Senin, 15 September 2014

Bintang Kayla


Pernah melihat sebuah bintang bernama Kayla? Sebuah bintang kecil yang sinarnya berpijar-pijar laksana sebuah titik di selembar kertas putih bersih. Bintang itu dinamai Kayla sesuai dengan nama pemiliknya. Kayla Rhamadani.
          Dia gadis yang cantik. Rambutnya lurus sebahu. Bertubuh tinggi kurus. Dia tinggal di sebuah rumah bercat putih, tanpa halaman, tanpa pagar. Dulu, rumah putih itu begitu hangat. Ada sosok Mama yang lembut, penuh perhatian, yang selalu memberi kehangatan pada rumah putih itu. Namun sejak Mama pergi untuk selama-lamanya, sejak Tuhan ‘memanggil’ Mama, rumah itu berubah dingin. Sedingin sosok  Tante Rosa, pengganti Mama yang kini menjadi ibu tirinya.
          Dia harus berbagi rumah kecil itu dengan Nisa, adik tirinya. Lengkapnya Anisa Mayasari. Mereka bersekolah di sekolah yang sama. Hanya beda kelas. Kayla yang pintar, berada di kelas A yang berisi murid-murid pintar sedangkan Nisa sebaliknya. Karena itu Nisa benci setengah mati dengan Kayla.
          Tapi karena jodoh, papa Kayla dan mama Nisa menikah. Sebetulnya mama Nisa teman mama Kayla. Mereka berteman sejak jaman sekolah dulu. Tapi sayangnya, Tante Rosa tidak benar-benar menyayangi Kayla sebagai anaknya sendiri. Papa Kayla justru sebaliknya, sudah menganggap Nisa seperti putrinya sendiri. Rasa sayangnya sama seperti terhadap Kayla.
          Sebaliknya, Kayla selalu mendapatkan perlakuan tidak adil dari Tante Rosa. Ini dilakukan jika papa Kayla tidak ada di rumah. Sebagai seorang pelaut, papa Kayla sering bertugas di laut.
Kayla tidak pernah mendapatkan makanan seenak Nisa, baju sebagus Nisa atau perlakuan istimewa seperti terhadap Nisa. Kayla harus bekerja membantu Tante Rosa. Mencuci baju, memasak, berbenah rumah, sedangkan Nisa bisa puas membaca koleksi majalah milik Kayla, seharian nonton televisi atau menemani mamanya belanja ke supermarket.
Sepulang sekolah, ketika perutnya meronta-ronta minta isi (Tante Rosa tidak pernah memberinya uang jajan), Kayla harus kecewa setengah mati ketika dilihat meja makan hanya berisi sepiring nasi putih, sepotong tempe dan semangkuk sayur bening. Padahal Kayla tahu persis, tadi pagi Tante Rosa membuat ayam goreng.
Kayla makan dalam diam. Hatinya pedih bukan kepalang. Setelah makan, dia tidak dapat langsung beristirahat. Pakaian kotor menumpuk di kamar mandi. Piring-piring kotor berserakan di meja dapur.
Kayla mengeluh. Setitik air mata menggumpal di sudut mata beningnya. Ingin rasanya dia melempar piring-piring kotor ke hadapan Tante Rosa. Biar hatinya puas. Tapi jika itu terjadi, dia pasti akan dihukum. Dikurung dalam gudang. Tidak boleh makan. Tidak boleh minum.  Hal itu justru akan membuatnya lebih menderita lagi.
“Kamu bahagia, Sayang?” tanya Papa ketika Papa libur bertugas beberapa hari. Kayla terdiam. Dia bingung akan menjawab apa. Jika dia menceritakan apa yang terjadi selama ini, pasti akan membebani pikiran papanya. Ini akan mengganggu kosentrasi papanya bekerja. Kayla takut papanya akan kehilangan pekerjaannya. Ini pernah terjadi ketika mama Kayla ‘pergi’. Papa mengurungkan diri di rumah berhari-hari. Akhirnya papa kehilangan pekerjaannya karena papa menolak diberi tugas melaut ke daerah Maluku. Tapi untunglah tak berapa lama kemudian, sebuah perusahaan perkapalan asing, menawarinya pekerjaan.
Karena itu Kayla tidak mau kejadian itu terulang kembali.
Kayla lebih memilih, membagi kesedihan dan kesepian hatinya pada sebuah bintang kecil di langit biru itu. Bintang yang dia beri nama Kayla. Melihat pijaran dari bintang kecil itu, Kayla merasa diberi kekuatan untuk menjalani hari-hari beratnya.
Kayla akan memandangi bintang kecil itu sepuasnya dari atas atap rumahnya. Kayla duduk seraya memeluk lutut kakinya, menghalau angin malam yang dingin menusuk kulitnya. Setelah puas memandangi bintang kecilnya, Kayla pun turun kembali. Masuk ke kamar mungilnya. Segera tidur, agar dia dapat bermimpi bertemu dengan Mama. Berharap agar esok, hari-harinya akan berubah kembali seperti dulu. Sebelum Tante Rosa dan Nisa datang ke rumah putih itu.
*****

