Selasa, 16 September 2014

Dua Lelaki




            Suara ketukan pintu terdengar perlahan. Aku yang tengah asyik dengan tulisanku, terpaksa menghentikan pekerjaanku. Setelah kusimpan file berisi tulisanku itu, barulah aku beranjak untuk membukakan pintu.
            Seraut wajah menatapku dengan rasa bersalah. Wajahnya yang tampan sekilas mirip Irgi, bintang sinetron favoritku. “Boleh aku bicara?”
            Hmm, tumben pakai permisi segala. Biasanya dia langsung duduk di kursi rotan itu dan nyerocos mengenai segala hal. Sebetulnya aku senang dengan posisiku sekarang. Aku bisa berbuat apa saja untuk menghapus rasa bersalahnya. Tapi terhadap Ciptadi, aku tidak pernah tega. Selalu ada kata maaf.
            “Duduklah,” suara kubuat seformil mungkin. Dia duduk tanpa banyak berkomentar. Pandangannya tertuju pada  serumpun bunga melati yang letaknya tepat di depan kamarku. Melihat dia diam, aku ikutan diam. Sore ini suasana kos terlihat sepi. Sebagian anak kos mungkin belum pulang kuliah. Tapi mungkin di antara mereka sedang beristirahat di kamar.
            Rumah kos ini memiliki dua puluh kamar yang tersebar mengelilingi taman yang dipenuhi dengan pohon jambu, mangga dan aneka bunga dan tanaman hias. Sepuluh kamar terletak di lantai bawah dan sisanya di tingkat atas.
Aku beruntung memiliki kamar di bawah sehingga tidak terlalu repot untuk naik-turun. Tamu pun bisa ngobrol di kursi-kursi rotan depan kamar masing-masing.
Tidak seperti kamar atas, jika mereka kedatangan tamu cowok, mereka harus turun dan bertemu di ruang tamu, dekat pintu masuk.     Kosku memang ketat. Tidak boleh ada tamu cowok yang masuk kamar. Tidak hanya itu saja yang membuatku betah tinggal di sini. Di sini privasi betul-betul terjaga. Karena itu setiap kamar hanya dapat dihuni oleh satu orang dan setiap kamar dilengkapi dengan kamar mandi dan ruang kecil untuk sarana makan-minum. Ditempat itu kuletakkan sebuah rak yang berisi magic jar, perlengkapan makan-minum dan persediaan makanan. Ada roti, indomie, kopi dan krim-nya, selai dan lain-lain. Jika ingin makan, ada meja mungil berserta kursi lipatnya. Aku tinggal masak nasi di magic jar dan lauknya bisa beli di warung-warung nasi yang tersebar di sepanjang Jalan Margonda Raya. Kadang-kadang Ibu mengirimiku sebungkus abon, toples berisi kacang-teri balado atau dendeng daging pedas kesukaanku. Tentu saja disertai dengan bungkusan berwarna coklat berisi  beras. Sehingga aku tidak perlu repot-repot membelinya di pasar.
            “Danti, aku mau minta maaf atas peristiwa minggu lalu,” suara laki-laki itu mulai terdengar. Membuyarkan lamunanku tentang kos ini. What, peristiwa minggu lalu? Ya, ya, aku baru ingat sekarang. Malam itu aku marah bukan main padanya. Dia minta aku menunggunya untuk pulang sama-sama. Jam tujuh teng tugasku sebagai asisten lab komputer berakhir, sedangkan Ciptadi baru selesai satu jam kemudian. Begitu dia selesai tugas, bukannya buru-buru pulang, eh, malah asyik ngobrol dengan Vita, yang katanya sengaja datang untuk bertemu dengan laki-laki berdarah Jawa itu. Padahal perutku sudah meronta-ronta minta diisi. Kalau saja tadi aku langsung pulang, jam sembilan ini aku sudah mandi dan tertidur dengan perut kekenyangan.
            “Danti, aku tidak bermaksud nyuekin kamu. Tapi sungguh, aku benar-benar ada perlu sama Vita. Soal kerjaan,” suaranya terdengar memelas. Dia memang sering menerima order pembuatan program atau desain Web.
