Suara ketukan pintu
terdengar perlahan. Aku yang tengah asyik dengan tulisanku, terpaksa
menghentikan pekerjaanku. Setelah kusimpan file berisi tulisanku itu, barulah
aku beranjak untuk membukakan pintu.
Seraut
wajah menatapku dengan rasa bersalah. Wajahnya yang tampan sekilas mirip Irgi,
bintang sinetron favoritku. “Boleh aku bicara?”
Hmm,
tumben pakai permisi segala. Biasanya dia langsung duduk di kursi rotan itu dan
nyerocos mengenai segala hal. Sebetulnya aku senang dengan posisiku sekarang.
Aku bisa berbuat apa saja untuk menghapus rasa bersalahnya. Tapi terhadap
Ciptadi, aku tidak pernah tega. Selalu ada kata maaf.
“Duduklah,” suara
kubuat seformil mungkin. Dia duduk tanpa banyak berkomentar. Pandangannya
tertuju pada serumpun bunga melati yang
letaknya tepat di depan kamarku. Melihat dia diam, aku ikutan diam. Sore ini
suasana kos terlihat sepi. Sebagian anak kos mungkin belum pulang kuliah. Tapi
mungkin di antara mereka sedang beristirahat di kamar.
Rumah kos ini memiliki
dua puluh kamar yang tersebar mengelilingi taman yang dipenuhi dengan pohon
jambu, mangga dan aneka bunga dan tanaman hias. Sepuluh kamar terletak di
lantai bawah dan sisanya di tingkat atas.
Aku beruntung memiliki kamar di bawah sehingga tidak terlalu
repot untuk naik-turun. Tamu pun bisa ngobrol di kursi-kursi rotan depan kamar
masing-masing.
Tidak seperti kamar atas, jika mereka kedatangan tamu
cowok, mereka harus turun dan bertemu di ruang tamu, dekat pintu masuk. Kosku memang ketat. Tidak boleh ada tamu
cowok yang masuk kamar. Tidak hanya itu saja yang membuatku betah
tinggal di sini. Di sini privasi betul-betul terjaga. Karena itu setiap
kamar hanya dapat dihuni oleh satu orang dan setiap kamar dilengkapi dengan
kamar mandi dan ruang kecil untuk sarana makan-minum. Ditempat itu kuletakkan
sebuah rak yang berisi magic jar, perlengkapan makan-minum dan
persediaan makanan. Ada roti, indomie, kopi dan krim-nya, selai dan lain-lain.
Jika ingin makan, ada meja mungil berserta kursi lipatnya. Aku tinggal masak
nasi di magic jar dan lauknya bisa beli di warung-warung nasi yang
tersebar di sepanjang Jalan Margonda Raya. Kadang-kadang Ibu mengirimiku
sebungkus abon, toples berisi kacang-teri balado atau dendeng daging pedas
kesukaanku. Tentu saja disertai dengan bungkusan berwarna coklat berisi beras. Sehingga aku tidak perlu repot-repot
membelinya di pasar.
“Danti, aku mau
minta maaf atas peristiwa minggu lalu,” suara laki-laki itu mulai terdengar.
Membuyarkan lamunanku tentang kos ini. What, peristiwa minggu lalu? Ya,
ya, aku baru ingat sekarang. Malam itu aku marah bukan main padanya. Dia minta
aku menunggunya untuk pulang sama-sama. Jam tujuh teng tugasku sebagai asisten
lab komputer berakhir, sedangkan Ciptadi baru selesai satu jam kemudian. Begitu
dia selesai tugas, bukannya buru-buru pulang, eh, malah asyik ngobrol dengan
Vita, yang katanya sengaja datang untuk bertemu dengan laki-laki berdarah Jawa
itu. Padahal perutku sudah meronta-ronta minta diisi. Kalau saja tadi aku
langsung pulang, jam sembilan ini aku sudah mandi dan tertidur dengan perut
kekenyangan.
“Danti, aku tidak
bermaksud nyuekin kamu. Tapi sungguh, aku benar-benar ada perlu sama Vita. Soal
kerjaan,” suaranya terdengar memelas. Dia memang sering menerima order
pembuatan program atau desain Web.
Dalam hati aku ingin tertawa sendiri. Padahal aku sudah memaafkannya.
