Selasa, 16 September 2014

Janji Bunda



        Pagi hari adalah waktu dimana dia bisa bertemu dengan Bunda. Mereka akan bercakap-cakap mengenai kegiatan yang akan dilakukan hari ini dan seperti biasa Bunda akan menasehati mengenai segala hal.
        Pagi ini Bunda terlihat elegan dengan busana two pieces berwarna merah marun. Kerudungnya bermotifkan bunga mawar dengan warna yang sama, dengan bahan dasar berwarna krem. Bunda mengenakan sepatu tertutup dengan tali di belakangnya berwarna beige. Hanya satu kata yang terucap: keren!
        “Kamu mau sarapan apa, Sayang? Nasi goreng, roti bakar, teh manis, susu, jus jeruk?”
        “Roti isi selai nanas dan susu,” kusebutkan keinginanku. Dengan cekatan Bunda mengoles roti bakar dengan selai nanas dan menuangkan susu coklat ke gelas tinggi. “Ayo, sarapan dulu. Nanti kamu terlambat!”
        Aku segera menikmati sarapanku. Bunda kulihat mengambil beberapa sendok nasi goreng ke piringnya yang bermotif daun-daun.
        “Pulang sekolah ada kegiatan apa, Sayang?”
        “Ada rapat pengurus mading lalu les komputer. Materinya Coreldraw.”
        “Good!” Bunda tersenyum.
        “Bunda, jangan lupa besok temeni aku ke PS yah! Awas, Bunda udah janji!” ancamku setengah cemberut.
        “Bunda tidak lupa, Sayang,” lalu Bunda buru-buru menghirup teh manis hangatnya. Dia lalu pamit. Tidak lupa mendaratkan sebuah kecupan di keningku.
        Aku segera berangkat ke sekolah. Aku pamit pada Mbok Nah. Dia pengurus rumah tangga di rumah ini. Selain itu, Mbok Nah juga yang mengurusiku sejak kecil. Maklum, profesi Bunda sebagai wanita karir yang memerlukan Mbok Nah sebagai pengasuh putri tunggalnya.
        “Duu, lagi seneng yah, Non?” sapa Karin, sahabat plus teman sebangku begitu kudaratkan pantatku ke bangku.
        “Bunda akan mengajakku ke PS besok, gimana gak seneng?”
        “Oya, Diandra, minggu lalu aku ketemu bundamu di Mulia waktu nganterin Mama ketemu temennya di sana. Beliau dengan klien-nya. Wah, bundamu hebat yah! Gak kayak mamaku. Kemana-mana sukanya dasteran mulu. Boring aku ngeliatnya. Gak kayak bundamu, modis gitu!” bibir Karin maju beberapa senti. Aku tersenyum melihatnya.
        “Maklumlah, Dra, mamaku kan cuma ibu rumah tangga biasa. Yang diurusin cuma masakan, arisan atau gosip selebritis. Gak kayak bundamu. Jabatannya sebagai manajer operasional di sebuah event organizer yang paling terkenal di Jakarta. Beliau banyak bertemu dengan orang-orang penting. Pejabat, para direktur, selebritis…Wah, aku juga pengen kayak bundamu! Makanya kalo aku udah lulus kuliah, aku maunya bekerja, jadi wanita karir. Keren kan! Punya jabatan, penghasilan sendiri. Enggak kayak mamaku. Kalo mau beli apa-apa harus nodong papaku. Harus bikin proposal dulu. Soalnya papaku kan penghematan sekaleee. Dia akan mengeluarkan anggaran kalo tujuannya jelas. Nyebelin gak?” mulut Karin megap-megap kayak ikan mas koki saking emosinya bercerita.
        “Rin, biar bagaimanapun keadaannya kamu jauh lebih beruntung dari aku. Sebagai seorang single-fighter, Bunda benar-benar harus bekerja keras untuk menghidupi aku anak semata-wayangnya. Sejak Ayah meninggal lima tahun yang lalu…” Mataku sudah berkaca-kaca. Karin merengkuh tubuhku. “Udahlah, Dra, jangan sedih!”
        Aku mengangguk. Lalu kusibukkan diriku dengan beberapa pelajaran hari ini. Matematika, Kimia dan Bahasa Indonesia. Tak kubiarkan diriku sedih mengenang Ayah.
        Malamnya Bunda datang terlambat. Beliau harus menghadiri perjamuan yang diadakan oleh koleganya di sebuah kafe di daerah Kemang. Aku terpaksa makan malam sendirian. Dengan menu sop krim jagung dan mie goreng membuat acara makan malamku terasa hambar.
        Bunda pulang ketika sebuah acara yang kunonton usai.
        “Kamu belum tidur, Sayang?” seperti biasa Bunda mengecup keningku. Aku hanya menggeleng lesu. “Udah, sana tidur. Besok kamu harus sekolah,” dalam keadaan apa pun Bunda terlihat tetap fresh, tetap bersemangat.
        “Ya udah, aku tidur dulu yah, Bunda,” aku segera pamit tidur. Bunda mengangguk. Dia lalu sibuk mengecek jendela dan pintu dan menutup semua tirai jendela.
*****

