Pagi
hari adalah waktu dimana dia bisa bertemu dengan Bunda. Mereka akan
bercakap-cakap mengenai kegiatan yang akan dilakukan hari ini dan seperti biasa
Bunda akan menasehati mengenai segala hal.
Pagi
ini Bunda terlihat elegan dengan busana two pieces berwarna merah marun.
Kerudungnya bermotifkan bunga mawar dengan warna yang sama, dengan bahan dasar
berwarna krem. Bunda mengenakan sepatu tertutup dengan tali di belakangnya
berwarna beige. Hanya satu kata yang terucap: keren!
“Kamu
mau sarapan apa, Sayang? Nasi goreng, roti bakar, teh manis, susu, jus jeruk?”
“Roti
isi selai nanas dan susu,” kusebutkan keinginanku. Dengan cekatan Bunda
mengoles roti bakar dengan selai nanas dan menuangkan susu coklat ke gelas
tinggi. “Ayo, sarapan dulu. Nanti kamu terlambat!”
Aku
segera menikmati sarapanku. Bunda kulihat mengambil beberapa sendok nasi goreng
ke piringnya yang bermotif daun-daun.
“Pulang
sekolah ada kegiatan apa, Sayang?”
“Ada rapat pengurus mading
lalu les komputer. Materinya Coreldraw.”
“Good!”
Bunda tersenyum.
“Bunda, jangan lupa besok temeni aku ke
PS yah! Awas, Bunda udah janji!” ancamku setengah cemberut.
“Bunda
tidak lupa, Sayang,” lalu Bunda buru-buru menghirup teh manis hangatnya. Dia
lalu pamit. Tidak lupa mendaratkan sebuah kecupan di keningku.
Aku
segera berangkat ke sekolah. Aku pamit pada Mbok Nah. Dia pengurus rumah tangga
di rumah ini. Selain itu, Mbok Nah juga yang mengurusiku sejak kecil. Maklum,
profesi Bunda sebagai wanita karir yang memerlukan Mbok Nah sebagai pengasuh
putri tunggalnya.
“Duu,
lagi seneng yah, Non?” sapa Karin, sahabat plus teman sebangku begitu
kudaratkan pantatku ke bangku.
“Bunda
akan mengajakku ke PS besok, gimana gak seneng?”
“Oya,
Diandra, minggu lalu aku ketemu bundamu di Mulia waktu nganterin Mama ketemu
temennya di sana .
Beliau dengan klien-nya. Wah, bundamu hebat yah! Gak kayak mamaku. Kemana-mana
sukanya dasteran mulu. Boring aku ngeliatnya. Gak kayak bundamu, modis gitu!”
bibir Karin maju beberapa senti. Aku tersenyum melihatnya.
“Maklumlah,
Dra, mamaku kan
cuma ibu rumah tangga biasa. Yang diurusin cuma masakan, arisan atau gosip
selebritis. Gak kayak bundamu. Jabatannya sebagai manajer operasional di sebuah
event organizer yang paling terkenal di Jakarta .
Beliau banyak bertemu dengan orang-orang penting. Pejabat, para direktur,
selebritis…Wah, aku juga pengen kayak bundamu! Makanya kalo aku udah lulus
kuliah, aku maunya bekerja, jadi wanita karir. Keren kan ! Punya jabatan, penghasilan sendiri.
Enggak kayak mamaku. Kalo mau beli apa-apa harus nodong papaku. Harus bikin
proposal dulu. Soalnya papaku kan
penghematan sekaleee. Dia akan mengeluarkan anggaran kalo tujuannya jelas.
Nyebelin gak?” mulut Karin megap-megap kayak ikan mas koki saking emosinya
bercerita.
“Rin,
biar bagaimanapun keadaannya kamu jauh lebih beruntung dari aku. Sebagai
seorang single-fighter, Bunda benar-benar harus bekerja keras untuk menghidupi
aku anak semata-wayangnya. Sejak Ayah meninggal lima tahun yang lalu…” Mataku sudah
berkaca-kaca. Karin merengkuh tubuhku. “Udahlah, Dra, jangan sedih!”
Aku
mengangguk. Lalu kusibukkan diriku dengan beberapa pelajaran hari ini.
Matematika, Kimia dan Bahasa Indonesia. Tak kubiarkan diriku sedih mengenang
Ayah.