          Ada murid baru pindahan dari Bandung. Lelaki tampan bernama Banu Setanu. Dia lelaki yang ramah dan cerdas. Diam-diam Kayla mengaguminya. Dia sering memandang laki-laki itu dari jauh.
          Suatu pagi Kayla tengah membaca sebuah puisi di majalah dinding sekolah. Puisi buatannya sendiri. Bercerita tentang kerinduannya pada mama. Kayla membacanya penuh perasaan. Sampai matanya berkaca-kaca.
          “Puisi yang bagus,” puji seseorang. Kayla menoleh. Dilihatnya sebuah sosok tinggi yang telah berdiri di sampingnya. Banu.
          “Kau harusnya mengirim puisi ini ke majalah remaja, aku yakin pasti akan dimuat. Aku bisa membantumu.”
          “Maksudmu?” sepasang mata Kayla berbinar-binar.
          “Tanteku bekerja pada sebuah majalah remaja yang dapat menampung puisi-puisi bagus seperti ini, kau dapat menitipkannya padaku dan aku akan menyerahkan pada tanteku. Mudah-mudahan puisimu lolos seleksi, bagaimana?”
          “Oke, besok akan kuberikan beberapa puisi yang kupunyai, boleh kukirim lebih dari satu kan?”
          “Why not, asal kalo dimuat jangan lupa telaktir aku mie ayam di kantin,” Banu pergi meninggalkannya.
          Hari itu, Kayla isi dengan semangat yang menyala-nyala. Sepulang sekolah, walau makan siang hanya dengan mie goreng dan harus membereskan bertumpuk-tumpuk peralatan makan di dapur, Kayla menjalankannya dengan senang hati.
          Setelah itu waktunya mengetik beberapa puisi yang dianggapnya paling bagus dengan mesin ketik. Dia belum mempunyai komputer. Rasanya dia ingin esok segera datang dan memperlihatkan puisi-puisi terbagusnya pada Banu.
          “Wah, aku suka puisi-puisimu, Kayla. Kau penulis berbakat,” puji Banu. Kayla tersenyum senang dengan pujian itu. Pada edisi sebuah majalah remaja berikutnya, Kayla girang melihat dua puisinya berhasil dimuat sekaligus. Sebagai ucapan terima kasih, Kayla mengajak Banu makan siang di kantin sepulang sekolah.
          “Thank’s, La, jadi aku gak perlu pulang untuk makan karena aku harus ikutan latihan basket untuk pertandingan minggu depan,” ujar Banu seraya menikmati mie ayam.
          Kayla pun tak kalah bersemangat menikmati semangkuk baksonya dari hasil keringatnya sendiri. Setelah sekian bulan dia tidak pernah menyantap bakso kesukaannya, karena Tante Rosa tidak pernah memberinya uang jajan. Dan itu sangat menyenangkan dan membuatnya bersemangat.
          “Karena aku sudah berhasil masuk tim basket sekolah ini bagaimana kalau kau pun melamar menjadi pengurus mading sekolah kita?” usul Banu tiba-tiba. Usulan itu membuat Kayla tercengang. Menjadi pengurus mading? Baginya bagai mimpi di siang bolong.
          “Ayo, Kayla, aku yakin kamu bisa. Aku bisa mengusulkan pada Bu Inggrid, guru Bahasa Indonesia kita. Beliau kan pembina mading sekolah kita…”
          “Jangan bilang dia tantemu juga, Ban,” potong Kayla dengan menahan senyum.
          “Memang bukan. Tapi kebetulan rumahnya bersebelahan dengan rumahku sehingga memudahkanku untuk mempromosikanmu menjadi pengurus, gimana?” Banu tersenyum nakal.
          “Kalau berhasil, aku tidak tau harus mengucapkan apa padamu. Rasanya jasamu sudah terlalu besar untukku,” Kayla tertunduk memandangi mangkuknya yang sudah kosong.
          “What’s are friend for,” jawab Banu seperti mengutip sebuah judul lagu.
