Fey
selalu datang ke kliniknya sekitar jam tujuh pagi. Terkadang lewat sedikit, terkadang
sebelum jam tujuh. Dia membuka pintu ruang kliniknya. Ruang kliniknya selalu
rapi dan wangi. Tidak terlihat seperti ruang praktek dokter pada umumnya.
Fey,
laki-laki tampan berumur 35 tahun, bekerja sebagai seorang psikiater di klinik
tersebut. Ruang prakteknya selalu terbuka tepat jam delapan sampai menjelang
makan siang. Setelah itu, dia harus bergegas menuju sebuah rumah sakit umum sampai
hari menjelang senja.
Pasiennya
datang dari berbagai kalangan, dari kalangan atas sampai menengah ke bawah.
Dari berbagai profesi. Eksekutif muda, manajer, pejabat, terkadang artis
pemula, ibu rumah tangga, semuanya mengemukakan berbagai permasalahannya. Dari
masalah rumah tangga yang cukup kompleks, trauma masa lalu yang menghambat
aktivitas seseorang, korban kekerasan dalam rumah tangga dan lain-lain. Dia juga
harus dapat menangani masalah-masalah psikologis yang lebih berat, seperti
depresi, gangguan mood,
insomnia berat, schizophrenia
(yang ditandai dengan munculnya halusinasi dan delusi), dan berbagai masalah
psikologis lain yang membutuhkan penanganan lebih dari sekedar konseling.
Biasanya dia menggunakan obat-obatan dalam
proses terapinya.
Fey
duduk di kursi kerjanya yang empuk. Tania, perawatnya, sudah menyuguhkan
secangkir kopi krim kesukaannya. Fey meneguknya sedikit. Ada waktu satu jam
sebelum dia membuka kliniknya.
Rutinitasnya
sebelum beraktivitas adalah membuka laptopnya
dan menjelajahi dunia maya. Cukuplah untuk menyenangkan hatinya. Jam 8 tepat
Tania membuka pintu ruang prakteknya dan mulai memanggil satu per satu
pasiennya hari ini. Fey memulai membuka hati dan telinganya untuk para
kliennya.
Namun dia tidak pernah membuka hati dan telinganya untuk
seseorang. Hmm, tiba-tiba ada sebuah perasaan indah yang menyelinap dalam
dadanya. Entah apa, tiba-tiba Fey merasa bahagia!
Dea
membuka pintu ruang kerjanya. Ruang yang mungil dan simpel, bercat kuning
gading, bersih dan wangi. Ada sebuah meja kerja yang tersusun rapi oleh
tumpukan buku, agenda kerja, sebuah bingkai foto pemiliknya dan satu set alat
tulis yang tertata rapi. Meja kerjanya menghadap ke jendala. Jika dia jenuh
dengan pekerjaannya, Dea akan melayangkan pandangannya ke luar jendela. Betapa
menyenangkan melihat para mahasiswi yang tengah bercanda di taman kampus.
Pakaian mereka modis dengan model terkini. Tentu saja menarik perhatian serombongan mahasiswa yang juga
berkumpul di koridor kampus menunggu jam kuliah berikutnya.
Dea
menyesal, mengapa dulu tidak ‘memanfaatkan’ masa kuliahnya dengan
bersenang-senang? Dulu dia terlalu serius belajar. Waktunya dihabiskan untuk belajar
dan berorganisasi. Selain kuliah, Dea aktif di kepengurusan buletin kampus dan
anggota paduan suara di kampusnya.
Sampai
dia bertemu dengan sesosok laki-laki muda di sebuah perkemahan di daerah Jayagiri.
Mahasiswa Pencinta Alam di kampusnya mengundang semua pengurus Unit Kegiatan
Mahasiswa (UKM) untuk mengikuti acara ‘Go
Green’ dengan membersihkan Jayagiri dari sampah-sampah yang berserakan.
Acara berlangsung selama tiga hari. Selama itu dia selalu memandang sesosok
tampan yang selalu asyik dengan gitarnya, duduk di depan perkemahan klub sains,
sebuah UKM yang diikutinya.
