Rabu, 17 September 2014

Nilai-Nilai Kehidupan

Suara Janet Jackson lewat lagunya Runaway membuat kepalanya bergoyang-goyang, asyik mengikuti irama. Hmmm, Lana rasanya ingin buru-buru ke HRC. Enggak sabar ingin jojing.
       Kemeja putih ketat, jins dan bretel keren dengan warna coklat senada dengan sepatu manis yang dibelinya di Sogo kemarin. Karena modelnya yang manis Lana sampai rela mengeluarkan sepuluh lembar sepuluh ribuan dari dompetnya. Ahh, seandainya Yudis tahu. Dia bisa ceramah panjang-lebar. Tentang anak-anak yang putus sekolah, penjaja permen di lampu merah dan peminta-minta di setiap sudut kota Jakarta, ihh, padahal apa hubungannya? Bibir mungil Lana maju beberapa centi. Biasa si   Yudis, suka sok tua!.
       “Lana, Yudis udah datang.”
       “Ya, Mam, suruh tunggu sebentar,” disemprotkan parfum lembut dibelakang
 telingnya. Dan menyambar tas ransel mungil berwarna perak.
       Wajahnya langsung cemberut begitu melihat penampilan Yudis yang cuek bebek seperti biasanya. Memang jika dibandingkan. Ezra cs yang modis-modis itu, penampilan Yudis bisa dibilang cuek bebek.
       Kalau engga ke pesta Tracy sih cuek saja. Nah ini ngerayain ultah Tracy di HRC, Yudis masih tetap saja bercuek-bebek.
Gimana engga kesal. Percuma dong dandan rapi-rapi, kalau Yudis ‘Cuma’ memakai kemeja kotak-kotak biru yang lengan nya di gulung, jins belel dan kets yang engga ketauan warnanya. Putih bukan. Abu-abu engga juga. Dekil! Sengut Lana dongkol.
       “Kamu boleh marah. Lan. Saya minta maaf deh. Suer, saya enggak sempat lagi ganti baju ke rumah. Kalau telat dikit aja kamu ngambek. Makanya dari kampus saya langsung ke sini.”

       “Kamu bisa perhitungan waktu dong,” Lana mendelik sewot.
       “Latihan Mapa molor dari waktu yang direncanakan dan sebagai ketua aku kan engga bisa seenaknya pergi begitu saja sebelum latihan selesai.”
       “Salain itu saja alasan kamu. Mapa-lah, gunung, hutan.... Sori, Dis, aku bosan. Muak! Kau lebih mementingkan kegiatan pencinta alammu ketimbang aku.”
       “Lana,” panggilnya lembut. Lana hanya mengangkat wajahnya sebentar lalu mengendus kesal.
       Sepuluh menit kemudian....
       “Oke, kita jadi pergi, nggak?” Yudis memainkan kunci mobilnya dengan pandangan serba salah. Lana membayangkan suasana HRC yang meriah, rame,serba modis, wangi.  Yudis pasti Cuma jadi tontonan yang aneh di mata mereka.
       “Enggak!” Jawabnya ketus lalu berlari ke kamar. Meninggalkan Yudis yang terbengong-negong. Ugh, sebodo banget! Siapa suruh latihan Mapa enggak ingat waktu.
***

