Senin, 22 September 2014

Jiwa-Jiwa Melayang





Ben bergegas berdiri dan turun tepat di depan sekolahnya yang baru. Suasana STM Kusuma bangsa sudah ramai oleh para murid yang mayoritas kaum  cowok. Ben mendekati papan pengumuman pembagian kelas.
“Kelas I-1,” eja Ben bangga.
“Dapat di kelas mana?” Seseorang menyerobot kerumunan itu dan berdiri tepat di sampingnya. Ben menoleh. Seorang cowok bertampang indo, jangkung dan keren tersenyum ramah padanya.
“Kelas I-1.” Jawab Ben malas. Lalu meninggalkan kerumunan itu, pergi mencari kelasnya.
Belum banyak yang datang. Ben bergegas mencari tempat duduk paling belakang. Dengan tak peduli dia mengeluarkan kumpulan komik silat yang dia pinjam dari Bang Ali.
“Hei, sekelas kita rupanya ?” Ben mengangkat wajah. Dilihatnya si indo tampan. Dia tersenyum ramah. Ben membalas ala kadarnya.
“Boleh aku duduk di sini?” Si indo menunjukkan bangku yang masih kosong di sampingnya. Ben cuma mengangguk. Seperti tidak peduli dengan cowok keren itu.
Lima menit kemudian, Ben menangkap gerakan lincah memasuki kelas. Sosok mungil dengan wajah manis, rambut bob pendek, kacamata frame putih mungil dan tas ransel kulit, seakan menyita perhatiannya.
“Manis memang,” makhluk di sampingnya sibuk berdehem. Ben tersenyum kesal.
“Kita belum kenalan,” si indo menyodorkan tangan yang terawat begitu apik. Ben mencibir. Cowok model apa dia itu?. Tapi tak urung Ben membalas menjabat tangan.
“Fey,” dia menyebut namanya
“Ben,” jawabnya acuh tak acuh
Ben tidak menyangka si apik itu ternyata pintar. Setiap soal yang dilemparkan guru-guru baru mereka, Fey dapat mengerjakan dengan baik. Diam-diam Ben kagum. Karena walau pintar. Fey tidak sombong. Dengan senang hati dia membantu teman baru mereka yang kesulitan belajar.
“Pulang bareng, yuk, rumah kita searah kan?” ajak Fey setelah selesai memasukkan buku-buku ke tas ransel Adidas-nya dengan rapih.
“Makasih. Aku biasa ngebis.” Ben asal-asalan memasukkan  buku-buku ke tas ransel bututnya. Lalu pergi tanpa pamit meninggalkan Fey.
Di dekat pintu kelas, tubuh jangkung nya hampir menabrak tubuh mungil yang terburu-buru masuk kelas.
“Maaf.” Wajah polos itu merasa bersalah. Ben cuma senyum sedikit, memaafkan lalu pergi begitu saja seperti tidak ada kejadian apa-apa.
Setengah kecewa sisi melepas kepergian cowok itu. Padahal sisi suka melihat wajah dingin itu. Entah mengapa seperti ada yang menarik dalam dirinya.
“ada yang ketinggalan, kok balik lagi?” sapa Fey ramah.
“buku saya.” Sisi tersenyum malu.
“hati-hati, jangan ada yang ketinggalan lagi.” Nasehatnya penuh perhatian. Sisi mengangguk.
Fey mengajaknya pulang bareng tapi Sisi menolak karena telah dijemput oleh supirnya. Dalam mobil, Sisi sibuk melamun. Seandainya cowok dingin tadi yang mengajaknya pulang bareng, naik bus juga Sisi rela.
Tapi ahhh, cowok itu terlalu acuh. Sisi mengedarkan pandangannya ke luar jendela. Berharap menemukan Ben di dalam bus. Tapi dia kecewa, entah ke mana perginya tubuh jangkung itu.
Ben tidak menanggapi surat panggilan mengenai SPP dari petugas tata usaha. Ibunya belum berhasil meminjam uang dari Bu Magdalena, rentenir itu.
Surat panggilan ketiga datang. Ben terpaksa ke kantor tata usaha untuk menjelaskan keadaan yang sebenarnya,
“SPP-mu sudah dibayar tiga bulan berturut-turut,” kata Pak Tohir sambil membuka buku besar yang memuat data-data pembayaran SPP.
“Tapi kartu SPP-nya ada di saya, Pak.” Bantah Ben bingung.
