Suatu
sore di sudut kantin sekolah. Jeff sedang menikmati segelas milkshake
coklat kesukaannya. Kupandangi gelas tinggi berisi jus strawberry favoritku
tanpa selera. Entah mengapa sore ini aku merasa bad mood.
“Kamu kenapa sih, Gi? BT gitu? Bingung
mau kuliah dimana?”
Aku hanya tersenyum saja menanggapi
pertanyaan Jeff.
“Mana dong Regi yang kukenal? Regi
sahabatku yang selalu ceria, yang selalu memandang hidup ini indah!”
Kenapa sih, Jeff, elo cuma nganggap
gue sahabat elo aja? Gimana kalo gue bilang, gue suka ama elo. Lebih dari
sahabat. Seandainya bisa, Tuhan. Seandainya ada keajaiban yang datang pada gue.
Dapat berubahkah perasaan elo pada gue, Jeff?
“Besok naik kereta jam berapa?”
tanyaku malas. Jeff memandangiku. Dia pun menjawab enggan. “Jam lima sore.”
“Jadi rencana kamu gimana? Jadi ikutan ‘SPMB’?
Jadi milih UNDIP? Seandainya kamu masih di sini. Kita nggak perlu berpisah,”
kupandangi wajah coklatnya. Jeff tersenyum. “Come on, Gi. Kehidupan
harus terus berjalan. Tapi persahabatan kita tetap selamanya.”
“Walau nanti kamu mendapatkan
pengganti Vita?”
Jeff terbahak. “Biar nanti aku udah
merit pun kamu tetap sahabatku, Regi.”
“Jadi kamu tuh sebetulnya udah
‘nyimpen’ cewek di sana yah, Jeff?” godaku lagi. Aku tidak tahu apakah harus
bahagia atau sedih.
Jeff tersenyum. “Sekarang yang aku
inginkan aku bisa kuliah sebaik-baiknya. Jadi sarjana lalu kerja. Dan
membahagiakan kedua orang tuaku.”
“Gi, kamu ingat gak pertama kali kita
ketemu?” tanyanya tiba-tiba. Aku tersenyum. Ingat kejadian lucu tiga tahun yang
lalu.
“Waktu itu kamu bentak aku hanya
karena aku tanya hari kedua ‘Orientasi Sekolah’ bawa apa aja...”
“Abis aku juga kena bentak kakak
senior yang paling sadis gara-gara aku nanya ukuran korek apinya,” potongku
tidak mau kalah. “Tapi sorry yah, Jeff. Biar udah aku bentak kamu nggak
dendam. Malah nolongin aku. Kalo gak, aku pasti disuruh maju dan dihukum macem-macem.”
“Kamu tuh lucu, Gi. Kupikir kamu tuh
cewek paling galak diantara anak-anak yang lain, taunya waktu kamu
nangis-nangis saking paniknya karena tugas kamu belum selesai, aku nggak tega
juga,” Jeff tersenyum lebar.
“Gimana aku nggak panik. Aku disuruh
bawa Greensport. Padahal saat itu kan minuman itu udah gak ada lagi. Cuma kamu yang
bisa nolong. Untung bude kamu masih nyimpen botol itu. Kamu ngasih ide supaya
air jeruk dimasukin ke botol itu aja biar nggak ketauan.”
Sejak itu persahabatan kami terjalin.
Bagiku Jeff sahabat yang paling baik. Waktu Eyang meninggal, Jeff yang
mengantarku ke Semarang. Memang sih dia juga sekalian mau pulang kampung. Tapi
setidak-tidaknya aku punya teman berbagi kesedihan. Sementara keluargaku
berangkat duluan karena aku harus mengikuti ujian kenaikan kelas. Jeff juga
yang mendengar keluh kesahku soal Rendy.
“Aku udah bilang sama kamu, Gi.
Putusin Rendy! Buat apa sih kamu menyiksa diri,” nasehatnya waktu itu. Ahh,
Jeff, seandainya kamu tahu! Aku terpaksa menerima cinta Rendy karena aku tahu
sia-sia saja menunggu cinta darimu. Kamu tidak pernah mencintaiku.