       “Jadi kamu pergi juga sama Erza?” Tracy mengangkat alisnya yang bagus tinggi-tinggi. Lana mengangguk dengan senyum bandel. Tak disangka malam itu Erza menjemputnya. Mengajak bareng ke ultah Tracy di HRC.
       “Terus, Yudis tau enggak?”
       “Enggak lah ya... Mana aku berani. Yudis pasti juga udah balik lagi ke kampus. Ngurusin klub PA-nya itu,” Lana mengelap bibirnya. Disingkirkan gelas tinggi berisi milkshake yang tinggal seperempat.
        “Kamu seharusnya seneng dong punya cowok anak gunung kayak Yudis. Terus terang lho, Lan, cowok idolaku ya kayak Yudis itu. Cuek, baik, sabar...”
       ”Dan dekil?” Potongnya sebel.
       “Kamu kudu maklum dong. Namanya juga pecinta alam. Yang namanya dandan enggak ada di dalam daftar mereka. Emangnya kayak Erza cs yang hobinya shopping, dandan dan nongkrong di cafe ngebanggain kekayaan ortunya. Ihh, cowok kok kayak gitu. Terlalu modis. Aku suka takut lho sama mereka, Lan. Abis cowok kok modis gitu,” Tracy cemberut. Meneguk kopi krimnya sekali lagi.
       “Trac, menurutmu gimana, kayaknya aku ingin putus saja sama Yudis.”
       “Gila kamu. Putus? Kalau memang sudah bosen, kasih aku aja deh. Nggak nolak deh,” Tracy senyum-senyum. Gantian Lana yang cemberut. “Aku serius nih, Trac”
       “Emangnya kenapa sih, Lan? Aku liat Yudis anaknya baik. Sholatnya rajin, kuliahnya bener, anaknya baik. Terus apa lagi? Masih aja kurang? Emang sih kalau dibandingkan dengan Erza cs, Yudis kalah keren. Kalah modis. Tapi apa kamu cuma ngeliat cowok dari soal keren dan modisnya aja? Enggak kan ?”
       “Bukan gitu, Trac. Setelah aku pikir-pikir kayaknya antara kami enggak ada kecocokan. Kamu kan tahu sendiri, Yudis itu pecinta alam, suka buku, anti diskotik, anti mall, sedangkan aku? Kemping aja enggak pernah, baca buku bisa diitung deh, paling doyan ke diskotik dan keluyuran ke mall.”
       “Jadi acara kencan kalian kemana?” Tanya Tracy bingung.
       “Yah, paling cuma ngobrol-ngobrol aja dirumah. Abis ngajakin Yudis nonton juga percuma, dia pemilih banget sih dalam soal film filmnya kelas oscar deh. Kayak forest gump. Sedangkan aku ngerti juga enggak ceritanya. Mau nongkrong di cafe, Yudis vegetarian jadi rada susah milih menu. Ngobrolin musik aja enggak nyambung. Dia ngomongin jazz, aku pop. Penyanyi-penyanyi jazz yang dia sebutin mana ada yang kukenal.”
       “Tapi waktu kamu kenalan pertama kali sama Yudis di kampusnya, Kamu crazy banget kan sama dia. Inget kan, Lan?”
       “iya sih,” Lana senyum-senyum tanpa sadar. “Waktu itu kampusnya ngadain acra amal dan kita diundang untuk fashion show. Waktu itu Yudis ketua panitianya, yang dandanya biasa-biasa aja kalau dibandingin cover boy teman-teman kita. Enggak salah dong aku rada crazy. Abis di mataku, dia macho banget sih!”
       “Terus, sekarang gimana?” Tracy memutuskan kenangan manis itu di mata Lana.
       “Coba dulu deh beberapa bulan. Kalau tetap enggak bisa, yah enggak ada jalan.”
       “Telpon aku ya, Lan. Siapa tau bisa aku labain?” Tracy ngikik. Lana mendelik enggak rela.
***
       “Jadi kamu mau pergi juga?” Tanya Lana sebal yudis jadi serba salah. Menghadapi Lana yang masih kanak-kanak begini memang susah. Harusnya dia memilih teman kampusnya yang sudah dewasa dan feminin. Enggak kayak Lana yang masih SMU, sukanya hura-hura terus.
       “Lan, ngerti dong. Saya pergi kan bukan untuk main-main. Ekspedisi  Alam ini serius banget. Kami bakal ngebahas soal reboisasi, pencemaran lingkungan dan mengadakan penelitian ke daerah-daerah terpencil.”
       “Tapi, Dis, kamu lupa bentar lagi aku ultah.”
      
Yudis tertawa tiba-tiba. Ya, ampuuuun Cuma karena itu. Kirain Lana terlalu menghawatirkan dirinya yang akan ikut Ekspedisi Alam ke daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur.
       “Jangan tertawa!” Bibirnya yang mungil manyun. Bikin Yudis gemas. Kalau dibandingkan Tari, ceweknya yang dulu, memang jauh banget. Antara langit dan bumi. Tari itu lembut, dewasa, penuh perhatian. Yudis sangat sayaaang banget sama Tari. Sayang Tangan Tuhan telah mengajak Tari pergi ke rumah putih-Nya.