“Sudah dibayar atas nama Martinus Feyanto.”
Ben melangkah lesu menuju kelas. Kini dia merasa berhutang budi pada teman sebangkunya. Ketika sampai kelas, dilihatnya cewek mungil itu tengah asyik bercanda dengan Fey.
Ben sempat melihat kebahagiaan yang ketara dari wajah keren itu. Diam-diam Ben mengeluh. Ben tahu Fey jatuh hati pada Sisi.
“Darimana?” tanya Fey setelah Sisi pamit ke perpustakaan dengan Oki.
“Kantor tata usaha.” Wajah Ben dingin.
“Maaf, Ben, aku tidak bermaksud mencampuri urusanmu. Sumpah, niatku baik kok, cuma ingin menolongmu. Keberatan?”
Ben diam. Dia tahu sekali utang tetap utang. Tapi bagaimana lagi. Sudah syukur Fey mau menolongnya.
“Kita pulang bareng, Ben.”
“Ke mana Starlet-mu?” wajah Ben heran. Dia tengah meneliti gambar proyeksinya yang sudah dinilai Pak Bas.
“Masuk bengkel.” Fey menjejeri langkah Ben.
“aku akan membiasakan diri naik bus. Anak masih bau kencur seperti aku rasanya tak wajar membawa mobil mengkilat ke sekolah. Rasanya terlalu pamer dan membuat perbedaan yang mencolok dengan yang lain.”
“Kuat kau naik bus.” Ledek Ben. Fey senyum. Tidak biasanya Ben tersenyum selebar itu.
Bus yang mereka tumpangi tidak terlalu penuh oleh penumpang. Sehingga mereka leluasa mengobrol di bangku belakang. Tapi tak lama kemudian segerombolan anak SMA naik dan terjadilah keributan yang tidak mereka inginkan.
“Lu berdua anak STM ya, yang kemarin bikin gara-gara, teman gue tuh masuk rumah sakit…”
Belum sempat Fey menjawab, seorang dari mereka menghantam pipi kiri Fey.
Ben langsung berdiri dan memukul punggung anak itu. Anak yang lain menghantam Ben dari belakang, Ben terjatuh.
Suasana bus berubah kacau balau. Anak-anak itu semakin beringas. Sopir kenek bus dan semua penumpang turun menyelamatkan diri.
Fey dan Ben terus mencoba mencoba melindungi diri dengan mengandalkan pertahanan dan serangan balasan. Ben sempat kagum karena ternyata Fey jago karate.
Seorang anak bertopi nekad menghunuskan pisau ke perut Fey. Nyaris saja benda itu menyentuh perut Fey. Ben dengan sigap menendang pisau. Tapi anak lain memukul punggungnya dengan keras.
Begitu ada kesempatan, Fey menarik dan menyeret tubuh Ben keluar dari bus. Sambil menuntun Ben yang sudah tak berdaya, fey berlari mencari taksi. Untunglah tak lama kemudian aparat keamanan datang.
Fey mengantarkan Ben pulang.
Selama hampir lima bulan mereka bersahabat, sungguh baru kali ini Fey tahu keadaan Ben yang sebenarnya.
Rumah Ben sangat sederhana berhimpit-himpit dengan rumah kecil yang lokasinya tak sehat. Mereka melewati sungai yang airnya keruh dan baunya memualkan perut Fey.
“Kenapa, Ben?” Seorang ibu berumur 40-an buru-buru menyongsong. Ben tak dapat berkata apa-apa. Mulutnya cuma bisa mengaduh-aduh.
“Las, Lastri, tolong ambilkan air hangat dan betadine untuk kakakmu.”
Tak lama kemudian seorang gadis yang masih mengenakan seragam putih-biru keluar membawakan semua suruhan ibunya.
Ben ditidurkan di bale-bale di ruang tamu berukuran kecil yang diisi beberapa kursi sederhana dan meja kayu. Selain itu Fey hanya melihat sebuah tv tua di atas bufet kecil di ruangan itu.
“Bu, ada yang mau beli gado-gado,” adik Ben menyela suara ibunya yang tengah sibuk menasehati Ben.
“Ya, sebentar…,” ibunya merapikan letak bantal. “Nak mau makan siang di sini?” tawarnya ramah sebelum ke luar.
“Terima kasih, Bu. Saya pamit saja,”
“Te-te-terima kasih, Fey,” kata Ben susah payah.