“Aku nggak setuju kamu pacaran sama Rendy,
Gi. Kamu kan tau sendiri tipe cowok macam apa Rendy itu. Korban broken-home, playboy, tukang bolos sekolah. Sementara kamu. Pinter, aktivis
OSIS, ketua kelas. Dunia kalian tuh berbeda.”
“Aku cuma kasian aja ama dia, Jeff.
Dia perlu kasih sayang. Itu nggak dia dapetin di rumahnya.”
Dari rasa kasihan itu aku ‘pura-pura’
mencintainya. Kutemani hari-harinya. Alhamdulillah, perlahan Rendy dapat
merubah tingkah lakunya. Dia jadi rajin sekolah, lebih banyak menghabiskan waktunya
di rumah dan yang penting dia bisa
menghargai wanita.
Tapi lama-lama aku tidak kuat juga. Aku tidak
bisa membohonginya terus-menerus. Aku terpaksa berkata jujur. Rendy marah. Dia
tidak menyangka aku tega berbuat seperti itu.
“Ini demi kebaikan kamu, Rendy. Aku
ingin kamu berubah. Kasihan ortu kamu yang udah susah-susah biayain kamu
sekolah, kalo kamu sia-siain begitu aja...”
“Ala, sok tau kamu! Aku tau kenapa
kamu tega berbuat seperti ini terhadapku. Karena Jeff, ‘kan? Aku tau sebetulnya
kamu mencintai dia. Kamu cuma pengen buat Jeff jeles!”
“Kok ngelamun, Gi, inget Rendy yah?”
tiba-tiba Jeff menyentuh tanganku. Aku tersenyum. “Kasian Rendy, yah Jeff? Aku
nggak tau dimana dia sekarang. Sejak
dia tidak naik kelas, dia pindah sekolah.”
“Aku merasa bersalah, Jeff...”
“Ssttt, jangan ngomong gitu, Gi. Rendy
patah hati karena dia amat mencintai kamu.”
Tiba-tiba aku tertawa. “Cinta itu apa
sih, Jeff? Aku nggak pernah tau. Dan aku nggak pengen cinta datang kalo cuma
buatku menderita.”
Jeff juga sama gilanya sore ini.
“Sama. Aku juga nggak ngerti cinta itu apa. Di saat aku pengen merasakannya
dengan seorang cewek yang betul-betul aku cintai, cewek itu cuma pengen
memanfaatkan kebaikanku aja. Aku juga nggak pengen jatuh cinta kalo cuma buat
aku sakit hati.”
Lalu kami sama-sama tertawa
terbahak-bahak. Ahh, kapan lagi bisa ’gila’ bareng. Air mataku sampai
berjatuhan. Kulihat bahu kokoh Jeff terguncang-guncang saking hebohnya dia
tertawa.
Mendadak aku terdiam. Tuhan, kapan
akan kutemui mata kelam itu lagi? Mata yang selalu memandangiku lembut. Yang
selalu kutebak-tebak apa artinya? Besok terakhir aku menikmatinya. Setelah itu
Jeff akan pergi dari kehidupanku. Walau dia tidak ingin persahabatan kami
berhenti, tapi aku yang ingin. Aku tidak ingin terbelenggu oleh sosok Jeff
selamanya.
“Ada apa, Gi?” tanyanya begitu aku
terdiam. Perlahan aku menggeleng. “Sore ini saat-saat terakhir kita menikmati
kebersamaan kita, Jeff. Aku nggak tau apa nanti aku punya sahabat lagi yang
bebas ngomong apa aja seperti kamu. Curhat segala macem. Bagiku kamu sahabat
yang paling baik.”
Jeff mengangguk. “Kamu juga. Kalo
bukan kamu yang comblangi aku dengan Vita mungkin aku nggak pernah ngerasain
yang namanya pacaran,” katanya lugu.
