Rabu, 17 September 2014

Penyesalan Tasha



Jam sepuluh pagi Tasha baru saja bangun. Aku yang sudah selesai jogging bareng Papa, cuma bisa mendelik kesal ketika Tasha dengan santai meneguk susu coklat sambil nonton Film Keluarga-nya RCTI. Dia masih bergaun tidur dengan rambut acak-acakan.
     “Mandi dulu dong, Tasha!” tegur Mama dengan secarik daftar belanjaan di tangan.
     “Nanti dulu, Mam. Mbak Tita juga belum.”
     “Mbak sih habis jogging, nah kamu jam segini baru bangun,” omelku kesal. Tapi Tasha cuek. Dia asyik nonton tanpa mempedulikan kata-kataku.
     “Ta, temenin Mama ke Golden Truly, ya?” Pinta Mama yang tentu saja tak dapat kutolak.
     Lagi-lagi aku mendelik kesal ke arah Tasha. Heran kenapa aku terus yang kebagian nemenin Mama. Mentang-mentang si manja itu pernah sekali menolak. Karena itu Mama tidak penah mencobanya lagi.
     “Tasha, kamu saja deh yang nemenin Mama. Sekali-kali dong,” bujukku dengan suara lembut setelah Mama balik lagi ke dapur.
     “Enggak ah, Tasha mau nonton film ini,” jawabnya tegas.
Aku mandi dengan perasaan dongkol. Padahal nanti aku harus mengetik bahan-bahan mading yang akan terbit Rabu besok. Tapi untuk menolak Mama, aku tidak tega. Terpaksa aku harus mengalah lagi.
     Kukenakan kaos oblong putih jeans belel dan kets putih. Sedangkan Mama begitu cantik dengan blus pink, rok motif bunga-bunga dengan warna lembut dan sepatu sandalnya. Hmm, Mama jadi kelihatan muda dengan dandanan seperti itu. Pasti tidak ada yang menyangka kalau kedua putrinya sudah remaja.
     “Mmm, jangan lupa pesanan Tasha semalam!” ugh, pasti beraneka cemilan kesukaannya. Coklat, ice cream, Dunkin Donat, Chitato ukuran big, roti cokelat dan lain-lain. Heran, biar doyan ngemil tapi tetap saja badannya langsing. Tidak seperti aku yang mau kurus saja susahnya minta ampun. Padahal sudah berbagai diet aku coba. Mungkin keturunan Papa yang memang sudah rada gendut dari sananya. Sedangkan Tasha keturunan Mama yang tetap langsing biar umurnya sudah mendekati empat puluh.
     Kami pamit pada Papa yang asyik membaca Kompas di teras. Mama mengemudikan mobil dengan santai.
     Mama mengenakan kacamata rayban untuk menghindari matahari. Hmm, Mama jadi kelihatan tambah keren.
     Di lampu merah perempatan jalan Senopati, di sisi Mama ada sebuah mobil Forsa yang isinya dua cowok modis. Tapi mama cuek, tetap konsentrasi mengemudikan mobil.
     Kalau ada Tasha pasti anak itu ribut. Sibuk mengomeli penggoda Mama. Tapi tentu saja Tasha jadi korban godaan mereka berikutnya. Soalnya Tasha tidak kalah cantiknya dengan Mama. Kalau aku, malas untuk meladeni cowok-cowok iseng seperti itu. Mau menegur mereka saja aku minder duluan. Kadang kala aku suka sedih. Kenapa sih aku tidak cantik seperti Mama dan Tasha.
     Seperti biasa setiap minggu pagi Mama belanja kebutuhan sehari-hari untuk seminggu penuh. Kecuali sayur, ikan, daging, ayam dan buah, kalau kurang Mama pasti menyuruh Mbok Yem belanja di Pasar Santa.
     Sampai di rumah Tasha sudah menunggu di teras bareng Papa. Siang ini dia cukup lincah dengan kaos oblong biru dan celana pendek jeans. Dengan rambut ala Demi Moore seperti itu, dia jadi kelihatan cantik sekali.
     “Duh Mama, lama banget ditungguin,” Tasha cuma menyambar Dunkin Donat tanpa mempedulikan aku yang kerepotan membawa tas-tas plastik kedapur.
     “Oya, tadi Riko kesini nganterin bahan-bahan mading. Tuh, Tasha simpan di meja makan,” kata nya seraya mengambil donat isi strawberry.
     “Kenapa enggak disuruh nunggu sih?” aku mendelik kesal.Selera ku untuk meneguk jus jeruk dingin hilang karena ulah nya. Padahal kami harus diskusi soal bahan-bahan mading yang harus diedit.
     Ala,cuma Rico ini, ngapain sih harus disuruh nunggu segala?” jawabnya seenaknya. Ini salah satu sifat yang paling aku benci. Suka memandang orang dari kekayaan, kebekenan, atau kekerenannya.
     “Tasha, kok gitu sih?” omel Mama dengan suara lembut.
     “Habis temen-temen mbak Tita enggak ada yang oke sih, Mam. Lain ‘kan sama Tasha,” katanya nyebelin. Aku cuma diam. Soalnya kalau diterusin bakal tidak selesai-selesai. Tasha mana mau mengalah.