Selama seminggu aku menghindari hanya karena aku tidak suka dengan gosip yang
berkembang bahwa aku dan Cipta pacaran. Entahlah apakah Cipta mendengar gosip
itu?
Selama
seminggu kemana-mana sendiri, ternyata tidak enak juga. Tiada teman untuk
berbagi. Terutama berbagi tugas. Bagaimanapun aku tetap butuh laki-laki Jawa
itu sebagai teman. Hanya sebatas itukah? Tetapi kenapa kami sepertinya
bergantung satu sama lain? Hanya karena kami sama-sama anak kos-kah? Atau
karena kami sama-sama anak perantauan yang hidup seorang diri di kota Jakarta
ini? Entahlah, aku sendiri tidak tahu jawabannya.
Terkadang aku sering termenung sendiri. Ciptadi selalu
rajin menjemputku ke kos, untuk berangkat bareng ke kampus. Biasanya dia sudah
rapi dengan setelan kemeja kotak-kotak yang dimasukkan rapi ke dalam blue-jeans kesukaannya. Aku sendiri
masih santai dengan kaos dan celana pendek. Dia akan melotot. “Danti, kamu
nggaaak kuliah?” Nadanya akan tinggi. “Kuliah, tunggu yah,” secepat kilat aku
akan mandi ala cowboy.
“Dan, sebagai kata
maaf dan penyesalanku, aku telaktir makan
bakso Malang, yuk!” Dia membuyarkan
lamunanku. Tuh, kan! Aku paling tidak bisa menolak
semua permintaannya. Aku selalu ingin membuatnya bahagia. Waduh, jangan-jangan
aku sudah jatuh cinta padanya!
****
“Kenapa kamu baik
sekali padaku, Dick?” Dicky menoleh lalu memandangi wajahku. “Memangnya
menurutmu aku baik padamu?” dia malah balik bertanya.
“Ya, iyalah. Cuma
kamu orang kepercayaan ibuku untuk mengantar-jemput aku kalau aku terlibat
acara-acara sekolah. Kamu selalu membantu tugas-tugas sekolahku dan sekarang,
kamu juga yang sibuk mengepak-ngepak barang,” aku menunjuk pada berbagai kardus
dengan berbagai ukuran.
“Danti, kenapa
selama ini kamu tidak pernah menyelami perasaanku?” pertanyaan itu membuatku
tersentak! Kugigit bibirku perih. Wajah tampannya yang biasa ramah itu, kini
terlihat murung. “Kamu tidak pernah tahu kan kalau aku menyayangimu?” suaranya
terdengar bergetar.
Aku betul-betul
bodoh selama ini. Kupikir persahabatan kami ini benar-benar murni, tanpa
campur-aduk dengan masalah cinta. Aku tidak pernah berpikir kalau dia akan
mencintaiku. Seorang Dicky yang begitu populer di sekolah, Ketua OSIS, tampan,
bintang kelas, rasanya tidak pantas ‘bersanding’ dengan seorang Danti yang
bukan siapa-siapa. Danti hanya seorang pemimpi. Hidupnya penuh dengan rangkaian
cerita-cerita. Dia bisa memilih gadis lain, yang lebih segalanya. Yang lebih
cantik, pintar, aktif, supel. Bukan Danti, gadis pendiam yang tidak percaya
diri.
“Dick, aku minta
maaf. Walau aku seorang pemimpi, tapi aku tidak pernah bermimpi bahwa suatu
saat kamu akan mencintaiku. Kamu seperti bintang tinggi, yang tidak pernah
terjangkau oleh tanganku. Walau selama ini kita selalu jalan bareng tapi
rasanya kamu tidak pernah benar-benar dekat denganku. Aku merasa, kamu hanya
memandangiku dari jauh. Kamu akan menolongku jika aku terjatuh. Kamu akan
menghapus air mataku, jika aku menangis. Terima kasih, kamu sudah menyayangiku.
Akan kubawa cinta ini pergi, Dick.”
Untuk pertama
kalinya Dicky memelukku. Tangisku pecah dalam dadanya yang bidang. Aku begitu
menyesal telah melukai hatinya selama ini. Jika saja waktu bisa diulang lagi,
mungkin aku akan berusaha membalas cintanya yang putih. Tapi aku harus pergi. Aku harus meninggalkan kota Singkawang. Kota
dimana aku menghabiskan masa remajaku. Aku harus
mengikuti Ayah yang tugasnya dimutasikan ke Medan.
