Pernah
melihat sebuah bintang bernama Kayla? Sebuah bintang kecil yang sinarnya
berpijar-pijar laksana sebuah titik di selembar kertas putih bersih. Bintang
itu dinamai Kayla sesuai dengan nama pemiliknya. Kayla Rhamadani.
Dia gadis yang cantik. Rambutnya lurus
sebahu. Bertubuh tinggi kurus. Dia tinggal di sebuah rumah bercat putih, tanpa
halaman, tanpa pagar. Dulu, rumah putih itu begitu hangat. Ada sosok Mama yang lembut, penuh perhatian,
yang selalu memberi kehangatan pada rumah putih itu. Namun sejak Mama pergi
untuk selama-lamanya, sejak Tuhan ‘memanggil’ Mama, rumah itu berubah dingin.
Sedingin sosok Tante Rosa, pengganti
Mama yang kini menjadi ibu tirinya.
Dia harus berbagi rumah kecil itu
dengan Nisa, adik tirinya. Lengkapnya Anisa Mayasari. Mereka bersekolah di
sekolah yang sama. Hanya beda kelas. Kayla yang pintar, berada di kelas A yang
berisi murid-murid pintar sedangkan Nisa sebaliknya. Karena itu Nisa benci
setengah mati dengan Kayla.
Tapi karena jodoh, papa Kayla dan mama
Nisa menikah. Sebetulnya mama Nisa teman mama Kayla. Mereka berteman sejak
jaman sekolah dulu. Tapi sayangnya, Tante Rosa tidak benar-benar menyayangi
Kayla sebagai anaknya sendiri. Papa Kayla justru sebaliknya, sudah menganggap
Nisa seperti putrinya sendiri. Rasa sayangnya sama seperti terhadap Kayla.
Sebaliknya, Kayla selalu mendapatkan
perlakuan tidak adil dari Tante Rosa. Ini dilakukan jika papa Kayla tidak ada
di rumah. Sebagai seorang pelaut, papa Kayla sering bertugas di laut.
Kayla tidak pernah mendapatkan makanan seenak Nisa, baju
sebagus Nisa atau perlakuan istimewa seperti terhadap Nisa. Kayla harus bekerja
membantu Tante Rosa. Mencuci baju, memasak, berbenah rumah, sedangkan Nisa bisa
puas membaca koleksi majalah milik Kayla, seharian nonton televisi atau
menemani mamanya belanja ke supermarket.
Sepulang sekolah, ketika perutnya meronta-ronta minta isi
(Tante Rosa tidak pernah memberinya uang jajan), Kayla harus kecewa setengah
mati ketika dilihat meja makan hanya berisi sepiring nasi putih, sepotong tempe dan semangkuk sayur
bening. Padahal Kayla tahu persis, tadi pagi Tante Rosa
membuat ayam goreng.
Kayla makan dalam diam. Hatinya pedih bukan kepalang.
Setelah makan, dia tidak dapat langsung beristirahat. Pakaian kotor menumpuk di
kamar mandi. Piring-piring kotor berserakan di meja dapur.
Kayla mengeluh. Setitik air mata menggumpal di sudut mata
beningnya. Ingin rasanya dia melempar piring-piring kotor ke hadapan Tante
Rosa. Biar hatinya puas. Tapi jika itu terjadi, dia pasti akan dihukum.
Dikurung dalam gudang. Tidak boleh makan. Tidak boleh minum. Hal itu justru akan membuatnya lebih
menderita lagi.
“Kamu bahagia, Sayang?” tanya Papa ketika Papa libur
bertugas beberapa hari. Kayla terdiam. Dia bingung akan menjawab apa. Jika dia
menceritakan apa yang terjadi selama ini, pasti akan membebani pikiran papanya.
Ini akan mengganggu kosentrasi papanya bekerja. Kayla takut papanya akan
kehilangan pekerjaannya. Ini pernah terjadi ketika mama Kayla ‘pergi’. Papa
mengurungkan diri di rumah berhari-hari. Akhirnya papa kehilangan pekerjaannya
karena papa menolak diberi tugas melaut ke daerah Maluku. Tapi untunglah tak
berapa lama kemudian, sebuah perusahaan perkapalan asing, menawarinya
pekerjaan.
Karena itu Kayla tidak mau kejadian itu terulang kembali.