Malamnya
Bunda datang terlambat. Beliau harus menghadiri perjamuan yang diadakan oleh
koleganya di sebuah kafe di daerah Kemang. Aku terpaksa makan malam sendirian.
Dengan menu sop krim jagung dan mie goreng membuat acara makan malamku terasa
hambar.
Bunda
pulang ketika sebuah acara yang kunonton usai.
“Kamu
belum tidur, Sayang?” seperti biasa Bunda mengecup keningku. Aku hanya
menggeleng lesu. “Udah, sana
tidur. Besok kamu harus sekolah,” dalam keadaan apa pun Bunda terlihat tetap fresh,
tetap bersemangat.
“Ya
udah, aku tidur dulu yah, Bunda,” aku segera pamit tidur. Bunda mengangguk. Dia
lalu sibuk mengecek jendela dan pintu dan menutup semua tirai jendela.
*****
Sore
hari Bunda sudah terlihat rapi dengan setelan tunik biru muda dan jins putih
bersih. Kerudungnya motif kotak-kotak warna biru tua. Bunda mengenakan selop
sandal putih bergaya etnik.
“Sudah
siap, Sayang?” tanya Bunda tak sabar. Aku mengangguk. Seperti biasa gayaku
kasual. T-Shirt, jins belel dan sepatu keds. Aku juga ingin mengenakan kerudung
seperti Bunda. Tapi kata Bunda, aku harus melakukan berdasarkan keinginanku
sendiri. Jangan Karena terpaksa atau sekedar ikut-ikutan saja.
Aku
mengikuti langkah Bunda masuk ke mobil. Bunda yang membawa mobil sendiri.
Biasanya ada Mas Toro. Tapi supir kantor Bunda itu ijin karena ada keperluan.
“Diandra,
nanti kita ke kafe dulu yah? Bunda mau ketemu temen dulu,” ajak Bunda ketika
Bunda memarkirkan mobil di halaman parkir.
Aku
hanya mengangguk saja. Begitu sampai di sebuah kafe, seorang pria seumur Bunda
telah menunggu. Sebenarnya dia laki-laki yang tampan, tingkahnya terlihat
santun dan tidak dibuat-buat.
“Diandra,
ini teman kuliah Bunda di Amrik, namanya Hanung. Dia bekerja sebagai seorang
desain web, kamu bisa belajar dengan Om Hanung mengenai komputer,” teman Bunda
mengulaskan senyumnya. Terlihat tulus dan bersahabat.
Entah
mengapa aku tidak menyukainya. Aku tiba-tiba takut…Bunda akan meninggalkanku!
“Tri,
Dra, mau makan apa nih?” tanya Om Hanung penuh perhatian seraya menyodorkan menu list. Bunda asyik melihat-lihat
daftar menu, sedangkan aku sudah merasa tidak nyaman dengan suasana itu.
“Bun,
aku ke toko buku dulu yah?” aku bangkit dari tempat dudukku dan mengambil tas
mungil berisi ponsel, dompet dan lip gloss, icon make-up andalanku.
“Kok
gak pamit sama Om Hanung?” Bunda mendelik tak suka.
“Maaf,
Om , aku pergi dulu,” aku segera keluar dari
kafe itu dan menuju ke sebuah toko buku. Tiba-tiba ponselku bergetar. Di layar
wajah Karin muncul.
“Lagi
dimana, mbok?” sapa Karin. “Di PS,” jawabku malas.
“Kok
bete gitu sih, Dra, elo pergi ama bunda lo kan ?”
“Iya,
tapi di sebuah kafe gue dikenalin sama Om Hanung, temen kuliah Bunda waktu
Bunda kuliah di Amrik. Gue takut deh, Rin, Bunda bakal nikah ama cowok itu…”
“Diandra,
elo jangan parno gitu dong!” potong Karin. “Siapa tau kan mereka baru ketemu lagi setelah sekian
lama gak pernah ketemu.”
“Iya,
siapa tau Om Hanung itu Duren , yang tiba-tiba
aja naksir Bunda, bisa jadi kan ?”
“Tapi
yang namanya Om Hanung itu keren kan ?
Abis elo bilang Duren sih, duda keren, pasti dia
keren kan ?
Gak rugi tau punya calon ayah tiri keren….”
“Karin,
elo bikin gue tambah bete tauk!” Diandra langsung menutup ponselnya. Wajah
Karin menghilang, berganti dengan kekesalan yang memuncak di hati Diandra.
0 komentar:
Posting Komentar