya Mama selalu setuju.
“Betul kamu engga
ikut, Sayang?” tanya Papa.
“Tita harus
mengetik bahan-bahan mading, Pa,” jawabku lesu. Aku iri pada Tasha yang
enak-enakan jalan sedangkan aku harus kerja keras mengejar deadline.
“Nanti, Papa
bawain mie pangsit kesukaan kamu, ya?” hibur Papa. Aku mencoba tersenyum manis.
Baru mulai kerja
mengedit dan mengetik bahan–bahan mading, mereka sudah pulang. Wajah Tasha
masam. Papa menyodorkan bungkusan isi mie pangsit.
“Tasha kenapa
sih, Pa?” tanyaku heran.
“Biasa, barang
yang dicari enggak ketemu. Papa udah nawarin tas yang lain, tapi Tasha nolak.
Ya sudah, selesai makan kita langsung pulang.”
“Minggu depan
kita coba lagi, Pa. Siapa tau ketemu,” timpal Mama sembari membawa segelas
sirup mocca dingin kesukaan Papa.
***
SEPERTI
biasa Pak Karto mengantar kami ke sekolah. Aku bergegas turun. Dari pintu
gerbang Lily melambaikan tangannya.
“Gila, adik
kamu modis banget,” bisik Lily melihat Tasha lewat didepan kami. Walau dia
tidak menemukan tas ranselnya tapi Papa berhasil membujuknya dengan sepasang
kaos kaki selutut yang gambarnya lucu, ikat pinggang H&R kotak-kotak dan
bando manis warna merah-hitam.
“Lain deh sama
kamu yang seadanya,” katanya sambil memandangku prihatin. Aku Cuma tersenyum.
Habis mau diapain lagi.
“Tapi yang
penting kan otaknya, iya enggak, Ta?” Biasa deh kalau Lily sudah sok merayu
biar dikasih copy-an PR Matematika dan contekan Bahasa Inggris.
Seperti biasa kalau Senin pagi sekolahan mengadakan
upacara bendera.
“Hey, Ta itukan
Tasha. Ngapain dia baris di depan? Kena hukum lagi?” tunjuk Novi.
Ya ampun!
Aku tidak habis pikir kenapa Tasha pakai acara tidak bawa
dasi dan topi segala? Padahal tadi Mama sudah mengingatkan. Masak Cuma dianggap
angin lalu saja?
Aku tidak ada selera lagi untuk mengikuti
upacara bendera. Doaku semoga upacara cepat selesai dan aku bisa masuk ke kelas
tanpa memusingkan lagi masalah Tasha.
“Anak-anakku, pagi ini Bapak boleh
berbangga atas salah satu teman kalian,” lamat-lamat ku dengar kepala sekolah
membuka wejangannya. “Tanpa banyak komentar lagi Bapak panggilkan saja Artita
Kusumawardhani!”
Gemuruh tepuk tangan menyadarkan aku yang
tengah pusing memikirkan tingkah Tasha pagi ini. “Ta, kamu dipanggil Pak Arif
tuh! Ayo, ke depan!” Lily dan Mia kompak mendorong badanku.
“Selamat Nak Tita, kamu memenangkan juara
pertama Sayembara Penulisan se-SMP di Jakarta,” lagi-lagi terdengar tepukan
gemuruh yang membuatku sangat bahagia. Aku sama sekali tidak menyangka bakal
menang. Berapa kali kuucapkan terima kasih kepada Tuhan.
Karena ada rapat mading aku pulang naik
bis. Tasha sudah pulang duluan, dijemput Pak Karto.
“Tasha kenapa, Ta, kok pulang-pulang
ngambek?” tanya Mama begitu aku sampai. Aku menghela napas jengkel. Kenapa
harus Tasha yang ditanyakan duluan. Kenapa bukan piala mungil yang kubawa?
Kebahagiaan yang kubawa dari sekolah entah menguap ke mana.
“Piala apa itu, Ta?” tanya Mama lagi.
“Menang sayembara penulisan, Ma,” jawabku
singkat sambil mencopot sepatu kets dan kaos kaki.
“Selamat Sayang,” Mama mengecupku sekilas
kemudian sibuk memanggil-manggil Tasha dengan suara lembutnya untuk mengajak
anak manja itu makan.
***
ENTAH
mengapa, tingkah Tasha semakin menjadi. Dia sering meninggalkan les Matematika
dan Fisikanya untuk ngeceng dengan teman-temannya ke PI Mall.