Fey menggeleng.
“aku sudah hutang nyawa padamu dan itu amat penting.”
Ben mencoba tersenyum tulus
Berita itu amat menggemparkan seluruh isi sekolah. Fey tersental dan hampir kalap memukul-mukul tembok kantin hingga tangannya nyaris berdarah.
Sisi cemas melihat keadaan Fey. Namun tak urung sudut matanya basah. Dia mencoba memejamkan mata, tapi yang hadir malah bayangan Ben.
Ben telah menarik hatinya, tapi sayang Ben terlalu cuek hingga Sisi tak berhasil menarik perhatiannya. Ben terlalu dingin. Terkesan angkuh.
Tapi siapa sangka kini si angkuh tewas oleh sebuah tawuran. Ya tawuran! Ya, Allah! Sisi menarik napas dalam-dalam. Wajahnya yang kini telah kuyup oleh air mata.
“Aku harus membalas dendam, Si.” Mata itu berubah garang. Tak ada lagi kesan ramah dan lemah lembut. Sisi sampai bergidik melihatnya.
“Tidak ada gunanya, Fey. Tawuran lalu membawa korban. Apa kematian harus dibalas kematian? Apa kaupikir dengan balas dendam itu akan membuat Ben hidup kembali?”
“Dulu Ben juga pernah berkata begitu, Si. Kau tahu sebenarnya aku hutang nyawa. Ben pernah beberapa kali menyelamatkan jiwaku dari amukan tawuran itu,” wajah Fey terlihat amat sedih. Sisi menggigit bibir hingga pedih. Menahan kesedihan yang sama.
Sungguh, Fey tak rela Ben pergi secepat itu. Rasanya Ben lebih berhak mengecap masa mudanya lebih panjang. Kalau saja kemarin Ben tidak menunggu sampai hujan berhenti dan tidak ketiduran di masjid sekolah mungkin dia tidak mengalami kejadiaan naas seperti itu.
Tapi Ben terlambat pulang. Dia naik bus yang agak sepi penumpang dan terjebak tawuran yang tiba-tiba hadir di bus itu di depan sebuah sekolah. Supir, kenek bus dan penumpang yang lain hanya bisa menyelamatkan diri.
Ben terlambat untuk menyelamatkan diri. Dia terkepung dalam bus. Dan segerombolan anak sekolah itu dengan buas mengahantamnya berkali-kali. Ben tak berhasil mempertahankan diri ketika sebuah benda berat menghantam kepalanya. Darah bercucuran dari kepalanya.
Polisi menemukan dia sudah tak bernyawa. Gerombolan anak itu ditahan dan konon akan diadili.
Fey tidak mengerti ketika Sisi menangis tersedu-sedu saat memandang tubuh beku Ben.
“Si, tenanglah,” hibur Fey tak berdaya.
Sisi masih saja menangis tersedu-sedu.
“Sebetulnya Ibu tidak setuju Ben sekolah di STM. Ibu ngeri mendengar berita perkelahian antara anak-anak itu. Tapi ibu tahu Ben anak baik. Dia tidak pernah terlibat apa-apa. Tapi kasihan nasibnya malang.”
Fey melihat wajah tua itu sarat akan kepedihan.
“Orangtua dari anak-anak yang terlibat datang ke sini. Menyodorkan secarik kertas dan meminta Ibu menandatangani seraya menyebutkan sejumlah uang. Ibu tak mengerti segitu rendahkah harga sebuah nyawa?” Ibu Ben kini menangis. Airmatanya meleleh ke pipi.
Pemakaman itu telah sepi. Cuma ada Fey yang sibuk berdialog dalam batinnya. Dia tidak rela Ben pergi secepat itu. Dia menyayangi Ben bagaikan saudaranya sendiri.
Dengan mata basah, Fey membolak-balik buku harian Ben. Fey tidak menyangka Ben ternyata mempunyai catatan hati. Rasanya baru kali ini tabir yang menyelubungi Ben terungkap.
Ben menjadi anak acuh tak acuh karena rasa minder yang melihatnya dari kecil. Karena kecerdasan Ben selalu diterima di sekolah yang terbaik. Di sekolah seperti itu Ben kerap kali menemukan kehidupan yang gemerlap milik teman-temannya.
