Kemeja putih ketat, jins dan bretel keren
dengan warna coklat senada dengan sepatu manis yang dibelinya di Sogo kemarin.
Karena modelnya yang manis Lana sampai rela mengeluarkan sepuluh lembar sepuluh
ribuan dari dompetnya. Ahh, seandainya Yudis tahu. Dia bisa ceramah
panjang-lebar. Tentang anak-anak yang putus sekolah, penjaja permen di lampu
merah dan peminta-minta di setiap sudut kota Jakarta, ihh, padahal apa
hubungannya? Bibir mungil Lana maju beberapa centi. Biasa si Yudis, suka sok tua!.
“Lana, Yudis udah datang.”
“Ya, Mam, suruh tunggu sebentar,”
disemprotkan parfum lembut dibelakang
Kalau engga ke pesta Tracy sih cuek saja.
Nah ini ngerayain ultah Tracy di HRC, Yudis masih tetap saja bercuek-bebek.
Gimana
engga kesal. Percuma dong dandan rapi-rapi, kalau Yudis ‘Cuma’ memakai kemeja
kotak-kotak biru yang lengan nya di gulung, jins belel dan kets yang engga
ketauan warnanya. Putih bukan. Abu-abu engga juga. Dekil! Sengut Lana dongkol.
“Kamu boleh marah. Lan. Saya minta maaf
deh. Suer, saya enggak sempat lagi
ganti baju ke rumah. Kalau telat dikit aja kamu ngambek. Makanya dari kampus
saya langsung ke sini.”
“Kamu bisa perhitungan waktu dong,” Lana
mendelik sewot.
“Latihan Mapa molor dari waktu yang
direncanakan dan sebagai ketua aku kan engga bisa seenaknya pergi begitu saja
sebelum latihan selesai.”
“Salain itu saja alasan kamu. Mapa-lah,
gunung, hutan.... Sori, Dis, aku bosan. Muak! Kau lebih mementingkan kegiatan
pencinta alammu ketimbang aku.”
“Lana,” panggilnya lembut. Lana hanya
mengangkat wajahnya sebentar lalu mengendus kesal.
Sepuluh menit kemudian....
“Oke, kita jadi pergi, nggak?” Yudis
memainkan kunci mobilnya dengan pandangan serba salah. Lana membayangkan
suasana HRC yang meriah, rame,serba modis, wangi. Yudis pasti Cuma jadi tontonan yang aneh di
mata mereka.
“Enggak!” Jawabnya ketus lalu berlari ke
kamar. Meninggalkan Yudis yang terbengong-negong. Ugh, sebodo banget! Siapa
suruh latihan Mapa enggak ingat waktu.
***
“Jadi kamu
pergi juga sama Erza?” Tracy mengangkat alisnya yang bagus tinggi-tinggi. Lana
mengangguk dengan senyum bandel. Tak disangka malam itu Erza menjemputnya.
Mengajak bareng ke ultah Tracy di HRC.
“Terus,
Yudis tau enggak?”
“Enggak
lah ya... Mana aku berani. Yudis pasti juga udah balik lagi ke kampus. Ngurusin
klub PA-nya itu,” Lana mengelap bibirnya. Disingkirkan gelas tinggi berisi milkshake yang tinggal seperempat.
”Dan
dekil?” Potongnya sebel.
“Kamu kudu
maklum dong. Namanya juga pecinta alam. Yang namanya dandan enggak ada di dalam
daftar mereka. Emangnya kayak Erza cs yang hobinya shopping, dandan dan nongkrong di cafe ngebanggain kekayaan
ortunya. Ihh, cowok kok kayak gitu. Terlalu modis. Aku suka takut lho sama
mereka, Lan. Abis cowok kok modis gitu,” Tracy cemberut. Meneguk kopi krimnya
sekali lagi.
“Trac,
menurutmu gimana, kayaknya aku ingin putus saja sama Yudis.”
“Gila
kamu. Putus? Kalau memang sudah bosen, kasih aku aja deh. Nggak nolak deh,” Tracy
senyum-senyum. Gantian Lana yang cemberut. “Aku serius nih, Trac”
“Emangnya
kenapa sih, Lan? Aku liat Yudis anaknya baik. Sholatnya rajin, kuliahnya bener,
anaknya baik. Terus apa lagi? Masih aja kurang? Emang sih kalau dibandingkan
dengan Erza cs, Yudis kalah keren. Kalah modis. Tapi apa kamu cuma ngeliat
cowok dari soal keren dan modisnya aja? Enggak kan ?”
“Bukan
gitu, Trac. Setelah aku pikir-pikir kayaknya antara kami enggak ada kecocokan.
Kamu kan tahu sendiri, Yudis itu pecinta alam, suka buku, anti diskotik, anti
mall, sedangkan aku? Kemping aja enggak pernah, baca buku bisa diitung deh,
paling doyan ke diskotik dan keluyuran ke mall.”
“Jadi
acara kencan kalian kemana?” Tanya Tracy bingung.