“Belajar apa
siang ini, Tasha?” sindirku di meja makan. Tasha cemberut. Tas ransel kulitnya
terlihat penuh. Aku yakin isinya pasti baju dan sepatu kerennya.
Menjelang ujian
semester pun Tasha masih doyan ngeceng dan shopping
dengan teman segenk-nya. Mama masih saja percaya kalau Tasha pergi untuk les.
Papa pernah
beberapa kali curiga karena hampir setiap hari Tasha pulang menjelang jam tujuh
malam, tapi selalu Mama yang datang membelanya. “Biar saja dia belajar dengan
teman-temannya, Pa. Daripada di rumah dia juga tidak belajar.”
“Tasha, kurangi
deh acara hura-hura kamu dengan teman segenk-mu. Memangnya selama ini Mbak Tita
enggak tahu kemana kamu pergi. Kamu jangan berbohong dengan Papa dan Mama
dengan alasan belajar bareng,” aku terpaksa berbicara langsung. Tasha menatapku
tajam.
“Itu urusan
Tasha, Mbak! Kalau Mbak mau mengadu ke Papa dan Mama silakan, Tasha enggak
takut!”
“Mbak enggak
melakukannya. Mbak cuma ingin kamu jujur. Hanya itu, Tasha,” tapi Tasha mana
mau peduli. Dia malah asyik mendengarkan lagu The Sign sambil goyang-goyang kepala. Dengan jengkel kutinggalkan
kamarnya.
***
TASHA
menundukan kepalanya dalam-dalam. Wajah Mama memerah menahan marah. Papa
berusaha menenangkan diri dengan meneguk secangkir kopi.
Buku rapot
Tasha masih terbuka lebar di atas meja. Aku dapat membaca dengan jelas. Hampir
semua angka merah. Matematika, Bahasa Inggris, Biologi dan Fisika. Aku tidak
heran kalau Tasha tidak naik kelas.
Hening
menyelimuti suasana ruang keluarga sore ini. Lima menit kemudian Tasha mengaku
segalanya dengan suara terputus-putus. Mama terpekik kaget tidak menyangka
Tasha tega membohonginya. Papa menatap Tasha tajam. Wajah Tasha tertunduk lagi.
Lalu dengan suara berat Papa memberi nasihatnya.
“Kamu harus
banyak belajar dengan kakakmu, Tasha. Dia sederhana, pintar, kreatif dan
mandiri. Mama juga jangan terlalu melindungi dan memanjakan Tasha. Tapi ini
mungkin salah Papa juga,” Papa menarik napas berat.
“Enggak, bukan
Papa yang salah, tapi Tasha, Pa. Maafkan Tasha, Pa,” Tasha menundukkan wajahnya
dalam-dalam.
“Mama yang
salah, Sayang. Mama terlalu memanjakkanmu hanya karena kamu sering
sakit-sakitan waktu kecil sehingga Mama takut kehilanganmu. Sehingga terbawa
sampai sekarang, Mama selalu ingin menuruti segala keinginanmu, Tasha.”
“Dan untuk
Tita, maafkan Mama. Mungkin selama ini Mama sudah berlaku tidak adil
terhadapmu. Padahal selama ini Mama bangga terhadapmu. Selamat, ta, kamu juara
lagi. Mama bangga, Sayang.” Mama mencium kedua pipiku.
“Maafkan Tasha,
Ma. Selama ini Tasha telah membohongi Mama dan tidak pernah mau mendengar
nasihat Mama. Mama mau memaafkan Tasha, ‘kan?” Tasha mulai berani mengangkat
wajahnya.
“Mbak, Tasha
juga minta maaf. Hanya karena Tasha iri dengan kelebihan Mbak Tita, Tasha jadi
seperti memusuhi Mbak Tita. Walau sebetulnya selama ini Tasha bangga mempunyai
kakak seperti Mbak Tita,” Tasha mengecup pipiku. Dengan terharu ku hadiahkan
senyum manisku padanya.
“Tasha berjanji
akan mengubah sifat-sifat jelek Tasha selama ini dan Tasha akan belajar
sunggu-sungguh.”
“Bagaimana
kabar Glenn, Adre, Vonny, Ivy dan teman-teman segenk-mu itu, Tasha?” tanyaku
jail begitu suasana telah netral kembali. Kami asyik menyantap puding karamel
dan juice tomat buatan Mama.
“Selamat
tinggal hura-hura,” jawab Tasha mantap. Aku mengangguk setuju. Aku melihat
Tasha telah yakin untuk dapat mengubah segalanya. Aku berdoa semoga Tasha
berhasil.
****
0 komentar:
Posting Komentar