“Dick, terima kasih
banyak, yah! Atas segala yang telah kau berikan padaku,” aku berusaha
tersenyum. Dicky mengangguk. Pandangannya tetap tertuju padaku. Pandangan yang
sulit kuterjemahkan artinya.
****
“Ayo,
ngelamunin cowok, yah!” Ciptadi
mengibas-ngibaskan tangannya tepat di depan mataku.
“Ada
cowok cakep tau!” aku pura-pura merasa terganggu. Sekilas ada rasa tidak suka
di wajahnya. Huh, peduli apa! Memangnya cuma dia yang bisa ngecengin
gadis-gadis cantik.
Hmm,
mengapa tiba-tiba saja aku ingat Dicky yah? Padahal sudah hampir lima tahun
kami tidak pernah bertemu lagi. Bagaimana kabarnya yah? Dia pasti tambah
tampan! Apakah dia sudah menemukan gadis lain yang bisa dia cintai lagi?
“Danti!” Ciptadi memanggilku lagi. “Mau
tugas asisten lagi, gak?” dia langsung berdiri dan membayar dua piring
gado-gado dan dua gelas es teh manis pesanan kami. Warung gado-gado Umi cukup
ramai siang ini. Banyak mahasiswa tidak kebagian tempat. Mereka terpaksa
menunggu dulu di luar warung sambil ngobrol, di tepi Jalan Margonda Raya yang berdebu dan hiruk-pikuk
oleh lalu lalang kendaraan.
“Hati-hati,”
refleks Cipta menarik tanganku begitu dilihat ada sebuah bis yang nyelonong
melintas kencang. Untung ada Ciptadi.
Jika tidak…Aku mengurut dada ngeri. Laki-laki berdarah Jawa itu lalu
menggandeng tanganku. Hati-hati dia menuntunku menyeberangi Jalan Margonda Raya
yang padat oleh kendaraan.
Tiba-tiba
saja aku jadi membanding-bandingkan Ciptadi
dengan Dicky. Apa saja yah perbedaan? Pertama Dicky dulu. Dia laki-laki yang
baik, penuh perhatian, sabar, dewasa dan selalu memandang dunia dengan riang
dan optimis. Sedangkan Ciptadi,
moody, keras kepala, terkadang pesimis mengenai suatu
hal, tapi dibalik semua itu, ada satu sisi yang tidak pernah kusadari
sebelumnya. Dia perhatian padaku. Selama tiga tahun aku berteman dengannya,
kami jarang bertengkar. Jika bertengkar pun, tidak akan bertahan lama. Yang
jelas kami menganut prinsip mutualisme. Selalu bergantung satu sama lain.
“Tuh,
kan ngelamun lagi!” Ciptadi
menyentakku dari lamunanku siang ini. Kami segera menaikkan tangga menuju
labotarium komputer yang terletak di lantai empat. “Kamu ngelamunin siapa sih?”
tanyanya penasaran.
“Ada
deh,” jawabku dengan menahan senyum. Biar saja dia penasaran sendiri.
“Danti, sini deh,”
tiba-tiba saja Ciptadi menarik tanganku. Diajaknya aku ke koridor lantai tiga yang siang
ini terlihat sepi. Lalu tiba-tiba saja dia mengecup keningku. Aku tentu saja
kaget bukan main dengan kelakuannya itu.
“Apa-apaan sih,
Cip!” kudorong tubuhnya hingga hampir saja menabrak tembok kelas. Kulempar
pandanganku keluar jendela. Memperhatikan gerombolan mahasiswa yang hilir-mudik
di bawah sana.
“Maafkan aku, Dan.
Terus terang aku tidak suka kalau kamu mulai memikirkan laki-laki lain. Aku
ingin, hanya aku yang ada dalam pikiranmu!”
Mataku terbelalak
saking terkejutnya dengan ‘vonis’nya itu. Kalau dulu Dicky hanya mengutarakan
isi hatinya, kini laki-laki Jawa ini ‘mengancam’ku dengan pernyataannya itu.