       Tapi tentu saja hubungan mereka seperti monoton. Enggak pernah ribut Tari terlalu banyak mengalah dan nurut. Yudis kadang jenuh juga. Tapi Lana, Yudis juga suka bingung. Dikit-dikit ngambek,marah, banyak maunya. Tapi terus terang Yudis sukaa banget pada Lana yang cantik ini.
       “Ultahku yang ke 17 kan mau dirayain, Dis. Maunya aku sih semeriah mungkin. Soalnya 17 kan punya arti khusus buat cewek. Kalau kamu enggak datang, gimana dong?” Lana rajuk. Manja.
       “Kalau aku kirim kado aja gimana?” Goda Yudis.
       “Enggak lucu!” Bibirnya kembali cemberut.
“Gini aja deh, Lan. Kita rayain ultah kamu berdua aja begitu aku pulang. Light dinner deh.  I promise,” Yudis memegang tangannya.
       Lana menggeleng.
       “Enggak! Pokoknya aku ingin kamu datang. Kalau enggak, Jangan harap kamu boleh datang lagi. Bruk!” Lana membanting pintu rumahnya. Yudis terbengong-bengong di teras rumah Lana yang tertata asri.
       Duuuh, susahnya! Batin Yudis menggema. Meninggalkan rumah Lana dengan perasaan hampa.
***
       “Lana, Lana, mau kamu tuh apa sih?” Tanya Tracy bingung begitu Lana curhat ketika mereka break section pertama pemotretan.
       “Masak sih dia tega enggak datang di perta ultahku?” Mau taruh dimana wajahku? Pasti model-model kayak Mareta, Vonny, Melly, Selli, Erza, Odi, Resnu akan memandangiku iba. Kasihan banget Lana ditinggalin pacarnya di hari ultah. Yang ke 17 lagi! Tahu gini mending aku enggak punya pacar aja. Atau kalau enggak nerima lamaran Resnu yang keren dan care itu.”
       “Terus kenapa kamu enggak nerima Resnu aja?” Balas Tracy asal-asalan.
       “Feeling enggak bisa dipaksain, trac, you know?”
       “so?”
       “Sekarang terserah Yudis. Kalau sampai dia enggak datang, putus!”
       “Jadi kamu punya alasan untuk putus kan?”
       “Aku sih enggak ingin putus, Trac. Cuma kalau caranya gini, yah enggak ada jalan lain. Emangnya Cuma dia cowok yang ada di dunia ini. Masih ada Brad Pitt, anak-anak Take That yang keren-keren itu...” Tracy ngikik.
       “Sayangnya section kedua pemotretan dimulai lagi. Terpaksa Tracy dan  Lana menghentikan obrolan mereka.
***
       Untuk pesta ultahnya kali ini, Lana merencanakannya sebaik mungkin. Pikirannya sibuk oleh rencana itu. Tak tersisa satu pun untuk memikirkan Yudis yang ternyata lebih memilih ikutan Ekspedisi Alam ketimbang menghadiri pesta ultahnya.
       Tapi Lana tak peduli. Toh teman-temannya banyak. Mereka pasti akan enjoy menikmati pesta ultahnya. Seperti pesta Tracy di HRC kemarin. Tapi lana tidak suka pesta di buat di cafe. Dia ingin di rumah saja. Kebetulan dirumah nya ada kolam renang yang lumayan gede. Dia ingin mengadakan di pinggir kolam renang itu.
       Halaman belakang yang luas itu bisa di pakai jojing sepuasnya. Mereka bisa ngobrol sebebasnya dengan pesta gaya standing party. Ada dua meja besar yang berisi aneka makanan yang mama pesan dari catering-catering yang terkenal di Jakarta. Dari makanan ala Eropa, Jepang, dessert sampai makanan khas Indonesia. Pokoknya lengkap banget. Lana tak ingin mengecewakan teman-temannya.
       “Cepat, sayang, tuh temanmu udah ada yang datang,” Mama datang membantu merapihkan dandanannya. Gaun bermodel simpel warna putih ini dibelinya di butik langganan mama. Dandanan wajahnya senatural mungkin. Hmmm, Lana puas ngikik.
“Cantik anak mama,” mama mencium kedua pipinya. “Selamat ultah, sayang. Papa enggak bisa datang. Masih di Bangkok,” bisik mama lembut. Walau kecewa, Lana berusaha tersenyum manis.
       Pesta ultah yang sweet seventeen ini ternyata tak seindah yang dibayangkannya. Ketika dia akan memotong kue tar, Erza dan gank-nya datang dengan mulut bau alkohol dan gaya yang memuakan. Lalu disusul entah dengan gank siapa lagi. Tak seorang pun yang dikenalnya. Dandanan aneh dengan gaya metal. Gank Erza dan gank metal itu berantem. Entah karena urusan apa rusaklah segala. Kue tar yang indah hancur tak terbentuk, peralatan makan pecah, aneka hidangan terlempar dimana-mana. Kolam renang kotor, tanaman koleksi mama rusak. Oh , My God, Lana tak menyangka akan seperti ini!.
       Mama datang menyelamatkan Lana. Dibawanya ke dalam. Satpam kompleks datang, membubarkan anak-anak yang berantem itu. Teman-temannya pergi begitu saja. Tanpa pamit lagi. Mereka lari ketakutan.
       Tiba-tiba saja Lana jadi ingat Yudis. Dan, Tracy yang tak bisa datang karena omanya sakit. Menyesal pesta sweet seventeen berakhir seperti ini.
***
      