Kayla lebih memilih, membagi kesedihan dan kesepian hatinya
pada sebuah bintang kecil di langit biru itu. Bintang yang dia beri nama Kayla.
Melihat pijaran dari bintang kecil itu, Kayla merasa diberi kekuatan untuk
menjalani hari-hari beratnya.
Kayla akan memandangi bintang kecil itu sepuasnya dari atas
atap rumahnya. Kayla duduk seraya memeluk lutut kakinya, menghalau angin malam
yang dingin menusuk kulitnya. Setelah puas memandangi bintang kecilnya, Kayla
pun turun kembali. Masuk ke kamar mungilnya. Segera tidur, agar dia dapat
bermimpi bertemu dengan Mama. Berharap agar esok, hari-harinya akan berubah
kembali seperti dulu. Sebelum Tante Rosa dan Nisa datang ke rumah putih itu.
*****
Suatu pagi Kayla tengah membaca sebuah
puisi di majalah dinding sekolah. Puisi buatannya sendiri. Bercerita tentang
kerinduannya pada mama. Kayla membacanya penuh perasaan. Sampai matanya
berkaca-kaca.
“Puisi yang bagus,” puji seseorang.
Kayla menoleh. Dilihatnya sebuah sosok tinggi yang telah berdiri di sampingnya.
Banu.
“Kau harusnya mengirim puisi ini ke
majalah remaja, aku yakin pasti akan dimuat. Aku bisa membantumu.”
“Maksudmu?” sepasang mata Kayla
berbinar-binar.
“Tanteku bekerja pada sebuah majalah
remaja yang dapat menampung puisi-puisi bagus seperti ini, kau dapat
menitipkannya padaku dan aku akan menyerahkan pada tanteku. Mudah-mudahan
puisimu lolos seleksi, bagaimana?”
“Oke, besok akan kuberikan beberapa
puisi yang kupunyai, boleh kukirim lebih dari satu kan ?”
“Why
not, asal kalo dimuat jangan lupa telaktir aku mie ayam di kantin,” Banu
pergi meninggalkannya.
Hari itu, Kayla isi dengan semangat
yang menyala-nyala. Sepulang sekolah, walau makan siang hanya dengan mie goreng
dan harus membereskan bertumpuk-tumpuk peralatan makan di dapur, Kayla
menjalankannya dengan senang hati.
Setelah itu waktunya mengetik beberapa
puisi yang dianggapnya paling bagus dengan mesin ketik. Dia belum mempunyai
komputer. Rasanya dia ingin esok segera datang dan memperlihatkan puisi-puisi
terbagusnya pada Banu.
“Wah, aku suka puisi-puisimu, Kayla.
Kau penulis berbakat,” puji Banu. Kayla tersenyum senang dengan pujian itu.
Pada edisi sebuah majalah remaja berikutnya, Kayla girang melihat dua puisinya
berhasil dimuat sekaligus. Sebagai ucapan terima kasih, Kayla mengajak Banu
makan siang di kantin sepulang sekolah.
“Thank’s,
La, jadi aku gak perlu pulang untuk makan karena aku harus ikutan latihan
basket untuk pertandingan minggu depan,” ujar Banu seraya menikmati mie ayam.
Kayla pun tak kalah bersemangat
menikmati semangkuk baksonya dari hasil keringatnya sendiri. Setelah sekian
bulan dia tidak pernah menyantap bakso kesukaannya, karena Tante Rosa tidak
pernah memberinya uang jajan. Dan itu sangat menyenangkan dan membuatnya
bersemangat.
“Karena aku sudah berhasil masuk tim
basket sekolah ini bagaimana kalau kau pun melamar menjadi pengurus mading
sekolah kita?” usul Banu tiba-tiba. Usulan itu membuat Kayla tercengang.
Menjadi pengurus mading? Baginya bagai mimpi di siang bolong.
“Ayo, Kayla, aku yakin kamu bisa. Aku
bisa mengusulkan pada Bu Inggrid, guru Bahasa Indonesia kita. Beliau kan pembina mading
sekolah kita…”
“Jangan bilang dia tantemu juga, Ban,”
potong Kayla dengan menahan senyum.
“Memang bukan. Tapi kebetulan rumahnya
bersebelahan dengan rumahku sehingga memudahkanku untuk mempromosikanmu menjadi
pengurus, gimana?” Banu tersenyum nakal.