Aku tersenyum kecil. Terbayang lagi
masa-masa ‘sakit hati’ itu. Aku tidak tahu bagaimana aku bisa berperan sebaik
itu. Memerankan seorang mak comblang yang sukses, padahal hatiku sendiri
menjerit pilu.
Malam Minggu pertama Jeff mengajak
kencan Vita. Dia menelpon aku dulu sebelum menjemput Vita. Perasaaku terasa
hampa begitu kudengar suaranya yang bahagia. Aku sengaja menghindar ketika dia
sedang hepi-hepinya dengan Vita. Jeff sempat protes.
“Walau aku telah memiliki Vita bukan
berarti persahabatan kita renggang seperti ini, Gi.”
“Tapi aku gak pengen Vita nuduh yang
macem-macem dengan persahabatan kita, Jeff.”
“Emangnya dia nuduh kamu?”
“Nggak sih. Tapi aku kan tau diri,
Jeff. Udah deh nikmati aja hubungan kamu sama Vita. Aku lagi pengen sendiri,”
kutinggalkan Jeff. Rasanya aku ingin menjerit. Baru kali ini hatiku terasa
sakit sekali. Aku tidak pernah merasakan sebelumnya. Pun ketika aku putus dengan Rendy.
Tapi masa-masa manis Jeff cuma
berjalan enam bulan. Vita memutuskan hubungan begitu saja ketika dia bertemu
lagi dengan seorang cowok yang lebih ‘oke’ ketimbang Jeff. Sejak itu, hampir
setiap hari Jeff menelpon aku. Apalagi kalau curhat soal Vita.
Tidak terasa begitu kulirik jam
tanganku, sudah jam setengah enam sore! Ya, ampun! Saking asyiknya ngobrol,
sampai tidak terasa kalau di luar sana sudah mulai gelap. Sebentar lagi
Maghrib.
“Yuk, kuantarkan kamu pulang,” setelah
membayar minuman, kami menuju tempat parkir. Dia membukakan pintu mobil
untukku. Kebetulan sore ini dia pinjam mobil budenya. Sesaat aku tertegun.
Kapan lagi ada seorang cowok yang begitu jentelnya memperlakukan aku seperti
ini? Ahh, Jeff, andaikan tidak ada perpisahan, keluhku sambil menarik nafas
panjang.
*****
Jeff,
aku selalu menikmati hari-hari kita dulu. Setiap bersamamu, selalu mengesankan
hatiku. Di saat kita bertengkar pun, bagiku momen itu meninggalkan kenangan
tersendiri.
Jeff, aku selalu dapat menghapal
dengan baik, mimikmu bila bercerita. Seru! Dan aku selalu tertawa
terkekeh-kekeh melihat gaya bicaramu yang kuanggap lucu. Itu kulakukan hanya
ingin menutupi perasaanku sendiri. Betapa aku bahagia bersamamu. Bahagia
mendengar ceritamu. Bahagia dengan kebersamaan kita.
Mendadak aku akan terdiam jika kamu
menyinggung soal Vita. Yap, Vita! Gadis cantik yang lincah itu telah mencuri
hatimu. Kamu dengan malu-malu mulai mencurahkan isi hatimu yang kudengarkan
dengan pura-pura sepenuh hati.
“Kamu bisa bantu aku, kan, Gi?” kamu
menatapku dalam. Tuhan, jika tidak ada gadis bernama Vita, ingin kusentuh
tanganmu yang kokoh dan kubisikkan padamu kalau aku cinta kamu!
“Gi,” malah kamu yang menyentuh
tanganku. “Sori, aku selalu merepotkanmu,” wajahmu yang coklat menatapku
bersalah.
“Nggak, Jeff. Aku akan bantu kamu kok.
Kamu sahabatku,” kata sahabat kutekan sedalam mungkin. Walau pahit, itulah
kenyataannya.
“Kupikir sia-sia juga menyukai Vita.
Dia pasti tidak menyukaiku.”
“Dari mana kamu tau?”
“Aku merasa begitu kok.”