“Apa pun
jawabannya, selalu kutunggu, Dan,” Ciptadi sudah melangkah lebih dahulu. Dia menaikkan
tangga lagi untuk menuju lantai empat. Aku masih di sini. Termangu.
*****
Hari masih pagi
ketika aku sudah terbangun dari tidurku yang teramat nyenyak. Tiba-tiba
pikiranku melintas pada peristiwa kemarin. Untuk pertama kali dalam hidupku,
keningku sudah ‘ternoda’ oleh ciuman. Dan laki-laki yang sudah kurang ajar itu
adalah Ciptadi, teman curhatku selama ini. Teman berbagi tugas, keluh kesah,
teman segalanya untukku.
Tapi anehnya, semalam aku malah bermimpi bertemu Dicky.
Dia menarik-narik tanganku untuk mengajakku pergi ke suatu tempat. Aku menolak,
tapi cowok itu terus memaksaku. Aku menangis. Dicky merasa bersalah. Dia
meminta maaf. Katanya kalau aku tidak mau ikut dengannya, maka dia akan pergi
sendiri. Kubiarkan dia pergi dengan terus menangis. Dia memandangku sebentar,
lalu perlahan pergi.
Aku tidak mengerti kenapa tiba-tiba bermimpi tentang
Dicky. Apakah karena kemarin tiba-tiba saja aku teringat padanya?
Mimpi tadi malam itu membuat aku kehilangan gairah untuk
menjalani pagi ini. Di kampus, aku hanya duduk-duduk saja di taman kampus.
Padahal sebentar lagi kuliah dimulai. Biasanya aku semangat untuk mencari duduk
di kursi barisan depan. Tapi pagi ini, untuk beranjak menuju ruang kuliah
rasanya malas sekali.
“Danti, maafkan aku, kalau tindakanku kemarin membuatmu
marah,” datang-datang Ciptadi membawaku setangkai bunga. Mending juga bunga
mawar seperti kulihat di film-film romantis, dimana seorang laki-laki
memberikan setangkai mawar merah untuk kekasihnya. Ini bunga kembang sepatu.
Tidak tahu dari mana dia mendapatkannya.
“Forget it,” kataku malas. Lalu
kami sama-sama diam. Kami asyik memandangi gerombolan mahasiswa yang
hilir-mudik di sepanjang koridor kampus.
“Kamu mau masuk kuliah, gak?”
tanyanya seraya melirik jam tangannya.
“Pagi ini aku bolos kuliah dulu.
Aku masih pengen di sini,” ujarku dengan setengah hati.
“Sekali lagi aku minta maaf atas
peristiwa kemarin,” setelah mengucapkan kata-kata itu Ciptadi pergi. Hmm, tumben cowok itu mengijinkanku untuk membolos pagi
ini. Biasanya dia akan memberiku kuliah panjang-lebar. Mungkin setara 3 SKS
hihihi.
Aku menuju halte bis depan kampus.
Entah mengapa aku ingin ke rumah kos Qory, teman SMAku yang kini kuliah di
Trisakti. Hanya Qory, satu-satunya teman ketika aku masih tinggal di Singkawang
yang bertemu denganku di Jakarta. Pertemuan yang tidak disengaja ketika kami
sama-sama mendaftar di Poltek UI.
Kukirim SMS padanya. Sambil
menunggu balasan darinya, aku duduk di halte bis dengan pikiran menerawang
seraya menatap Jalan Margonda Raya.
Gw ada di kos. Klh gw
lbr. Lo ke sini aja. Gw tunggu. Tak berapa lama
Qory mengirim SMS balasan.
Aku langsung melompat ke dalam bis
jurusan Pasar Minggu. Dari terminal Pasar Minggu, aku harus naik bis jurusan
Blok M. Baru di terminal Blok M, aku pilih bis jurusan Grogol. Ugh, perjalanan
yang panjang. Tapi ini yang kucari. Aku punya tempat untuk melamun.
Qory tersenyum ceria menyambut
kedatanganku. Sementara tubuhku terasa letih oleh perjalanan yang amat panjang
dan melelahkan.
“Yuk, makan dulu. Nih, aku udah
masakin bubur pedas kesukaanmu,” mataku terbelalak melihat makanan favoritku
ketika di Singkawang dulu, kini tersaji di meja makan.
“Kamu bisa masaknya, Qor?” tanyaku
kagum.