“Kalau berhasil, aku tidak tau harus
mengucapkan apa padamu. Rasanya jasamu sudah terlalu besar untukku,” Kayla
tertunduk memandangi mangkuknya yang sudah kosong.
“What’s
are friend for,” jawab Banu seperti mengutip sebuah judul lagu.
Sejak itu mereka bersahabat. Dimana
ada Banu, pasti ada Kayla. Kecuali di ruang mading atau lapangan basket. Mereka
sibuk sendiri-sendiri. Tapi Kayla penyemangat sejati ketika Banu harus
menghadapi pertandingan antar kelas atau sekolah. Pun ketika tim Banu kalah dan
Banu dicaci maki teman-temannya. Hanya Kayla yang datang menghiburnya.
Dan Banu juga yang selalu mendengar
keluh-kesahnya tentang penderitaannya tinggal dengan ibu dan saudara tiri.
Tentang ketidakadilan yang dia terima dari Tante Rosa. Banu yang selalu
membuatnya semangat menjalani hari-harinya.
Sejak ada Banu, Kayla tidak pernah
lagi nongkrong di atap untuk menatap sebuah bintang kecil yang berpijar-pijar. Kadang
Kayla kangen dengan bintangnya itu. Tapi selalu ada Banu dan puisi-puisi
sebagai pelipur laranya. Hari-harinya berjalan seperti biasa. Sampai suatu ketika,
Banu jatuh cinta dengan seorang model bernama Clara.
Perkenalan mereka ketika Banu diundang
oleh tantenya yang sebagai pim-red di majalah remaja itu, untuk menghadiri
ultah majalah tersebut. Di situlah, Banu bertemu Clara. Mereka menjadi akrab
dan Clara menerima cinta Banu sebulan kemudian.
Sejak itu hari-hari Banu ‘didoktrin’
oleh Clara. Menemani pemotretan, menghadiri lauching
sebuah produk, menerima undangan premier
pemutaran sebuah film terbaru, menemani Clara shopping, mengikuti Clara audisi sebuah peran di film atau
sinetron.
Sejak itu Kayla terlupakan. Di sekolah
Banu selalu menghindar dan menjaga jarak dengannya. Mungkin itu atas permintaan
Clara. Jelas itu membuat Kayla sedih. Kayla selalu mengurungkan diri di ruang
mading. Dia mulai belajar menulis cerita pendek. Tulisannya itu dia simpan di
komputer mading.
Kemudian dia mencoba mengirimkannya
pada sebuah majalah remaja. Berhasil dimuat dan sejak itu tidak ada lagi
puisi-puisi. Yang ada kini cerita-cerita fiksinya tentang cinta, persahabatan,
kehidupan, Tuhan, kerinduannya pada Mama.
Dia berhasil melupakan kesedihannya.
Sampai suatu pagi…
Dengan kemarahan yang meluap-lupa Papa
membangunkannya. Bingung, Kayla memandangi wajah tua Papa yang merah padam
menahan kemarahan. Kayla tidak menyangka, Papa menuduhnya telah mengambil uang
dari dompetnya. Jumlahnya cukup banyak. Satu juta rupiah.
Papa menggeledah seluruh isi kamarnya.
Dan didapatinya sejumlah uang itu di balik tumpukan baju Kayla di lemari. Kayla
tidak mengerti mengapa uang itu ada di sana .
Tapi ketika melihat senyum licik Tante Rosa, mengertilah Kayla.
Rasanya seperti bukan Papa ketika
laki-laki itu menyuruhnya pergi. Kayla benar-benar tak percaya! Pun ketika
Kayla pamit, Papa tak melepas kepergiannya.
Kayla tinggal dengan Tante Mia, adik
mamanya, yang tinggal sendiri di sebuah rumah mungil. Tante Mia sudah bekerja
namun belum menikah.
“Tinggal saja bersama Tante, Kayla.
Tante yang akan membiayai sekolahmu,” Tante Mia memeluknya erat. Kayla hanya
mengangguk.
Ketika Tante Mia sudah tidur, Kayla
naik ke atap rumah. Dia duduk seraya memeluk lutut. Dipandangi langit yang
begitu luas dihadapannya. Beberapa bintang kecil terlihat berpijar-pijar. Kayla
mencari, siapa tahu ada bintang kecil yang pijarannya paling terang. Itu
bintangnya. Bintang Kayla.
*****
0 komentar:
Posting Komentar