          Sejak itu mereka bersahabat. Dimana ada Banu, pasti ada Kayla. Kecuali di ruang mading atau lapangan basket. Mereka sibuk sendiri-sendiri. Tapi Kayla penyemangat sejati ketika Banu harus menghadapi pertandingan antar kelas atau sekolah. Pun ketika tim Banu kalah dan Banu dicaci maki teman-temannya. Hanya Kayla yang datang menghiburnya.
          Dan Banu juga yang selalu mendengar keluh-kesahnya tentang penderitaannya tinggal dengan ibu dan saudara tiri. Tentang ketidakadilan yang dia terima dari Tante Rosa. Banu yang selalu membuatnya semangat menjalani hari-harinya.
          Sejak ada Banu, Kayla tidak pernah lagi nongkrong di atap untuk menatap sebuah bintang kecil yang berpijar-pijar. Kadang Kayla kangen dengan bintangnya itu. Tapi selalu ada Banu dan puisi-puisi sebagai pelipur laranya. Hari-harinya berjalan seperti biasa. Sampai suatu ketika, Banu jatuh cinta dengan seorang model bernama Clara.
          Perkenalan mereka ketika Banu diundang oleh tantenya yang sebagai pim-red di majalah remaja itu, untuk menghadiri ultah majalah tersebut. Di situlah, Banu bertemu Clara. Mereka menjadi akrab dan Clara menerima cinta Banu sebulan kemudian.
          Sejak itu hari-hari Banu ‘didoktrin’ oleh Clara. Menemani pemotretan, menghadiri lauching sebuah produk, menerima undangan premier pemutaran sebuah film terbaru, menemani Clara shopping, mengikuti Clara audisi sebuah peran di film atau sinetron.
          Sejak itu Kayla terlupakan. Di sekolah Banu selalu menghindar dan menjaga jarak dengannya. Mungkin itu atas permintaan Clara. Jelas itu membuat Kayla sedih. Kayla selalu mengurungkan diri di ruang mading. Dia mulai belajar menulis cerita pendek. Tulisannya itu dia simpan di komputer mading.
          Kemudian dia mencoba mengirimkannya pada sebuah majalah remaja. Berhasil dimuat dan sejak itu tidak ada lagi puisi-puisi. Yang ada kini cerita-cerita fiksinya tentang cinta, persahabatan, kehidupan, Tuhan, kerinduannya pada Mama.
          Dia berhasil melupakan kesedihannya. Sampai suatu pagi…
          Dengan kemarahan yang meluap-lupa Papa membangunkannya. Bingung, Kayla memandangi wajah tua Papa yang merah padam menahan kemarahan. Kayla tidak menyangka, Papa menuduhnya telah mengambil uang dari dompetnya. Jumlahnya cukup banyak. Satu juta rupiah.
          Papa menggeledah seluruh isi kamarnya. Dan didapatinya sejumlah uang itu di balik tumpukan baju Kayla di lemari. Kayla tidak mengerti mengapa uang itu ada di sana. Tapi ketika melihat senyum licik Tante Rosa, mengertilah Kayla.
          Rasanya seperti bukan Papa ketika laki-laki itu menyuruhnya pergi. Kayla benar-benar tak percaya! Pun ketika Kayla pamit, Papa tak melepas kepergiannya.
          Kayla tinggal dengan Tante Mia, adik mamanya, yang tinggal sendiri di sebuah rumah mungil. Tante Mia sudah bekerja namun belum menikah.
          “Tinggal saja bersama Tante, Kayla. Tante yang akan membiayai sekolahmu,” Tante Mia memeluknya erat. Kayla hanya mengangguk.
          Ketika Tante Mia sudah tidur, Kayla naik ke atap rumah. Dia duduk seraya memeluk lutut. Dipandangi langit yang begitu luas dihadapannya. Beberapa bintang kecil terlihat berpijar-pijar. Kayla mencari, siapa tahu ada bintang kecil yang pijarannya paling terang. Itu bintangnya. Bintang Kayla.

*****

0 komentar:

Posting Komentar