Nayla menatap senja dari balik jendela kamarnya. Senja kali
ini berwarna biru keabu-abuan. Tampaknya sebentar lagi hujan akan turun. Nayla
bersyukur. Dia selalu menyukai suasanana hujan. Sejak dulu.
Tak
sengaja, matanya menatap kalender yang berada di samping jendela, 27 Mei 2014.
Betapa cepat hari-hari berganti. Rasanya baru kemarin dia sibuk menyusun bab
demi bab skripsinya. Mempersiapkan sidang, wisuda lalu menerima tawaran untuk
menjadi tenaga pengajar di kampusnya. Betapa cepat waktu berlalu. Tak terasa
hampir sepuluh tahun. Berapa banyak yang sudah dia lakukan dalam kurun satu dasa
itu?
Menyelesaikan
pendidikan strata dua yang diperolehnya dari sebuah perguruan tinggi negeri di
Jakarta dalam bidang sistem informasi. Hari-harinya selalu dipadati dengan mengajar,
mengadakan penelitian atau sekedar mendengarkan curahan hati dari para
mahasiswanya.
Nayla
seorang pendengar yang baik. Dia selalu dapat menyediakan waktu yang tersisa
itu untuk mahasiswa-mahasiswanya. Mencarikan jalan keluar dari masalah yang
mereka hadapi. Dari keuangan, akademik, kampus sampai masalah pribadi. Tidak
sedikit dari mereka sudah menikah, sehingga mereka sering sharing tentang kehidupan rumah tangga mereka.
Dari
cerita-cerita mereka, kadang menimbulkan keinginannya untuk menikah. Kadang dia mengkhayal, seperti apa rasanya menikah, punya
keluarga. Suaminya pasti seorang laki-laki yang tampan, smart dan sabar. Apakah dia bertubuh jangkung, berkulit putih
bersih dengan wajah kejawa-jawaan? Seperti Irgi...kah?
Tiba-tiba lamunannya mengarah pada
sesosok laki-laki muda, yang telah menemani hari-harinya selama ini. Sepuluh
tahun? Tanpa sadar Nayla menggeleng, betapa lamanya. Betapa kuatnya dia
memendam perasaannya selama ini.
Dia dan Irgi bersahabat mulai dari
hari pertama mereka masuk kuliah di sebuah perguruan tinggi swasta di daerah
Margonda, Depok. Mulanya, Bu Kristin menugaskan mereka untuk mengkoordinir
kegiatan belajar mengajar di kelas
mereka. Entah yang berkaitan dengan tugas, diktat kuliah, pendaftaran ulang
awal semester, pengumpulan Kartu Rencana Studi, pembagian Daftar Nilai, penjadwalan
Semester Pendek dan lain-lain.
Tadinya Nayla tidak menyadari bahwa
perasaannya telah berubah terhadap Irgi. Betapa selama ini dia terkesan dengan
kebaikan, perhatian dan ketulusan Irgi padanya.
Nayla tidak pernah berani bertanya
sedikit pun tentang perasaan Irgi terhadapnya, yang dia tahu bahwa Irgi tidak
menyukai wanita berumur lebih tua darinya. It’s
fact, umurnya dua tahun lebih tua dari Irgi. Karena itu dia tidak pernah
berani berharap. Menanam asa pada laki-laki Jawa itu. Kalaupun Irgi
menyayanginya, Nayla tahu, itu tidak lebih dari sekedar sahabat.
Di usianya yang tidak muda lagi, terkadang
terbesit keinginan untuk memiliki sebuah keluarga. Memiliki sepasang anak yang
lucu-lucu. Laki-laki dan perempuan. Pasti mereka setampan ayah dan secantik
ibunya. Walau Nayla sering menempis
keinginannya itu. Dia sadar, Tuhan belum berkenan memberikan pendamping
hidupnya hingga detik ini. Dari sekian banyak keberkahan dan kemudahan yang
Tuhan telah berikan padanya, hanya satu kekurangannya menjadi seorang wanita,
yaitu menjadi istri dan ibu yang baik untuk anak-anaknya.
Hingga
usianya diambang 32 tahun, dia masih betah melajang. Sementara kedua adiknya telah
‘menghadiahkan’ cucu-cucu yang lucu untuk kedua orang tuanya. Nayla menerima
semuanya dengan ikhlas. Karena dia menyadari, inilah jalan kehidupan yang harus
dia jalani.
Untunglah
orang tuanya tidak pernah memaksanya untuk segera menikah. Mereka membiarkan
Nayla untuk memilih jalan hidupnya sendiri. Mereka hanya menginginkan Nayla
bahagia. Hanya itu.
Bahagiakah
dia? Nayla tergelitik dengan pertanyaan batinnya. Sambil memandangi suasana
senja yang makin redup dan dihiasi rintik-rintik hujan, dia membiarkan pikirannya
menerawang kemana-mana.