“Yah,
paling cuma ngobrol-ngobrol aja dirumah. Abis ngajakin Yudis nonton juga percuma,
dia pemilih banget sih dalam soal film filmnya kelas oscar deh. Kayak forest gump. Sedangkan aku ngerti juga
enggak ceritanya. Mau nongkrong di cafe, Yudis vegetarian jadi rada susah milih
menu. Ngobrolin musik aja enggak nyambung. Dia ngomongin jazz, aku pop.
Penyanyi-penyanyi jazz yang dia sebutin mana ada yang kukenal.”
“Tapi
waktu kamu kenalan pertama kali sama Yudis di kampusnya, Kamu crazy banget kan sama dia. Inget kan,
Lan?”
“iya sih,”
Lana senyum-senyum tanpa sadar. “Waktu itu kampusnya ngadain acra amal dan kita
diundang untuk fashion show. Waktu
itu Yudis ketua panitianya, yang dandanya biasa-biasa aja kalau dibandingin cover boy teman-teman kita. Enggak salah
dong aku rada crazy. Abis di mataku,
dia macho banget sih!”
“Terus, sekarang gimana?” Tracy
memutuskan kenangan manis itu di mata Lana.
“Coba dulu deh beberapa bulan. Kalau
tetap enggak bisa, yah enggak ada jalan.”
“Telpon aku ya, Lan. Siapa tau bisa aku
labain?” Tracy ngikik. Lana mendelik enggak rela.
***
“Jadi kamu
mau pergi juga?” Tanya Lana sebal yudis jadi serba salah. Menghadapi Lana yang
masih kanak-kanak begini memang susah. Harusnya dia memilih teman kampusnya
yang sudah dewasa dan feminin. Enggak kayak Lana yang masih SMU, sukanya
hura-hura terus.
“Lan,
ngerti dong. Saya pergi kan bukan untuk main-main. Ekspedisi Alam ini serius banget. Kami bakal ngebahas
soal reboisasi, pencemaran lingkungan dan mengadakan penelitian ke
daerah-daerah terpencil.”
“Tapi,
Dis, kamu lupa bentar lagi aku ultah.”
Yudis tertawa tiba-tiba. Ya, ampuuuun Cuma karena itu.
Kirain Lana terlalu menghawatirkan dirinya yang akan ikut Ekspedisi Alam ke
daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Tapi tentu
saja hubungan mereka seperti monoton. Enggak pernah ribut Tari terlalu banyak
mengalah dan nurut. Yudis kadang jenuh juga. Tapi Lana, Yudis juga suka
bingung. Dikit-dikit ngambek,marah, banyak maunya. Tapi terus terang Yudis
sukaa banget pada Lana yang cantik ini.
“Ultahku
yang ke 17 kan mau dirayain, Dis. Maunya aku sih semeriah mungkin. Soalnya 17
kan punya arti khusus buat cewek. Kalau kamu enggak datang, gimana dong?” Lana
rajuk. Manja.
“Kalau aku
kirim kado aja gimana?” Goda Yudis.
“Enggak
lucu!” Bibirnya kembali cemberut.
“Gini aja deh, Lan. Kita rayain ultah kamu berdua aja
begitu aku pulang. Light dinner deh. I
promise,” Yudis memegang tangannya.
Lana
menggeleng.
“Enggak! Pokoknya
aku ingin kamu datang. Kalau enggak, Jangan harap kamu boleh datang lagi.
Bruk!” Lana membanting pintu rumahnya. Yudis terbengong-bengong di teras rumah
Lana yang tertata asri.
Duuuh,
susahnya! Batin Yudis menggema. Meninggalkan rumah Lana dengan perasaan hampa.
***
“Lana,
Lana, mau kamu tuh apa sih?” Tanya Tracy bingung begitu Lana curhat ketika mereka break section pertama pemotretan.
“Masak sih
dia tega enggak datang di perta ultahku?” Mau taruh dimana wajahku? Pasti
model-model kayak Mareta, Vonny, Melly, Selli, Erza, Odi, Resnu akan
memandangiku iba. Kasihan banget Lana ditinggalin pacarnya di hari ultah. Yang
ke 17 lagi! Tahu gini mending aku enggak punya pacar aja. Atau kalau enggak
nerima lamaran Resnu yang keren dan care
itu.”
“Terus
kenapa kamu enggak nerima Resnu aja?” Balas Tracy asal-asalan.
“Feeling
enggak bisa dipaksain, trac, you know?”
“so?”
“Sekarang
terserah Yudis. Kalau sampai dia enggak datang, putus!”
“Jadi kamu
punya alasan untuk putus kan?”
“Aku sih
enggak ingin putus, Trac. Cuma kalau caranya gini, yah enggak ada jalan lain.
Emangnya Cuma dia cowok yang ada di dunia ini. Masih ada Brad Pitt, anak-anak
Take That yang keren-keren itu...” Tracy ngikik.
“Sayangnya
section kedua pemotretan dimulai
lagi. Terpaksa Tracy dan Lana
menghentikan obrolan mereka.