Dia
selalu asyik dengan kesendiriannya. Seakan tidak tertarik berbaur dengan
peserta yang lain. Padahal jika dia tahu, banyak peserta wanita yang selalu
membicarakan sosok cool itu.
“Namanya
Fey, Feyanto. Anak Kedokteran. Kamu belum pernah melihat sebelumnya, Dea?”
Tanya Esanti temannya sesama pengurus di buletin kampus. Dea hanya mengangguk
saja. Tentu saja dia tidak pernah melihat laki-laki bertubuh jangkung dan
atletis itu. Universitas Merah Putih memiliki beberapa kampus yang tersebar di
beberapa tempat. Fakultas Kedokteran berada di kampus pusat, sedangkan dia
selalu kuliah di kampus baru. Ke kampus pusat jika dia harus mengurusi hal-hal
yang berkaitan dengan keuangan dan akademik.
Malam
terakhir di Jayagiri, panitia membuat acara “Malam Api Unggun” sebagai acara
ramah-tamah. Kemudian salah satu dari mereka, mengocokkan gulungan-gulungan
kertas dalam sebuah botol plastik. Gulungan-gulungan kertas itu akan
menampilkan sebuah nama beserta tantangannya. Pada gulungan kertas kesekian,
tercantum namanya dan Fey dalam secarik kertas itu. Tantangannya cukup mudah:
bernyanyi dengan iringan musik.
Tak
sengaja pandangan mereka bertemu. Fey maju menenteng gitar kesayangannya. Dia
memberi kode supaya Adealia bernyanyi. Entahlah, tiba-tiba semua mengalir
begitu saja. Dea menyanyikan lagu “Melati dari Jayagiri”. Dia merasa lagu itu
pas di moment tersebut.
Rasanya
Dea tak sanggup bernyanyi. Nadanya terlalu lembut mengiringi permainan gitar
Fey. Dea merasa sosok itu memandanginya terus-menerus. Dea mengalihkan
pandangannya pada kobaran api unggun yang menjilat-jilati kayu bakar. Tak berani
membalas tatapan yang kelam dan dalam itu.
Sejak
itu dia tidak pernah melupakan sosok itu sampai detik ini, walau mereka tidak
pernah lagi bertemu sejak pertemuan terakhir di acara Wisuda Kampus, dua belas
tahun yang lalu.
Lamunan
Dea terhenti. Sebuah pesan masuk.
Dea, kita diundang Bram, mantan ketua senat
periode kita kuliah. Dia mengadakan acara syukuran, sudah terpilih sebagai anggota
dewan. Kau datang ya, nanti kujemput. Acaranya minggu depan.
Pesan
dari Esanti. Dia dan beberapa teman kuliahnya acap kali mengadakan pertemuan
untuk sekedar bersilaturahmi. Kemudian mereka membentuk sebuah komunitas yang
berisi para alumni yang dulu pernah berkiprah sebagai pengurus di beberapa Unit
Kegiatan Mahasiswa di kampus mereka dulu.
Hanya
beberapa kali saja dia hadir. Itu pun karena Esanti yang memaksanya. Dia selalu
bersyukur ketika dia hadir, sosok itu berhalangan hadir karena kesibukan.
Informasi
dari Esanti, bahwa Fey sudah berhasil menyelesaikan pendidikan spesialis psikiatri
atau kedokteran jiwanya. Dia bekerja di sebuah klinik dan rumah sakit umum yang
cukup besar di Jakarta. Untunglah, Esanti tidak pernah memberikan informasi
tambahan apakah Fey sudah menikah atau belum.
Dea belum memutuskan apakah dia akan datang atau tidak.
Dari balik jendela ruang kerjanya, Dea melihat sepasang sejoli sedang bersenda
gurau melintasi koridor kampus. Tanpa sadar Dea tersenyum. Mungkin dia sedikit
iri dengan pemandangan manis itu.