        Sore hari Bunda sudah terlihat rapi dengan setelan tunik biru muda dan jins putih bersih. Kerudungnya motif kotak-kotak warna biru tua. Bunda mengenakan selop sandal putih bergaya etnik.
        “Sudah siap, Sayang?” tanya Bunda tak sabar. Aku mengangguk. Seperti biasa gayaku kasual. T-Shirt, jins belel dan sepatu keds. Aku juga ingin mengenakan kerudung seperti Bunda. Tapi kata Bunda, aku harus melakukan berdasarkan keinginanku sendiri. Jangan Karena terpaksa atau sekedar ikut-ikutan saja.
        Aku mengikuti langkah Bunda masuk ke mobil. Bunda yang membawa mobil sendiri. Biasanya ada Mas Toro. Tapi supir kantor Bunda itu ijin karena ada keperluan.
        “Diandra, nanti kita ke kafe dulu yah? Bunda mau ketemu temen dulu,” ajak Bunda ketika Bunda memarkirkan mobil di halaman parkir.
        Aku hanya mengangguk saja. Begitu sampai di sebuah kafe, seorang pria seumur Bunda telah menunggu. Sebenarnya dia laki-laki yang tampan, tingkahnya terlihat santun dan tidak dibuat-buat.
        “Diandra, ini teman kuliah Bunda di Amrik, namanya Hanung. Dia bekerja sebagai seorang desain web, kamu bisa belajar dengan Om Hanung mengenai komputer,” teman Bunda mengulaskan senyumnya. Terlihat tulus dan bersahabat.
        Entah mengapa aku tidak menyukainya. Aku tiba-tiba takut…Bunda akan meninggalkanku!
        “Tri, Dra, mau makan apa nih?” tanya Om Hanung penuh perhatian seraya menyodorkan menu list. Bunda asyik melihat-lihat daftar menu, sedangkan aku sudah merasa tidak nyaman dengan suasana itu.
        “Bun, aku ke toko buku dulu yah?” aku bangkit dari tempat dudukku dan mengambil tas mungil berisi ponsel, dompet dan lip gloss, icon make-up andalanku.
        “Kok gak pamit sama Om Hanung?” Bunda mendelik tak suka.
        “Maaf, Om, aku pergi dulu,” aku segera keluar dari kafe itu dan menuju ke sebuah toko buku. Tiba-tiba ponselku bergetar. Di layar wajah Karin muncul.
        “Lagi dimana, mbok?” sapa Karin. “Di PS,” jawabku malas.
        “Kok bete gitu sih, Dra, elo pergi ama bunda lo kan?”
        “Iya, tapi di sebuah kafe gue dikenalin sama Om Hanung, temen kuliah Bunda waktu Bunda kuliah di Amrik. Gue takut deh, Rin, Bunda bakal nikah ama cowok itu…”
        “Diandra, elo jangan parno gitu dong!” potong Karin. “Siapa tau kan mereka baru ketemu lagi setelah sekian lama gak pernah ketemu.”
        “Iya, siapa tau Om Hanung itu Duren, yang tiba-tiba aja naksir Bunda, bisa jadi kan?”
        “Tapi yang namanya Om Hanung itu keren kan? Abis elo bilang Duren sih, duda keren, pasti dia keren kan? Gak rugi tau punya calon ayah tiri keren….”

        “Karin, elo bikin gue tambah bete tauk!” Diandra langsung menutup ponselnya. Wajah Karin menghilang, berganti dengan kekesalan yang memuncak di hati Diandra.

0 komentar:

Posting Komentar