“Lana, udah bangun, sayang?” Mama datang dan duduk dipinggir tempat tidur. Lana mengangguk. Dari balik jendela dilihatnya Mbok Inah, Siti dan Pak Kiman sibuk membersihkan kolam, taman belakang, sisa-sisa pesta tadi malam.
       “Mama harap kamu enggak sedih. Yang penting Lana sekarang udah harus dewasa dalam menghadapi apapun. Ambil hikmah dari kejadian tadi malam. Dalam mencari teman, Lan harus milih yang baik. Enggak bisa kita lihat orang dari penampilan kulitnya aja. Mamah enggak menyangka Erza yang rapih dan kelihatan sopan itu ternyata anak yang enggak benar. Iya kan, Lan?”
       Lana mengangguk-angguk. Mama membelai rambutnya lembut. Segala kesedihan yang dirasakannya seperti pergi dengan belaian lembut itu. Ugh, untuk ada mama. Dia tidak bisa membayangkan jka mama sesibuk papa juga. Pasti nasibnya akan sama dengan Vonny yang melarikan diri kepub atau cafe karena kakurangan perhatian dan ortunya. Meneguk minuman keras, dan ngomong ngaco entah soal apa.

       “Makasih ma?” Lana membalas mencium kedua pipi mama. Mama tersenyum lembut.
       “Non, ada Den Yudis,” beritahu Mbok Inah.
       “Ma, Yudis,” katanya surprais dengan wajah berseri-seri. Mama mengangguk lalu menyuruh Mbok Inah ngambil minuman untuk Yudis. Secepat kilat Lana mandi dan dandan ala kadarnya.
       “Met ultah,”  Yudis menyodorkan beberapa tangkai bawar merah yang terbungkus dalam plastik indah.  “Dis?” Lana terbengong. Tak menyangkan Yudis akan seromantis ini.
       “Enggak usah bingung dong, Lan. Saya terpaksa pulang karena saya kangeeen banget sama gadis manja yang cantik bernama Lana.”
       “Makasih, Dis. Ini gantiin rasa sedihku karena...,” Lana menceritakan segalanya. Dengan serius, Yudis mendengarkannya.
       “Makannya, Lan, enggak usah deh pesta dibuat semewah mungkin. Biar sweet seventeen sekalipun. Yang wajar-wajar aja. Yang pentingkan makna kita merayakan ultah itu. Kalau bisa sih kita tuh intropeksi diri.
       Lana mengangguk. Setuju dengan kata-kata Yudis.
       “Kamu sih enggak pernah ngerayain ultah di gunung. Wah, suasananya nikmat banget deh, Lan. Kita bisa intropeksi diri.” Melihat begitu indahnya alam pegunungan, mendengar kicauan burung dan menghirup udara gunung yang khas, membuat ultah saya waktu itu berarti banget. Kayaknya kalau dibandingin kekuasaan Tuhan menciptakan alam yang begini indahnya, saya enggak berarti apa-apa. Kerdil!”
       “Kayaknya sayang juga ya, makanan yang udah kamu pesan dari catering-catering yang terkenal itu terbuang percuma begitu aja. Padahal kalau kamu kasih ke fakir miskin, betapa bersyukurnya mereka. Untuk makan saja mereka susah. Kamu yang hidup serba berkecukupan seharusnya...”
       “Udah deh, jangan sok tau gitu. Iya, aku tau salah kok.”
       Yudis senyum-senyum.
       “Dis, gimana kalau aku rayain sekali lagi ultahku tapi di rumah-rumah yatim piatu. Kamu setuju, enggak?"
       “Wih, setuju banget. Entar saya bantu deh... bantuin ngabisin makanannya,” Lana cemberut. Kesal. Yudis tertawa puas.
       Brengsek! Dengan ganas dia mencubit tangan Yudis tanpa ampun.

       Lana janji tak akan melepaskan cowok sebaik Yudis. Biar dandanan Yudis Cuek Bebek. Karena Yudis telah mengajarkan nilai-nilai kehidupan yang lebih baik daripada yang dianut Lana selama ini.

*****

0 komentar:

Posting Komentar