Aku tertawa perlahan. “Kamu minder,
yah?” Vita anak yang cukup tajir, cukup
populer di sekolah ini. Salah satu kembang sekolah.
Kamu mendelik tidak suka. “Aku nggak
minder. Tapi aku denger dia udah punya pacar. Betul nggak sih, Gi?”
“Kudenger juga begitu.”
“Cari cewek lain dong! Susah banget
sih.”
“Kamu mau jadi cewekku, Gi?” pintamu
tiba-tiba. Jantungku langsung berdebar tidak karuan. Kutatap matamu. Kamu pasti
sedang bercanda.
“Ahh, kamu sendiri nggak mau,” kamu
tertawa pelan. “Aku emang bukan cowok yang bisa dibanggakan. Aku cuma Jeff,
laki-laki biasa yang tidak punya apa-apa. Seharusnya aku emang nggak mikirin
cewek dulu. Tapi Vita, ahh dia terlalu sayang untuk dilupakan,” matamu kembali
menerawang.
Bunyi ponsel membuyarkan lamunan
panjangku.
“Hai, kamu belom pergi juga?”
“Hai, Jeff, kamu udah di Gambir, kok
cepet banget?” aku melirik jam dinding. Masih jam satu siang. Padahal keretanya
sendiri baru berangkat jam lima sore.
“Tadi aku sekalian ikut budeku yang
mau ke Pasar Baru. Mangkanya daripada aku bengong sendirian, mendingan kamu
langsung pergi aja, Gi. Kita masih punya waktu buat ngegosip,” katanya
semangat.
“Oke deh, aku berangkat sekarang,” bergegas
kuambil tas ransel kulitku dan pamit pada Mama. Rumahku yang berdekatan dengan stasiun KA kampus UI. Aku cukup berjalan
kaki menuju stasiun. Untunglah cuma nunggu
beberapa menit, KA Jabotabek jurusan Kota datang. Aku segera naik.
Penumpang kereta tidak berjubel
seperti biasanya. Aku leluasa duduk di dekat pintu dengan pikiran yang
menerawang kemana-mana.
Rasanya baru kemarin ketika Jeff
mengajakku main ke Bogor meminjam motor sepupunya. Ketika pulang, hujan turun
sangat deras. Jeff memberikan jaketnya untuk kupakai. Dengan badan menggigil
kami terpaksa berhenti di sebuah mushola kecil.
“Sori yah, Gi,” katanya minta maaf.
Aku cuma tersenyum aja. Dan ketika perjalanan terpaksa dilanjutkan lagi karena
sudah malam. Jeff ngebut untuk mengejar waktu supaya tidak kemalaman. Beberapa kali dia ngerem
mendadak. Tubuhku bersentuhan dengan punggungnya yang kokoh. Dadaku langsung
berdebar-debar. Norak!
Aku tersenyum sendiri. Seorang ibu di
depanku menatapku heran. Siapa yang peduli. Aku melanjutkan kembali lamunanku.
Rasanya juga baru kemarin ketika Jeff
mengajakku nonton acara LA Lights Jazz di kampus UI. Informasi mengenai
acara-acara kampus yang terbuka untuk umum, selalu kutahu dari sepupuku Mira,
yang kuliah di UI.
Suasananya begitu asyik karena kulihat
semua penonton menikmati permainan musik grup jazz tersebut. Beberapa kali
kepala Jeff bergoyang mengikuti irama musik yang mengasyikkan. Kami larut dalam suasana yang mengasyikka itu.
“Wah, gila, mereka kreatif banget,”
puji Jeff pada sebuah bintang tamu
yang mengkombinasikan musik jazz dengan alat musik tradisional.
Aku mengangguk setuju. Siang itu aku hepi banget. Kami bisa sama-sama nonton
acara musik jazz itu. Bagiku kesempatan itu jarang terjadi.
Lamunanku terputus begitu kereta
berhenti. Aku lihat baru sampai stasiun Manggarai. Kulirik jam tangan. Jam tiga
kurang. Ya, ampun lama juga perjalanan! Tadi di stasiun Pasar Minggu kereta
juga berhenti agak lama.