Ben sadar siapa dirinya. Dia tak pernah mempunyai bapak, ibunya cuma penjual gado-gado dan Lastri, saudara satu-satunya. Selain itu dia tak punya siapa-siapa di dunia ini. Jangankan sahabat, teman saja cuma untuk bersapa ala kadarnya.
Karena itu dia merasa hari-harinya berubah nuansa sejak mengenal Fey dan pertama kali bertemu Sisi. Sungguh Fey sama sekali tidak menyangka jika diam-diam Ben menyukai gadis mungil yang manis itu.
Mata Fey basah. Napasnya terisak-isak menahan kepedihan.
Fey melihat tawuran lagi di depan sebuah SMA negeri. Fey tanpa kontrol diri turun dari bus. Seorang anak babak belur di hantam segerombolan anak sekolah. Fey seperti melihat Ben.
Fey menerobos gerombolan dan menyelamatkan anak itu yang tak berdaya lagi. Tapi mereka malah mengepungnya dan mengadakan serangan balas.
Seorang anak nekad mengeluarkan pisau dari ranselnya. Fey bergidik. Mencoba memasang kuda-kuda, tapi anak itu dengan liar menghujamkan pisau ke perutnya. Fey menghindar dan hup, untung pisau itu terjatuh.
Fey berhasil menginjak pisau itu. Tapi anak tadi malah bernapsu dan mencoba mengambil pisau itu lagi dengan menendang perut Fey. Pertahanannya lumpuh ketika seorang anak menghantam punggung dengan keras.
Fey terjatuh. Dirasakannya kepedihan yang amat sangat. Tapi dia tak peduli. Bayangan wajah Ben bagai menari-nari di matanya membuat dia bertahan.
Fey berhasil memungut pisau itu. Anak yang lain bernapsu merebutnya. Tapi sekonyong-konyong serangan datang. Fey tak kuat lagi. Pertahanannya lumpuh.
Darah bercecer ke mana-mana. Fey membelalakkan mata tak percaya. Jeritannya lalu menggema. Tapi pisau di tangannya telah berubah warna. Dan anak di depannya terjatuh dengan segudang makian kemudian suaranya lenyap. Matanya telah terkatup untuk selama-lamanya.
Jika ingin, Fey lebih suka di tempeleng Papa dulu-dulu sebelum peristiwa itu terjadi. Tapi selama ini papa terlalu sibuk dengan dunia bisnisnya sehingga orangtua itu tak pernah tahu apa-apa tentang dirinya.
Selama ini Fey melangkahkan kaki sendiri. Menurutnya Ben jauh lebih beruntung karena dia masih memiliki seorang ibu dan lastri. Fey selalu memberi perhatian yang lebih kepada siapa saja karena merupakan bentuk kompensasi dari rasa kekecewaan kehilangan perhatian dari papa.
Mama? Wanita lembut nan penuh kasih itu telah meninggal sejak Fey kecil. Kecelakaan pesawat ketika akan menengok Oma di belanda.
“Dasar, anak memalukan! Mulai saat ini kau tinggal saja dengan Oma di Belanda sana. Kau telah memalukan nama Papa!”
Pipinya ditempeleng lagi. Keras. Pedih. Dengan pandangan nanar Fey memandang orangtua itu dengan perasaan yang bercampur-aduk. Benci, marah, sakit dan terluka.
Kini dia tidak punya siapa-siapa. Papa telah membuangnya. Fey tak yakin apakah oma sudi menerimanya. Sedangkan Ben telah meninggalkannya untuk selama-lamanya.
“Untung saja Papa dapat menebus kebebasanmu walau dengan harga mahal. Kalau tidak, seumur hidup kau mendekam di penjara!”
Fey menulikan telinga. Terbayang wajah tua ibu Ben. Fey tidak menyangka ini terjadi pada dirinya, pada Papa. Betapa tragisnya
Fey jadi benci pada dirinya. Terlebih pada orangtua di hadapannya. Tapi siapa yang salah? Dia yang ingin menebus nyawa Ben atau Papa yang terlalu mengagungkan nama baiknya?

Kalau saja hidup seperti kaset yang bisa diputar ulang, Fey lebih suka Ben ada. Mereka akan terus bersahabat dan tawuran tak pernah ada. Mungkin tak ada jiwa-jiwa yang  melayang. Jiwa-jiwa yang tersia-sia begitu saja. Mereka akan mengecap masa remaja dengan penuh semangat. Mengejar mimpi hingga cita-cita mereka terwujud.

0 komentar:

Posting Komentar