“Wah, biak Singkawang kudu
bisa masak makanan ciri khas Kalimantan itu dong,” Qory menyodorkan sendok
untukku. Yang dimaksud biak adalah anak dalam bahasa Sambas.
“Kemarin mamakku mengirimkan
bahan-bahan untuk membuat bubur pedas ini melalui tanteku yang baru pulang dari
Singkawang. Kebetulan tadi kamu SMS, jadi sekalian aja aku masakin buat kamu.
Pasti kamu kangen banget dengan masakan ini kan?” Qory tersenyum manis.
“Sangat!” Dengan lahap dan tanpa
malu-malu kusantap mangkuk besar berisi bubur pedas itu. Sama seperti masakan
jenis bubur lainnya, hanya bedanya, bubur pedas ini dicampur dengan tetelan
daging, sayur dan cabe kering sehingga rasanya pedas. Lebih enak disantap
panas-panas seperti ini.
“Eh, Dan, kamu ingat Dicky gak?”
tanya Qory tiba-tiba di sela-sela suapannya.
“Dicky? Yah, ingatlah! Tadi malam
aku mimpi ketemu dia. Aneh deh, Qor, kenapa tiba-tiba aku teringat dia dan
bermimpi tentangnya…”
Qory terdiam. Dia meneguk gelas
tinggi berisi air putih dingin tanpa bersuara. Dia lalu menghabiskan
makanannya. Aku pun mengikutinya, menghabiskan satu mangkuk besar bubur pedas
yang lezat itu. Aku tidak menyangka ternyata Qory jago masak. Kapan-kapan aku
harus belajar padanya.
“Apa kenanganmu terhadap Dicky?”
tanya Qory ketika kami sudah berada dalam kamarnya yang nyaman.
“Apa yah?” Kupandangi langit-langit
kamar. Terbayang dibenak sebuah sosok yang tampan, baik, pintar dan bertanggung
jawab. Tidak heran jika dia menjadi idola di SMANSA, dulu.
“Oya, kamu pernah ketemu dia lagi setelah lulus SMA?”
Tiba-tiba saja aku melompat dan memandang
wajah Qory dengan penuh harap. Dengan lesu dia mengangguk.
“Terakhir aku ketemu ketika lebaran
tahun lalu. Dia nanyain kabar kamu. Dia pengen banget ketemu kamu,” wajahnya
tertunduk. Seperti menyimpan suatu kesedihan.
“Dia kuliah dimana, Qor?” tanyaku
ingin tahu.
“Dia nggak kuliah, Dan. Kamu tahu
sendiri kan, ayahnya cuma seorang penilik sekolah. Dia dagang,” Qory memalingkan
wajahnya untuk menghindar dari tatapanku.
“Dia jualan apa, Qor?” tanyaku
nyaris berbisik.
“Dia membuka warung nasi di sebuah
pasar. Jualannya ramai sekali. Aku pernah berkunjung ke warungnya dengan biak-biak.
Sri, Linda, Ping-Ping dan Nella.
Tapi Dicky gak minder dengan keadaannya, Dan. Malah dia nasehatin biak-biak
supaya kuliah yang bener,” sampai di situ Qory menghentikan ceritanyanya.
Tiba-tiba kulihat matanya basah.
“Qory, ada apa?” tanyaku curiga.
“Kemarin tanteku bawa kabar. Kalo
Dicky sudah ‘pergi’….”
“Maksud kamu?” aku langsung
memotong kalimatnya.
“Danti, mimpi kamu tadi malam
tentang dia dan mengapa tiba-tiba saja kamu teringat padanya itu pertanda bahwa
Dicky ingin mengucapkan selamat tinggal padamu,” air mata Qory telah membasahi
kedua pipinya. Aku terjatuh dalam perlukannya.
“Dicky kecelakaan, Dan. Nyawanya
tak dapat tertolong lagi. Kebetulan rumah tanteku berdekatan
dengan rumahnya sehingga tanteku sempat datang melayat….”
Aku tidak lagi dapat menyimak kisah
Qory. Aku hanya duduk terdiam dengan pikiran kacau. Tiba-tiba saja dua wajah
muncul secara bersamaan dalam benakku. Dicky dan Ciptadi.
*****
0 komentar:
Posting Komentar