Sampai sepuluh menit kereta belum juga
berangkat. Kulirik jam tangan tidak sabar. sudah jam tiga lewat sepuluh menit.
Aku terpaksa turun. Segera kustop taxi yang kebetulan mangkal di depan stasiun
Manggarai.
“Gambir, Pak,” kataku tidak sabar.
Begitu sampai di Gambir jam sudah
menunjukkan jam empat kurang lima belas menit. Gila juga, makiku begitu melihat
argo taxi. Jakarta sekarang tidak toleransi lagi soal waktu dan tempat. Jam
berapa pun pasti macet!
Setengah berlari aku naik ke lantai
dua. Tapi Jeff tidak kelihatan. Apa mungkin dia menunggu di lantai tiga,
dipikirnya pasti aku naik KA Jabotabek? Aku naik lagi. Dengan nafas yang masih
terengah-engah kucari Jeff. Tapi tidak kelihatan juga.
Pufff! Kutarik nafas kuat-kuat. Kucoba
tenang. Barangkali Jeff ada kafe. Mungkin dia menungguku di sana? Begitu aku
turun, kudengar suara sms masuk ke ponselku. Dia menungguku di lantai satu. Tolol, mengapa aku tidak menelponnya sedari tiba di
Gambir, aku memaki diriku sendiri.
Jeff sialan! aku ngomel-ngomel. Tapi
kali ini aku tersenyum lega.
“Kemana aja sih, Gi?” tanya Jeff
begitu melihatku. Kuceritakan semuanya. Jeff tertawa ngakak. “Jadi waktu kamu
naik ke lantai tiga, aku malah turun ke bawah. Soalnya aku tungguin KA
Jabotabek, kok kamu nggak muncul. Aku pikir kamu naik taxi. Aku telpon tapi kamu nggak ngangkat ponselmu.”
Jeff langsung mengajakku ke kafe. Dia
pesan secangkir kopi krem dan aku lemon
tea. “Makan. Gi?” tawarnya. Aku menggeleng. “Nggak laper.”
Cuma sisa satu jam pertemuanku yang
terakhir dengannya. Heran, kali ini kami lebih banyak diam. Beberapa kali
kulihat dia meneguk minumannya. Minumanku sendiri tinggal setengah.
“Haus, Gi? Kok gelasnya bocor yah?”
dia mencoba mencair suasana dengan meledekku.
“Huh,” kumonyongkan bibirku. Dia memang suka
menggodaku. Jeff tertawa panjang. “Kapan lagi kita bisa seperti ini yah, Gi?”
Kuteguk lagi minumanku. “Awas, kalo
aku ke Semarang, kamu nggak mau main ke rumah Eyangku!” ancamku pura-pura
galak.
“Beres! Entar aku ajak jalan-jalan
kelilingi kota Semarang. Aku nelaktir kamu deh. Mau makan, nonton, tinggal
bilang aja.”
“Bener yah? Awas, kalo kamu bohong!”
kami tertawa lagi. Heboh! Beberapa pengunjung melihat ke arah kami dengan
tatapan tidak suka. Tapi siapa yang peduli. Ini saat-saat terakhir aku
bersamanya.
“Seharusnya kamu kuliah aja di Kedokteran UI, gak perlu mudik lagi ke
Semarang,” tak sengaja kutatap mata kelamnya. Jeff tersenyum.
“Bapakku
sekarang sudah pensiun, Gi. Beliau ingin membantu meneruskan usaha keluarganya.
Nggak salah kan, kalo aku juga ikut membantunya. Apalagi alasanku ‘kabur’ ke
Jakarta karena aku tidak tahan melihat orang tuaku selalu bertengkar. Ini
bentuk protesku terhadap mereka. Syukurlah, kini mereka sudah akur lagi, Gi.”