Dalam hati aku ingin tertawa sendiri. Padahal aku sudah memaafkannya. Selama seminggu aku menghindari hanya karena aku tidak suka dengan gosip yang berkembang bahwa aku dan Cipta pacaran. Entahlah apakah Cipta mendengar gosip itu?
            Selama seminggu kemana-mana sendiri, ternyata tidak enak juga. Tiada teman untuk berbagi. Terutama berbagi tugas. Bagaimanapun aku tetap butuh laki-laki Jawa itu sebagai teman. Hanya sebatas itukah? Tetapi kenapa kami sepertinya bergantung satu sama lain? Hanya karena kami sama-sama anak kos-kah? Atau karena kami sama-sama anak perantauan yang hidup seorang diri di kota Jakarta ini? Entahlah, aku sendiri tidak tahu jawabannya.
            Terkadang aku sering termenung sendiri. Ciptadi selalu rajin menjemputku ke kos, untuk berangkat bareng ke kampus. Biasanya dia sudah rapi dengan setelan kemeja kotak-kotak yang dimasukkan rapi ke dalam blue-jeans kesukaannya. Aku sendiri masih santai dengan kaos dan celana pendek. Dia akan melotot. “Danti, kamu nggaaak kuliah?” Nadanya akan tinggi. “Kuliah, tunggu yah,” secepat kilat aku akan mandi ala cowboy.
            “Dan, sebagai kata maaf dan penyesalanku, aku telaktir  makan bakso Malang, yuk!” Dia membuyarkan lamunanku. Tuh, kan! Aku paling tidak bisa menolak semua permintaannya. Aku selalu ingin membuatnya bahagia. Waduh, jangan-jangan aku sudah jatuh cinta padanya!
****
            “Kenapa kamu baik sekali padaku, Dick?” Dicky menoleh lalu memandangi wajahku. “Memangnya menurutmu aku baik padamu?” dia malah balik bertanya.
            “Ya, iyalah. Cuma kamu orang kepercayaan ibuku untuk mengantar-jemput aku kalau aku terlibat acara-acara sekolah. Kamu selalu membantu tugas-tugas sekolahku dan sekarang, kamu juga yang sibuk mengepak-ngepak barang,” aku menunjuk pada berbagai kardus dengan berbagai ukuran.
            “Danti, kenapa selama ini kamu tidak pernah menyelami perasaanku?” pertanyaan itu membuatku tersentak! Kugigit bibirku perih. Wajah tampannya yang biasa ramah itu, kini terlihat murung. “Kamu tidak pernah tahu kan kalau aku menyayangimu?” suaranya terdengar bergetar.
            Aku betul-betul bodoh selama ini. Kupikir persahabatan kami ini benar-benar murni, tanpa campur-aduk dengan masalah cinta. Aku tidak pernah berpikir kalau dia akan mencintaiku. Seorang Dicky yang begitu populer di sekolah, Ketua OSIS, tampan, bintang kelas, rasanya tidak pantas ‘bersanding’ dengan seorang Danti yang bukan siapa-siapa. Danti hanya seorang pemimpi. Hidupnya penuh dengan rangkaian cerita-cerita. Dia bisa memilih gadis lain, yang lebih segalanya. Yang lebih cantik, pintar, aktif, supel. Bukan Danti, gadis pendiam yang tidak percaya diri.
            “Dick, aku minta maaf. Walau aku seorang pemimpi, tapi aku tidak pernah bermimpi bahwa suatu saat kamu akan mencintaiku. Kamu seperti bintang tinggi, yang tidak pernah terjangkau oleh tanganku. Walau selama ini kita selalu jalan bareng tapi rasanya kamu tidak pernah benar-benar dekat denganku. Aku merasa, kamu hanya memandangiku dari jauh. Kamu akan menolongku jika aku terjatuh. Kamu akan menghapus air mataku, jika aku menangis. Terima kasih, kamu sudah menyayangiku. Akan kubawa cinta ini pergi, Dick.”
            Untuk pertama kalinya Dicky memelukku. Tangisku pecah dalam dadanya yang bidang. Aku begitu menyesal telah melukai hatinya selama ini. Jika saja waktu bisa diulang lagi, mungkin aku akan berusaha membalas cintanya yang putih. Tapi aku harus pergi. Aku harus meninggalkan kota Singkawang. Kota dimana aku menghabiskan masa remajaku. Aku harus mengikuti Ayah yang tugasnya dimutasikan ke Medan.