Sejujurnya
dia bahagia. Dia memiliki kehidupan yang mapan. Rumah mungil, kendaraan roda
empat yang dibelinya secara kredit dan karirnya sebagai seorang dosen yang
menjanjikan. Dia bersyukur, selama dia kuliah hingga kini, dia merasa tidak
pernah menyusahkan orang tuanya. Ketika kuliah, dia sudah hidup mandiri dengan
bekerja sambil kuliah. Begitu lulus, dia langsung bekerja. Melanjutkan
pendidikan ke S2 pun gratis. Beasiswa pemerintah.
Suara adzan Maghrib menyadarkan
lamunan panjangnya. Di luar, suasana semakin redup. Semakin muram. Senja telah
pergi. Hujan turun semakin lebat. Angin malam menusuk-nusuk kulitnya yang putih
bersih. Nayla bergegas menutup jendelanya.
Suatu malam Nayla bermimpi.
Dalam mimpinya, Nayla mendapatkan seorang bayi laki-laki
yang lucu. Kulitnya putih bersih, wajahnya tampan seperti…Irgi. Tangannya yang
mungil melambai-lambai ke arahnya. Seperti memanggilnya. Nayla ingin menggendongnya.
“Bayinya minta digendong, Bu,” seorang perawat menyodorkan
bayi mungil itu ke hadapannya.
“Tapi tubuh saya masih lemah, Mbak,” Nayla menolak dengan
perasaan iba melihat bayi itu, yang terlihat kehausan minta minum darinya.
“Biar saya gendong, Mbak,” seseorang datang menawarkan
bantuan. Ketika Nayla menoleh, mencari sumber suara tadi. Ternyata…Irgi.
Laki-laki itu…Tuhan, apakah Engkau telah ‘menyulap’ umurku dua tahun lebih muda darinya hingga Irgi berkenan melamarku
menjadi istrinya?
Selama ini dia berharap agar suatu
saat Irgi akan melamarnya. Walau dia menyadari, Irgi tidak menyukai wanita yang
lebih tua darinya. Menyadari itu membuat hatinya sedikit terluka, namun dia
belum dapat menghapus bayang-bayang Irgi dalam kehidupannya.
Di mimpi yang lain, Nayla merayakan
ulang tahun si kecil bersama Irgi di sebuah pesantren bersama para santri. Si
kecil terlihat bahagia meniup tiga buah lilin di atas kue ulang tahunnya
berbentuk tokoh angry bird. Irgi
mengecup pipi montoknya. Nayla tersenyum sumringah menggendong buah hatinya.
Malam yang lain, Nayla kembali bermimpi.
Mereka sedang berada di sebuah taman bunga yang indah.
Berbagai jenis bunga memenuhi hampir seluruh isi taman itu. Bunga mawar,
krisan, tulip, anyelir, alamanda, sedap malam dan lain-lain. Warnanya
indah-indah, membuat Nayla ingin memetik salah satunya.
Nayla menggandeng tangan seorang anak laki-laki. Tanpa terasa bayi itu telah berusia 6 tahun. Dia laki-laki yang sangat tampan. Berambut ikal, hidung
mancung, bibir tipis dan berkulit putih bersih. Dan di sebelahnya, Irgi memeluk
bahunya erat. Mereka berjalan beriringan. Menikmati suasana taman yang indah.
Tiba-tiba gerimis datang. Mereka berlarian menyelamatkan
diri. Hujan turun makin lebat. Nayla tak dapat melihat dengan jelas
pandangannya. Putranya menghilang, tak dalam genggaman tangannya. Nayla
mendengar putranya memanggil-manggil namanya. Nayla mencoba mencarinya, namun
yang terlihat hanya rinaian hujan yang menari-nari.
“Nayla, cari anak kita!” terdengar teriakan suara Irgi.
Nayla lalu terbangun.
Nayla
mencoba mencari jawaban atas mimpinya akhir-akhir ini. Dia membaca pada sebuah
buku. Buku itu mengatakan bahwa mimpi adalah refleksi dari harapan-harapan yang
kita simpan selama ini. Sedalam apa pun kita menyimpannya, namun asa itu selalu
ada. Seikhlas apa pun kita menerima kenyataan yang ada, namun keinginan itu
selalu membayangi hari-hari kita.
Nayla
termenung. Mencoba mencerna kalimat-kalimat itu.
Tidak bisa dipungkiri bahwa dia kesepian. Pencapaian yang
sudah dia raih dalam hidupnya ternyata tidak bisa mengisi kekosongan batinnya.
Lumrah, karena dia seorang wanita biasa yang tetap ingin bahagia dalam
hidupnya. Dan kebahagiaan itu dapat diraihnya dengan memiliki seorang suami
yang menyayanginya dan tentu saja buah hatinya yang dapat mewarnai
hari-harinya.
Namun
jika Tuhan belum berkenan memberinya jodoh, apakah dia harus meratapi
terus-menerus kesedihannya? Selalu berharap jika suatu saat Irgi akan datang
melamarnya, kemudian mereka menikah dan memiliki sepasang anak yang lucu-lucu?