Aku
terdiam. Memandangi gelas tinggi berisi tea
lemon. Setiap orang memiliki kehidupan sendiri-sendiri. Rendy yang memilih
lari dari masalah, dan tak mau kembali. Jeff lebih baik, dia pun menutupi
kekecewaannya dengan memilih jalan hidupnya sendiri. Melanjutkan SMU-nya ke
Depok, tinggal bersama budenya. Kini dia memilih kembali keluarganya yang masih
membutuhkan kehadirannya.
Sedangkan
aku? Kupandangi langit dari jendela kafe. Aku ibarat awan-awan biru, seperti
kelihatannya indah. Namun di dalamnya terasa hampa, kosong...
“Udah jam lima kurang dua puluh menit,
Gi. Kayaknya aku harus siap-siap deh...Shit!” Jeff merogoh kantongnya. “Aku
lupa belum beli tiket, Gi!”
Aku geleng-geleng kepala. “Aduuh, kamu
tuh gimana sih, Jeff? Niat pulang gak
sih?”
Jeff menggeleng. “Rasanya aku masih pengen di
sini sama kamu. Ok, kamu nunggu dulu ya, Gi. Aku ke bawah dulu,” Jeff langsung
pergi. Sepuluh menit kemudian, dia datang dengan senyum lebar. “Untung masih
kebagian, Gi.”
“Kamu niat pulang nggak sih?” tanyaku
pura-pura marah. Pertanyaan itu
kuulang lagi. Aku berharap dia membatalkan kepergiannya.
Jeff tersenyum. “Sebetulnya nggak sih. Aku
berat berpisah sama kamu, Gi,” dia menatapku lama. Membuatku salah tingkah.
Rasanya aku membayangkan Jeff mengajakku pergi bersama.
Kami pergi naik kereta api, entah tujuan kemana. Dengan masing-masing big ransel di punggung, kami seperti
ingin pergi berlibur. Travelling ke
sebuah tempat.
Namun ternyata, Jeff lalu mengajakku
naik ke lantai tiga.
Kereta jurusan Semarang sudah datang.
Jeff mengajakku masuk ke dalam. Menemani mencari nomor bangkunya. “Nih, Jeff,”
tunjukku pada nomor 8A. Jeff meletakkan big
ransel dan sebuah tas travelnya
ke tempat penyimpanan.
“Udah yah, Jeff, aku turun. Entar
kebawa sampe ke Semarang nih,” candaku dengan senyum yang dipaksakan. Lamunanku, Jeff menahan tanganku dan menatapku dengan
wajah memelas, “kamu mau pergi bersamaku gak, Gi? Kamu kuliah di Undip juga
ya?”
“Kuantar, yuk!” gandengan tangannya membuyar lamunanku.
“Udah kamu masuk gih, entar
ketinggalan!” kudorong tubuhnya yang jangkung agar masuk kembali. Jeff
menatapku lama sebelum dia masuk.
“Aku pergi dulu yah, Gi,” dia langsung
masuk. Aku hanya diam terpaku. Sebuah pengumuman terdengar. Kereta jurusan
Semarang akan segera berangkat.
Beberapa menit kemudian, kereta
bergerak perlahan. Jeff melambaikan tangannya begitu lewat dihadapanku. Kubalas
dengan perasaan yang tak menentu.
Kugigit bibirku pedih. Tiba-tiba
kurasakan kesunyian di sekelilingku. Aku kembali seperti awan-awan biru itu. Hampa.
Perasaanku terasa kosong. Tidak akan kutemukan lagi mata kelamnya, tawa
lepasnya, wajah coklatnya yang bersahabat dan segala kebaikannya.
Kuhela nafasku kuat-kuat. Mataku
terasa panas. Kupalingkan wajahku ke samping. Aku tidak ingin orang-orang itu
melihatku menangis. Tapi siapa yang peduli?
Kulihat kereta semakin kencang melaju. Semakin berlari menjauh.
Jauh. Membawa Jeff pergi. Tak terjangkau lagi.
*****
Aduuuh kok sad ending sih, bikin novel aza ketemuin
BalasHapus