Fey
sedang membereskan file-file pasiennya ketika Tania masuk memberitahukan ada
tamu untuknya. Fey menyuruh Tania agar mempersilahkan tamu itu masuk ke
ruangannya. Bram tersenyum lebar seraya menjabat tangan sang dokter bersahabat.
“Gimana
kabarnya, Bro?” Bram meneliti tubuh
sahabatnya yang semakin atletis. “Masih sering ke gym kau rupanya?” Ledek Bram.
“Iya-lah,
memangnya kau, yang mana punya waktu untuk berolah raga,” Fey menelpon Tania
untuk meminta perawatnya menyiapkan dua cangkir kopi krem. Tak berapa lama
Tania masuk memenuhi permintaan Fey.
“Cantik
kali, perawat kau itu,” ledek Bram seraya menerima secangkir kopi panas dari
Fey. Fey hanya tersenyum. Meneguk sedikit kopinya. “Sayang sekali aku sudah
punya anak tiga, coba kalau aku masih bujangan, sudah kulamar dia!” Bram
tertawa terbahak-bahak. Fey membalasnya dengan tersenyum lebar.
Mereka
bersahabat sejak SMA di Medan. Di Jakarta mereka kuliah di kampus yang sama
namun berbeda jurusan. Fey memilih Kedokteran, sedangkan Bram lebih tertarik
menekuni Ilmu Politik. Karirnya cukup melesat. Di kampus saja, dia pernah
menduduki sebagai ketua senat. Dan kini dia terpilih sebagai anggota dewan.
“Kau
harus datang, Fey. Aku membuat acara syukuran, kecil-kecilan lah...”
“Di
hotel kau bilang kecil-kecilan?” Fey menggeleng kepalanya. “Hidup hemat sedikit-lah,
Bro!” Bram terbahak. “Bukan uangku,
Fey. Mertuaku yang membiayai semuanya. Tidak sia-sia kan aku punya mertua kaya,”
tawa Bram makin keras.
Kembali
Fey menggelengkan kepalanya. Dia lebih memilih menikmati kopinya.
“Oya,
kapan kau akan menikah, Fey? Umurmu sudah berapa? Betah kali kau membujang!”
Kali ini Bram lebih tertarik dengan topik kehidupan sahabatnya. Fey mendadak
salah tingkah. Topik yang selalu ia hindari.
“Apa
kau tidak bisa melupakan gadis itu?” Tanya Bram dengan senyum menggoda.
“Gadis
yang mana?” Fey balik bertanya.
“Ahh,
berapa banyak gadis dalam kehidupanmu itu?” Bram meneguk kopinya. Fey
menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. “Kau tahu sendiri kan?”
“Waktu
jaman kuliah dulu, kau pernah mendekati Sana, gadis Batak yang satu kampus
dengan kita, namun orang tuanya tidak setuju karena kalian berbeda marga.
Kemudian kau pernah menjalin cinta dengan Ayu, gadis Jawa yang terpaksa
menerima lamaran laki-laki pilihan orang tuanya. Dan terakhir Citra, teman kuliahmu di pendidikan spesialis
psikiatri. Walau sebenarnya aku tahu, cintamu hanya untuk seorang gadis yang
amat kau cintai, Adealia..”
“Oya,
dimana dia sekarang?” Tanya Fey penasaran.
“Cari
tahu sendiri-lah! Kau berteman saja di media sosial. Dia cukup eksis kok! Salah
sendiri, kalau ada pertemuan kau jarang sekali hadir. Padahal kau bisa bertemu
dengan gadis cantik itu...”
“Tambah cantik?” Tanyanya lagi spontan, dengan wajah
semerah kepiting rebus. Bram tertawa riuh. “Buka saja laptop-mu, kau lihat sendiri-lah,” Bram pamit dengan tawa yang
berderai.
Malam
semakin larut. Fey masih asyik dengan pekerjaannya. Membuat laporan
perkembangan kondisi pasien, adalah tugas rutinnya setiap malam. Diiringi musik
instrumental lembut membuat dia betah bekerja.
Tiba-tiba
saja jari-jarinya meng-klik sebuah browser.