Nayla
menghela nafasnya berat. Disibaknya tirai yang menutupi jendela kamarnya. Pagi
yang cerah. Mentari telah bersinar terang. Nayla bergegas bangun dan memulai
aktivitasnya.
Begitu tiba di kampus, Nayla memasuki ruang
dosen dan duduk di meja kerjanya. Ponselnya memberikan sinyal sebuah pesan masuk.
Nayla membuka ponselnya.
Nay, nanti malam
kujemput. Dandan yang cantik ya, see you later. Irgi
mengajaknya makan malam di sebuah restoran Italia di daerah Menteng.
Nayla membuka laptopnya. Ada pekerjaan yang harus diselesaikan. Namun Nayla malah termenung di depan laptopnya.
Akhir-akhir ini mereka jarang pergi bersama.
Walau sebelumnya, hampir setiap minggu, Irgi selalu berkunjung ke kampus atau
ke rumahnya. Mereka bekerja di kampus yang berbeda. Nayla di kampus
almamaternya sedangkan Irgi diterima sebagai dosen di sebuah perguruan tinggi
negeri. Walau kedua kampus itu hanya berjarak beberapa kilometer saja, namun
karena kesibukan, mereka jarang bertemu. Mereka
jarang lunch atau dinner bersama. Namun, seperti biasa Nayla selalu menunggu kehadiran laki-laki Jawa itu.
Nayla
berdandan secantik mungkin. Dia mengenakan gaun malam berwarna merah marun
dengan model simpel. Rambutnya yang sebahu diikat buntut kuda, memperlihatkan
lehernya yang jenjang. Dandanannya sederhana, namun tidak mengurangi
kecantikannya.
Dikenakan
kalung bermata safir dengan warna yang senada dengan gaunnya. Terlihat kontras
dengan giwang mutiara mungil berwarna putih tulang. Tas kepit hitam sepadan
dengan sepatu berhak tinggi dengan warna yang sama.
Irgi
terpaku. Pandangannya tak lepas dari sosok wanita di hadapannya, membuat Nayla
tersipu-sipu. Lalu mereka memesan makanan khas Italia.
“Nayla,
mungkin ini pertemuan kita yang terakhir,” suara Irgi memecahkan kesunyian
diantara mereka. Sebuah tembang lembut menemani acara makan malam itu.
Nayla
mengangkat gelas tingginya. Diteguk sedikit isinya. Dia mencoba tenang.
Ditunggunya kata-kata Irgi berikutnya.
“Aku harus
pergi. Kedutaan Inggris menawariku beasiswa S3 dengan komitmen aku harus bekerja di sana
selepas kuliah. Karena itu aku mengajakmu ke sini, entah sebagai acara perpisahan kita atau…,” kali ini Irgi yang meneguk
minumannya. Dipandanginya Nayla sebentar, sebelum melanjutkan kalimat berikutnya.
“Setelah
bertahun-tahun kita bersahabat, aku hanya ingin berterima kasih kepadamu, bahwa
kau telah bersedia menjadi sahabatku selama ini. Bersedia mendengar ceritaku,
masalahku dan menemani hari-hariku. Bertahun-tahun. Bukan waktu yang sebentar,
tapi kau telah berhasil menjadi sahabatku yang paling baik, Nayla.”
Nayla
terdiam. Pandangannya terpaku pada isi gelasnya yang berwarna putih keperakan.
Kalau itu racun, mungkin dia akan meneguknya sampai habis. Agar dia dapat
bermimpi lagi. Bermimpi tentang taman yang indah. Bermimpi tentang seorang anak
laki-laki yang tampan.
Suara Irgi
makin terdengar samar-samar. Yang terdengar kemudian adalah sebuah tembang
lembut yang membuaikan telinga Nayla.
Kali ini
Nayla tersenyum. Entah pada siapa. Dan untuk apa senyuman itu. Mungkin untuk
menandakan bahwa dia telah mengetahui arti mimpinya selama ini. Bahwa dia harus
segera melupakan Irgi. Melupakan impiannya?
Namun tiba-tiba terdengar suara
Irgi yang lembut, menatapnya penuh mesra. “Nayla, maukah
kau menikah denganku? Aku sadar bahwa aku tidak bisa berpisah denganmu. Aku
baru menyadari bahwa selama ini aku mencintaimu. Selama ini aku bodoh, sudah
menyia-nyiakan kebaikan hatimu. Nayla, maafkan aku,” Irgi menggenggam tangannya
erat. Nayla tertegun, mengangkat wajah cantiknya dan memandangi wajah tampan di
depannya. Oh, Tuhan...apakah ini hanya mimpi? Tanpa sadar Nayla mencubit
lengannya, sakiiit...
Nayla
membalas menatap wajah tampan di depannya. Tanpa kata-kata apapun, dia yakin
Irgi sudah tahu jawabannya.
0 komentar:
Posting Komentar