***

PA, kita makan siang di Bakmi Gajah Mada PI Mall aja. Sekalian Tasha mau nyari tas ransel yang kayak Ivo. Bagus deh, Pa,” mulai deh manja merayu
     “Lho, ‘kan baru minggu lalu kamu beli tas Esprit. Sekarang mau beli lagi?”
     “Tapi Tasha kan enggak punya tas ransel. Lagian tas ransel itu fleksibel, bisa dibawa kemana aja, Pa. Ke sekolah, kemping, les, fitnes, berenang, dan....”
     “Ke pesta,” potongku sebel. Tasha mulai cemberut. Sebentar lagi pasti ngambek kalau permintaannya tidak dipenuhi. Untuk menghindari semua itu Papa selalu menurut. Kalau Mama sih no problem. Sudah dari tadi setuju. Pokoknya segala permintaan anak kesayangannya Mama selalu setuju.
     “Betul kamu engga ikut, Sayang?” tanya Papa.
     “Tita harus mengetik bahan-bahan mading, Pa,” jawabku lesu. Aku iri pada Tasha yang enak-enakan jalan sedangkan aku harus kerja keras mengejar deadline.
     “Nanti, Papa bawain mie pangsit kesukaan kamu, ya?” hibur Papa. Aku mencoba tersenyum manis.
     Baru mulai kerja mengedit dan mengetik bahan–bahan mading, mereka sudah pulang. Wajah Tasha masam. Papa menyodorkan bungkusan isi mie pangsit.
     “Tasha kenapa sih, Pa?” tanyaku heran.
     “Biasa, barang yang dicari enggak ketemu. Papa udah nawarin tas yang lain, tapi Tasha nolak. Ya sudah, selesai makan kita langsung pulang.”
     “Minggu depan kita coba lagi, Pa. Siapa tau ketemu,” timpal Mama sembari membawa segelas sirup mocca dingin kesukaan Papa.

***

SEPERTI biasa Pak Karto mengantar kami ke sekolah. Aku bergegas turun. Dari pintu gerbang Lily melambaikan tangannya.
     “Gila, adik kamu modis banget,” bisik Lily melihat Tasha lewat didepan kami. Walau dia tidak menemukan tas ranselnya tapi Papa berhasil membujuknya dengan sepasang kaos kaki selutut yang gambarnya lucu, ikat pinggang H&R kotak-kotak dan bando manis warna merah-hitam.
     “Lain deh sama kamu yang seadanya,” katanya sambil memandangku prihatin. Aku Cuma tersenyum. Habis mau diapain lagi.
     “Tapi yang penting kan otaknya, iya enggak, Ta?” Biasa deh kalau Lily sudah sok merayu biar dikasih copy-an PR Matematika dan contekan Bahasa Inggris.
Seperti biasa kalau Senin pagi sekolahan mengadakan upacara bendera.
     “Hey, Ta itukan Tasha. Ngapain dia baris di depan? Kena hukum lagi?” tunjuk Novi.
     Ya ampun!
Aku tidak habis pikir kenapa Tasha pakai acara tidak bawa dasi dan topi segala? Padahal tadi Mama sudah mengingatkan. Masak Cuma dianggap angin lalu saja?
     Aku tidak ada selera lagi untuk mengikuti upacara bendera. Doaku semoga upacara cepat selesai dan aku bisa masuk ke kelas tanpa memusingkan lagi masalah Tasha.
     “Anak-anakku, pagi ini Bapak boleh berbangga atas salah satu teman kalian,” lamat-lamat ku dengar kepala sekolah membuka wejangannya. “Tanpa banyak komentar lagi Bapak panggilkan saja Artita Kusumawardhani!”
     Gemuruh tepuk tangan menyadarkan aku yang tengah pusing memikirkan tingkah Tasha pagi ini. “Ta, kamu dipanggil Pak Arif tuh! Ayo, ke depan!” Lily dan Mia kompak mendorong badanku.
     “Selamat Nak Tita, kamu memenangkan juara pertama Sayembara Penulisan se-SMP di Jakarta,” lagi-lagi terdengar tepukan gemuruh yang membuatku sangat bahagia. Aku sama sekali tidak menyangka bakal menang. Berapa kali kuucapkan terima kasih kepada Tuhan.
     Karena ada rapat mading aku pulang naik bis. Tasha sudah pulang duluan, dijemput Pak Karto.
     “Tasha kenapa, Ta, kok pulang-pulang ngambek?” tanya Mama begitu aku sampai. Aku menghela napas jengkel. Kenapa harus Tasha yang ditanyakan duluan. Kenapa bukan piala mungil yang kubawa? Kebahagiaan yang kubawa dari sekolah entah menguap ke mana.
     “Piala apa itu, Ta?” tanya Mama lagi.
     “Menang sayembara penulisan, Ma,” jawabku singkat sambil mencopot sepatu kets dan kaos kaki.
     “Selamat Sayang,” Mama mengecupku sekilas kemudian sibuk memanggil-manggil Tasha dengan suara lembutnya untuk mengajak anak manja itu makan.