Fey sudah menjelajahi dua maya. Dia log
in ke sebuah media sosia. Dicari nama Adealia. Dadanya tiba-tiba
bergemuruh.
Bram
betul, Dea cukup aktif di sosial media tersebut. Hampir setiap hari dia meng-up date statusnya. Isi postingnya cukup seru. Tentang
pekerjaannya sebagai dosen, tentang kehidupan kampusnya dan lain-lain.
Terkadang dia memposting foto
terbarunya. Foto tentang kegiatan kampusnya, bersama teman-temannya atau sajian
menu yang tengah dia nikmati di sebuah resto atau kafe. Adealia semakin cantik
dengan berhijab, puji Fey tanpa sadar.
Ada
sebuah foto yang membuat Fey seakan berhenti bernafas. Dea tengah tertawa
bahagia menggendong seorang bayi mungil. Dibelakangnya, berdiri seorang
laki-laki muda dan tampan, tersenyum seraya memegang bahu Dea.
Fey langsung menutup laptopnya.
Adealia
berdandan cantik malam itu. Dia mengenakan tunik polos warna biru langit dengan
bodiran bunga mawar di pinggirannya berwarna merah tua senada dengan kerudung
satin.
Dia
duduk satu meja dengan Esanti dan
bersama teman-teman kuliah lainnya. Entah mengapa dia berharap Fey akan hadir.
Setidaknya dia bisa menuntaskan rasa rindunya. Walau mungkin Fey kini sudah
berbahagia dengan keluarga kecilnya.
Seorang
pelayan membawa beberapa minuman ringan. Dea memilih orange juice kesukaannya. Dia teguk sedikit untuk mengurangi rasa
grogi yang tiba-tiba muncul.
“Dia
belum datang,” Esanti melirik Dea. Dea hanya tertunduk, pura-pura sibuk dengan
ponselnya. “Kata Bram, dia berjanji akan datang.”
“Mungkin
sibuk,” jawab Dea dengan hati nelangsa. Harusnya dia tidak usah datang jika
hanya kekecewaanya yang kini ia rasakan.
Sampai acara itu selesai, Fey tidak menampakkan batang
hidungnya.
“Kenapa
kau tak datang?” Suara Bram langsung terdengar begitu Fey mengangkat ponselnya.
“Kau sudah berjanji akan datang..”
“Maaf,
Bro..Aku sibuk,” Fey memain-mainkan
pulpen di tangannya.
“Kau
tahu, ada seorang gadis yang sangat kecewa begitu tahu kau tak hadir...”
“Maksudmu,
Dea?” Potong Fey tak sabar. “Bukankah dia sudah bahagia dengan keluarga
kecilnya,” suara Fey terdengar sinis.
“Keluarga?
Keluarga yang mana?” Nada Bram terdengar tak sabar.
“Aku
melihat fotonya. Dia tengah menggendong seorang bayi dengan laki-laki muda di
belakangnya..”
“Hahaha...Kau
cemburu, Bro! Laki-laki itu adik iparku.
Aku yang memposting foto itu seminggu
yang lalu di acara ulang tahun anakku yang paling besar di rumah eyangnya. Bayi
itu anakku yang baru berumur enam bulan. Kau tidak tahu kan kalau keluarganya
dan keluarga besar istriku bertetanggaan...”
“Bram,
antarkan aku ke rumahnya,” nada Fey terdengar panik.
Bram
tertawa keras dan terdengar getir.
“Sayang,
Fey. Adealia sudah pergi. Dia menerima beasiswa S3 ke Malaysia...”
Dari
seberang sana Bram sudah menutup ponselnya. Tinggal Fey yang terdiam terpaku.
Tanpa sadar dia pandangi senja yang berwarna merah kejinggaan dari balik
jendela kamarnya. Tak lama kemudian warnanya makin memudar. Hanya tersisa bias
cahaya yang masuk melewati kaca jendelanya yang bening.
Seperti hatinya saat ini. Sudah tak berbentuk lagi. Hanya
tersisa biasnya.
0 komentar:
Posting Komentar