            “Dick, terima kasih banyak, yah! Atas segala yang telah kau berikan padaku,” aku berusaha tersenyum. Dicky mengangguk. Pandangannya tetap tertuju padaku. Pandangan yang sulit kuterjemahkan artinya.
****
            “Ayo, ngelamunin cowok, yah!” Ciptadi mengibas-ngibaskan tangannya tepat di depan mataku.
“Ada cowok cakep tau!” aku pura-pura merasa terganggu. Sekilas ada rasa tidak suka di wajahnya. Huh, peduli apa! Memangnya cuma dia yang bisa ngecengin gadis-gadis cantik.
Hmm, mengapa tiba-tiba saja aku ingat Dicky yah? Padahal sudah hampir lima tahun kami tidak pernah bertemu lagi. Bagaimana kabarnya yah? Dia pasti tambah tampan! Apakah dia sudah menemukan gadis lain yang bisa dia cintai lagi?
            “Danti!” Ciptadi memanggilku lagi. “Mau tugas asisten lagi, gak?” dia langsung berdiri dan membayar dua piring gado-gado dan dua gelas es teh manis pesanan kami. Warung gado-gado Umi cukup ramai siang ini. Banyak mahasiswa tidak kebagian tempat. Mereka terpaksa menunggu dulu di luar warung sambil ngobrol, di tepi Jalan  Margonda Raya yang berdebu dan hiruk-pikuk oleh lalu lalang kendaraan.
            “Hati-hati,” refleks Cipta menarik tanganku begitu dilihat ada sebuah bis yang nyelonong melintas kencang. Untung ada Ciptadi. Jika tidak…Aku mengurut dada ngeri. Laki-laki berdarah Jawa itu lalu menggandeng tanganku. Hati-hati dia menuntunku menyeberangi Jalan Margonda Raya yang padat oleh kendaraan.
            Tiba-tiba saja aku jadi membanding-bandingkan Ciptadi dengan Dicky. Apa saja yah perbedaan? Pertama Dicky dulu. Dia laki-laki yang baik, penuh perhatian, sabar, dewasa dan selalu memandang dunia dengan riang dan optimis. Sedangkan Ciptadi, moody, keras kepala, terkadang pesimis mengenai suatu hal, tapi dibalik semua itu, ada satu sisi yang tidak pernah kusadari sebelumnya. Dia perhatian padaku. Selama tiga tahun aku berteman dengannya, kami jarang bertengkar. Jika bertengkar pun, tidak akan bertahan lama. Yang jelas kami menganut prinsip mutualisme. Selalu bergantung satu sama lain.
            “Tuh, kan ngelamun lagi!” Ciptadi menyentakku dari lamunanku siang ini. Kami segera menaikkan tangga menuju labotarium komputer yang terletak di lantai empat. “Kamu ngelamunin siapa sih?” tanyanya penasaran.
“Ada deh,” jawabku dengan menahan senyum. Biar saja dia penasaran sendiri.
            “Danti, sini deh,” tiba-tiba saja Ciptadi menarik tanganku. Diajaknya aku ke koridor lantai tiga yang siang ini terlihat sepi. Lalu tiba-tiba saja dia mengecup keningku. Aku tentu saja kaget bukan main dengan kelakuannya itu.
            “Apa-apaan sih, Cip!” kudorong tubuhnya hingga hampir saja menabrak tembok kelas. Kulempar pandanganku keluar jendela. Memperhatikan gerombolan mahasiswa yang hilir-mudik di bawah sana.
            “Maafkan aku, Dan. Terus terang aku tidak suka kalau kamu mulai memikirkan laki-laki lain. Aku ingin, hanya aku yang ada dalam pikiranmu!”
            Mataku terbelalak saking terkejutnya dengan ‘vonis’nya itu. Kalau dulu Dicky hanya mengutarakan isi hatinya, kini laki-laki Jawa ini ‘mengancam’ku dengan pernyataannya itu.