***

ENTAH mengapa, tingkah Tasha semakin menjadi. Dia sering meninggalkan les Matematika dan Fisikanya untuk ngeceng dengan teman-temannya ke PI Mall.
     “Belajar apa siang ini, Tasha?” sindirku di meja makan. Tasha cemberut. Tas ransel kulitnya terlihat penuh. Aku yakin isinya pasti baju dan sepatu kerennya.
     Menjelang ujian semester pun Tasha masih doyan ngeceng dan shopping dengan teman segenk-nya. Mama masih saja percaya kalau Tasha pergi untuk les.
     Papa pernah beberapa kali curiga karena hampir setiap hari Tasha pulang menjelang jam tujuh malam, tapi selalu Mama yang datang membelanya. “Biar saja dia belajar dengan teman-temannya, Pa. Daripada di rumah dia juga tidak belajar.”
     “Tasha, kurangi deh acara hura-hura kamu dengan teman segenk-mu. Memangnya selama ini Mbak Tita enggak tahu kemana kamu pergi. Kamu jangan berbohong dengan Papa dan Mama dengan alasan belajar bareng,” aku terpaksa berbicara langsung. Tasha menatapku tajam.
     “Itu urusan Tasha, Mbak! Kalau Mbak mau mengadu ke Papa dan Mama silakan, Tasha enggak takut!”
     “Mbak enggak melakukannya. Mbak cuma ingin kamu jujur. Hanya itu, Tasha,” tapi Tasha mana mau peduli. Dia malah asyik mendengarkan lagu The Sign sambil goyang-goyang kepala. Dengan jengkel kutinggalkan kamarnya.
***

TASHA menundukan kepalanya dalam-dalam. Wajah Mama memerah menahan marah. Papa berusaha menenangkan diri dengan meneguk secangkir kopi.
     Buku rapot Tasha masih terbuka lebar di atas meja. Aku dapat membaca dengan jelas. Hampir semua angka merah. Matematika, Bahasa Inggris, Biologi dan Fisika. Aku tidak heran kalau Tasha tidak naik kelas.
     Hening menyelimuti suasana ruang keluarga sore ini. Lima menit kemudian Tasha mengaku segalanya dengan suara terputus-putus. Mama terpekik kaget tidak menyangka Tasha tega membohonginya. Papa menatap Tasha tajam. Wajah Tasha tertunduk lagi. Lalu dengan suara berat Papa memberi nasihatnya.
     “Kamu harus banyak belajar dengan kakakmu, Tasha. Dia sederhana, pintar, kreatif dan mandiri. Mama juga jangan terlalu melindungi dan memanjakan Tasha. Tapi ini mungkin salah Papa juga,” Papa menarik napas berat.
     “Enggak, bukan Papa yang salah, tapi Tasha, Pa. Maafkan Tasha, Pa,” Tasha menundukkan wajahnya dalam-dalam.
     “Mama yang salah, Sayang. Mama terlalu memanjakkanmu hanya karena kamu sering sakit-sakitan waktu kecil sehingga Mama takut kehilanganmu. Sehingga terbawa sampai sekarang, Mama selalu ingin menuruti segala keinginanmu, Tasha.”
     “Dan untuk Tita, maafkan Mama. Mungkin selama ini Mama sudah berlaku tidak adil terhadapmu. Padahal selama ini Mama bangga terhadapmu. Selamat, ta, kamu juara lagi. Mama bangga, Sayang.” Mama mencium kedua pipiku.
     “Maafkan Tasha, Ma. Selama ini Tasha telah membohongi Mama dan tidak pernah mau mendengar nasihat Mama. Mama mau memaafkan Tasha, ‘kan?” Tasha mulai berani mengangkat wajahnya.
     “Mbak, Tasha juga minta maaf. Hanya karena Tasha iri dengan kelebihan Mbak Tita, Tasha jadi seperti memusuhi Mbak Tita. Walau sebetulnya selama ini Tasha bangga mempunyai kakak seperti Mbak Tita,” Tasha mengecup pipiku. Dengan terharu ku hadiahkan senyum manisku padanya.
     “Tasha berjanji akan mengubah sifat-sifat jelek Tasha selama ini dan Tasha akan belajar sunggu-sungguh.”
     “Bagaimana kabar Glenn, Adre, Vonny, Ivy dan teman-teman segenk-mu itu, Tasha?” tanyaku jail begitu suasana telah netral kembali. Kami asyik menyantap puding karamel dan juice tomat buatan Mama.

     “Selamat tinggal hura-hura,” jawab Tasha mantap. Aku mengangguk setuju. Aku melihat Tasha telah yakin untuk dapat mengubah segalanya. Aku berdoa semoga Tasha berhasil.
****

0 komentar:

Posting Komentar