***
Untuk
pesta ultahnya kali ini, Lana merencanakannya sebaik mungkin. Pikirannya sibuk
oleh rencana itu. Tak tersisa satu pun untuk memikirkan Yudis yang ternyata
lebih memilih ikutan Ekspedisi Alam ketimbang menghadiri pesta ultahnya.
Halaman
belakang yang luas itu bisa di pakai jojing sepuasnya. Mereka bisa ngobrol
sebebasnya dengan pesta gaya standing
party. Ada dua meja besar yang berisi aneka makanan yang mama pesan dari
catering-catering yang terkenal di Jakarta. Dari makanan ala Eropa, Jepang,
dessert sampai makanan khas Indonesia. Pokoknya lengkap banget. Lana tak ingin
mengecewakan teman-temannya.
“Cepat,
sayang, tuh temanmu udah ada yang datang,” Mama datang membantu merapihkan
dandanannya. Gaun bermodel simpel warna putih ini dibelinya di butik langganan
mama. Dandanan wajahnya senatural mungkin. Hmmm, Lana puas ngikik.
“Cantik anak mama,” mama mencium kedua pipinya.
“Selamat ultah, sayang. Papa enggak bisa datang. Masih di Bangkok,” bisik mama
lembut. Walau kecewa, Lana berusaha tersenyum manis.
Tiba-tiba
saja Lana jadi ingat Yudis. Dan, Tracy yang tak bisa datang karena omanya
sakit. Menyesal pesta sweet seventeen
berakhir seperti ini.
***
“Lana, udah bangun, sayang?” Mama datang dan duduk
dipinggir tempat tidur. Lana mengangguk. Dari balik jendela dilihatnya Mbok
Inah, Siti dan Pak Kiman sibuk membersihkan kolam, taman belakang, sisa-sisa
pesta tadi malam.
“Mama
harap kamu enggak sedih. Yang penting Lana sekarang udah harus dewasa dalam
menghadapi apapun. Ambil hikmah dari kejadian tadi malam. Dalam mencari teman,
Lan harus milih yang baik. Enggak bisa kita lihat orang dari penampilan
kulitnya aja. Mamah enggak menyangka Erza yang rapih dan kelihatan sopan itu
ternyata anak yang enggak benar. Iya kan, Lan?”
Lana
mengangguk-angguk. Mama membelai rambutnya lembut. Segala kesedihan yang
dirasakannya seperti pergi dengan belaian lembut itu. Ugh, untuk ada mama. Dia
tidak bisa membayangkan jka mama sesibuk papa juga. Pasti nasibnya akan sama
dengan Vonny yang melarikan diri kepub atau cafe karena kakurangan perhatian
dan ortunya. Meneguk minuman keras, dan ngomong ngaco entah soal apa.
“Makasih
ma?” Lana membalas mencium kedua pipi mama. Mama tersenyum lembut.
“Non, ada
Den Yudis,” beritahu Mbok Inah.
“Ma,
Yudis,” katanya surprais dengan wajah berseri-seri. Mama mengangguk lalu
menyuruh Mbok Inah ngambil minuman untuk Yudis. Secepat kilat Lana mandi dan
dandan ala kadarnya.
“Met
ultah,” Yudis menyodorkan beberapa
tangkai bawar merah yang terbungkus dalam plastik indah. “Dis?” Lana terbengong. Tak menyangkan Yudis
akan seromantis ini.
“Enggak
usah bingung dong, Lan. Saya terpaksa pulang karena saya kangeeen banget sama
gadis manja yang cantik bernama Lana.”
“Makasih,
Dis. Ini gantiin rasa sedihku karena...,” Lana menceritakan segalanya. Dengan
serius, Yudis mendengarkannya.
“Makannya,
Lan, enggak usah deh pesta dibuat semewah mungkin. Biar sweet seventeen sekalipun. Yang wajar-wajar aja. Yang pentingkan
makna kita merayakan ultah itu. Kalau bisa sih kita tuh intropeksi diri.
Lana
mengangguk. Setuju dengan kata-kata Yudis.
“Kamu sih
enggak pernah ngerayain ultah di gunung. Wah, suasananya nikmat banget deh,
Lan. Kita bisa intropeksi diri.” Melihat begitu indahnya alam pegunungan,
mendengar kicauan burung dan menghirup udara gunung yang khas, membuat ultah
saya waktu itu berarti banget. Kayaknya kalau dibandingin kekuasaan Tuhan
menciptakan alam yang begini indahnya, saya enggak berarti apa-apa. Kerdil!”
“Udah deh,
jangan sok tau gitu. Iya, aku tau salah kok.”
Yudis
senyum-senyum.
“Dis,
gimana kalau aku rayain sekali lagi ultahku tapi di rumah-rumah yatim piatu.
Kamu setuju, enggak?"
Lana janji
tak akan melepaskan cowok sebaik Yudis. Biar dandanan Yudis Cuek Bebek. Karena
Yudis telah mengajarkan nilai-nilai kehidupan yang lebih baik daripada yang
dianut Lana selama ini.
*****
0 komentar:
Posting Komentar