            “Apa pun jawabannya, selalu kutunggu, Dan,” Ciptadi sudah melangkah lebih dahulu. Dia menaikkan tangga lagi untuk menuju lantai empat. Aku masih di sini. Termangu.
*****
            Hari masih pagi ketika aku sudah terbangun dari tidurku yang teramat nyenyak. Tiba-tiba pikiranku melintas pada peristiwa kemarin. Untuk pertama kali dalam hidupku, keningku sudah ‘ternoda’ oleh ciuman. Dan laki-laki yang sudah kurang ajar itu adalah Ciptadi, teman curhatku selama ini. Teman berbagi tugas, keluh kesah, teman segalanya untukku.
Tapi anehnya, semalam aku malah bermimpi bertemu Dicky. Dia menarik-narik tanganku untuk mengajakku pergi ke suatu tempat. Aku menolak, tapi cowok itu terus memaksaku. Aku menangis. Dicky merasa bersalah. Dia meminta maaf. Katanya kalau aku tidak mau ikut dengannya, maka dia akan pergi sendiri. Kubiarkan dia pergi dengan terus menangis. Dia memandangku sebentar, lalu perlahan pergi.
Aku tidak mengerti kenapa tiba-tiba bermimpi tentang Dicky. Apakah karena kemarin tiba-tiba saja aku teringat padanya?
Mimpi tadi malam itu membuat aku kehilangan gairah untuk menjalani pagi ini. Di kampus, aku hanya duduk-duduk saja di taman kampus. Padahal sebentar lagi kuliah dimulai. Biasanya aku semangat untuk mencari duduk di kursi barisan depan. Tapi pagi ini, untuk beranjak menuju ruang kuliah rasanya malas sekali.
“Danti, maafkan aku, kalau tindakanku kemarin membuatmu marah,” datang-datang Ciptadi membawaku setangkai bunga. Mending juga bunga mawar seperti kulihat di film-film romantis, dimana seorang laki-laki memberikan setangkai mawar merah untuk kekasihnya. Ini bunga kembang sepatu. Tidak tahu dari mana dia mendapatkannya.
Forget it,” kataku malas. Lalu kami sama-sama diam. Kami asyik memandangi gerombolan mahasiswa yang hilir-mudik di sepanjang koridor kampus.
“Kamu mau masuk kuliah, gak?” tanyanya seraya melirik jam tangannya.
“Pagi ini aku bolos kuliah dulu. Aku masih pengen di sini,” ujarku dengan setengah hati.
“Sekali lagi aku minta maaf atas peristiwa kemarin,” setelah mengucapkan kata-kata itu Ciptadi pergi. Hmm, tumben cowok itu mengijinkanku untuk membolos pagi ini. Biasanya dia akan memberiku kuliah panjang-lebar. Mungkin setara 3 SKS hihihi.
Aku menuju halte bis depan kampus. Entah mengapa aku ingin ke rumah kos Qory, teman SMAku yang kini kuliah di Trisakti. Hanya Qory, satu-satunya teman ketika aku masih tinggal di Singkawang yang bertemu denganku di Jakarta. Pertemuan yang tidak disengaja ketika kami sama-sama mendaftar di Poltek UI.
Kukirim SMS padanya. Sambil menunggu balasan darinya, aku duduk di halte bis dengan pikiran menerawang seraya menatap Jalan Margonda Raya.
Gw ada di kos. Klh gw lbr. Lo ke sini aja. Gw tunggu. Tak berapa lama Qory mengirim SMS balasan.
Aku langsung melompat ke dalam bis jurusan Pasar Minggu. Dari terminal Pasar Minggu, aku harus naik bis jurusan Blok M. Baru di terminal Blok M, aku pilih bis jurusan Grogol. Ugh, perjalanan yang panjang. Tapi ini yang kucari. Aku punya tempat untuk melamun.
Qory tersenyum ceria menyambut kedatanganku. Sementara tubuhku terasa letih oleh perjalanan yang amat panjang dan melelahkan.
“Yuk, makan dulu. Nih, aku udah masakin bubur pedas kesukaanmu,” mataku terbelalak melihat makanan favoritku ketika di Singkawang dulu, kini tersaji di meja makan.
“Kamu bisa masaknya, Qor?” tanyaku kagum.
“Wah, biak Singkawang kudu bisa masak makanan ciri khas Kalimantan itu dong,” Qory menyodorkan sendok untukku. Yang dimaksud biak adalah anak dalam bahasa Sambas.
“Kemarin mamakku mengirimkan bahan-bahan untuk membuat bubur pedas ini melalui tanteku yang baru pulang dari Singkawang. Kebetulan tadi kamu SMS, jadi sekalian aja aku masakin buat kamu. Pasti kamu kangen banget dengan masakan ini kan?” Qory tersenyum manis.
“Sangat!” Dengan lahap dan tanpa malu-malu kusantap mangkuk besar berisi bubur pedas itu. Sama seperti masakan jenis bubur lainnya, hanya bedanya, bubur pedas ini dicampur dengan tetelan daging, sayur dan cabe kering sehingga rasanya pedas. Lebih enak disantap panas-panas seperti ini.
“Eh, Dan, kamu ingat Dicky gak?” tanya Qory tiba-tiba di sela-sela suapannya.
“Dicky? Yah, ingatlah! Tadi malam aku mimpi ketemu dia. Aneh deh, Qor, kenapa tiba-tiba aku teringat dia dan bermimpi tentangnya…”
Qory terdiam. Dia meneguk gelas tinggi berisi air putih dingin tanpa bersuara. Dia lalu menghabiskan makanannya. Aku pun mengikutinya, menghabiskan satu mangkuk besar bubur pedas yang lezat itu. Aku tidak menyangka ternyata Qory jago masak. Kapan-kapan aku harus belajar padanya.
“Apa kenanganmu terhadap Dicky?” tanya Qory ketika kami sudah berada dalam kamarnya yang nyaman.
“Apa yah?” Kupandangi langit-langit kamar. Terbayang dibenak sebuah sosok yang tampan, baik, pintar dan bertanggung jawab. Tidak heran jika dia menjadi idola di SMANSA, dulu.
“Oya, kamu pernah ketemu dia lagi setelah lulus SMA?” Tiba-tiba saja aku melompat dan memandang  wajah Qory dengan penuh harap. Dengan lesu dia mengangguk.
“Terakhir aku ketemu ketika lebaran tahun lalu. Dia nanyain kabar kamu. Dia pengen banget ketemu kamu,” wajahnya tertunduk. Seperti menyimpan suatu kesedihan.
“Dia kuliah dimana, Qor?” tanyaku ingin tahu.
“Dia nggak kuliah, Dan. Kamu tahu sendiri kan, ayahnya cuma seorang penilik sekolah. Dia dagang,” Qory memalingkan wajahnya untuk menghindar dari tatapanku.
“Dia jualan apa, Qor?” tanyaku nyaris berbisik.
“Dia membuka warung nasi di sebuah pasar. Jualannya ramai sekali. Aku pernah berkunjung ke warungnya dengan biak-biak. Sri, Linda, Ping-Ping dan Nella. Tapi Dicky gak minder dengan keadaannya, Dan. Malah dia nasehatin biak-biak supaya kuliah yang bener,” sampai di situ Qory menghentikan ceritanyanya. Tiba-tiba kulihat matanya basah.
“Qory, ada apa?” tanyaku curiga.
“Kemarin tanteku bawa kabar. Kalo Dicky sudah ‘pergi’….”
“Maksud kamu?” aku langsung memotong kalimatnya.
“Danti, mimpi kamu tadi malam tentang dia dan mengapa tiba-tiba saja kamu teringat padanya itu pertanda bahwa Dicky ingin mengucapkan selamat tinggal padamu,” air mata Qory telah membasahi kedua pipinya. Aku terjatuh dalam perlukannya.
“Dicky kecelakaan, Dan. Nyawanya tak dapat tertolong lagi. Kebetulan rumah tanteku berdekatan dengan rumahnya sehingga tanteku sempat datang melayat….”
Aku tidak lagi dapat menyimak kisah Qory. Aku hanya duduk terdiam dengan pikiran kacau. Tiba-tiba saja dua wajah muncul secara bersamaan dalam benakku. Dicky dan Ciptadi.

*****

0 komentar:

Posting Komentar