Ruben boleh berbangga hati, artikelnya mengenai profil Tantri bisa menjadi pemenang lomba. Tapi adakah yang tahu, bagaimana sulitnya problema hidup yang tengah dialami Tantri ?
Cewek-cewek kelas tiga fisik dua asik membicarakan
makhluk yang semangat latihan basket di depan kelas mereka. Tantri yang tengah
sibuk dengan hitungan fisika mekanika
sedikit terganggu juga. Tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa. Jika Bu
Dahlia tidak mengajar, anak-anak yang lain lebih senang bercanda, bermain kartu
atau kabur ke kantin.
Tantri menekuni kembali
pekerjaan-nya. Dia tidak termasuk salah satu cewek-cewek
itu. Mana ada tampang ? keluhnya dalam hati. Rambutnya dipotong cepak. Bukan
dia tomboy,tapi dia memang mempunyai masalah dengan rambutnya yang selalu
rontok dan tipis. Tubuhnya yang mungil dan kurus, bukan karena kurang gizi,
tapi keadaanlah yang memaksa dia bekerja menjadi pelayan di sebuah cafe kecil
sepulang sekolah. Sepulang dia bekerja dia baru bisa belajar. Kemudian membantu
Ibu menjahit sampai tengah malam.
Karena kurang istirahat tubuhnya
makin kurus. Belum lagi konsentrasi belajar yang semakin serius untuk
menghadapi ujian akhir nanti.
“Tri, kamu nyumbang cerpen lagi untuk
wakilin kelas kita ya ?” Dion, ketua kelasnya, mengganggu kesibukkannya.
“Nggak bis, yon. Sorry, saya
nggak punya waktu.”
“Kalau bukan kamu siapa lagi?
Aku nggak enak sama Ruben nih! Masak Cuma kelas kita yang nggak bisa nyumbang
untuk mading minggu ini.”
Tantri menggigit-gigit pensilnya
tanpa sadar. Dia jadi tak enak hati juga. Takut nanti Dion menuduh dia sudah
tidak mau membuat cerpen lagi. Padahal bukan karena itu tapi kapan dia
mempunyai waktu untuk membuat cerpen. Sekarang saja sejak Awi sakit-sakitan,
sisa waktu-nya digunakan untuk menggantikan kerja Ibunya membereskan jahitan
yang belum selesai.
“Sungguh, yon, bukannya aku
nggak mau. Tapi saya nggak sempat. Untuk minggu ini gimana kalau Wedha aja yang
buat kartun, minggu depan saya janji deh!”
“Kamu pasti punya stok cerpen
kan? Udah deh kamu pakai aja salah satunya,” Dion manatap penuh harap.
“Nggg, masih coret-coretan....”
“Gimana kalau nannti sore aku
ambil ? biar nanati malam aku ketik. Soalnya besok cerpen itu harus ada di meja
redaksi”
“Tapi...” seketika Tantri panik.
Dion bakal ke rumahnya dan dia akan tahu segala-galanya. Padahal selama ini dia
sudah mencoba menutupi keadaan yang sebenarnya. Bukan dia malu tapi dia takut
temannya akan sulit menerima dia lagi sebagai temannya.
SMA Kusuma Bangsa sudah terkenal
sekolah yang paling bergengsi di kotanya. Sudah terkenal para muridnya serba
kaya, pintar dan borju. Sebetulnya Tantri lebih suka memilih sekolah di negeri
tapi pamannya yang punya saham di Yayasan Kusuma Bangsa memasukkan dia di
sekolah itu. Karena segalanya sudah ditanggung pamannya, Ibunya menurut saja
karena yang penting Tantri bisa sekolah dengan baik.
“Gimana, Tri?” tanya Dion
membuyarkan lamunannya.
“Kamu pasti Nggak tahu rumah saya
deh. Lagipula cerpen saya masih coret-coret, kamu mana bisa baca? Lebih baik
kamu pakai saja kartunnya Wedha,” Pintanya dengan wajah panik.
Tidak ada guru, bukannya dia
ikut membicarakan Ruben tapi malah asik menghitung pr fisika yang ngejelimet
itu.
“Oke, tapi minggu besok cerpen
kamu harus jadi lho !” Lama-lama Dion tidak tega juga. Dilihatnya Tantri
tersenyum manis dan mengangguk kuat-kuat.
P
|
ulang sekolah dia buru-buru pulang. Kalau telat
sedikit saja Bu Mien pemilik cafe itu suka marah-marah. Katanya sih disiplin.
Tantri terpaksa menurut saja. Statusnya kan cuma pelayan.
Untunglah dia datang tepat pada
waktunya. Setelah mengganti baju sekolahnya dengan seragam pelayan cafe, Tantri
mengenakan celemeknya. Sebetulnya dia lelah sekali siang ini. Semalam dia harus
bergadang karena harus menyelesaikan pesanan jahitan yang harus selesai hari
ini juga. Padahal ibunya sibuk meladeni Awi yang merengek terus meminta
perhatiannya.
“Jangan melamun dong, Tri. Tuh,
meja nomor tiga pesan pizza, coca cola dan sandwich isis sosis. Antarkan cepat
!” perintah mbak Lila yang baru datang dari depan.
Dengan sigap Tantri melaksanakan
perintah mbak Lila, kepala pelayan di cafe itu. Diangkatnya pizza yang sudah
matang, diiris-irisnya seperdelapan bagian. Diisinya sandwich yang sudah
diolesi margarin dengan sosis yang sudah digoreng, salad dan tomat. Kemudian
diisinya dua gels ukuran sedang Coca Cola. Dibawa semua pesanan itu ke depan.
Tiba-tiba langkahnya menjadi
kaku ketika dilihatnya meja nomor tiga. Ya ampun itu kan Dion dan Kishi !
dengan gemetar Tantri maju juga. Mencoba tersenyum dan menghidangkan makanan
seperti biasanya.
“ Tantri, ko di sini?” Tanya
Dion dengan wajah terheran-heran.
“Saya kerja di sini” jawabnya
berusaha tenang.
Mulut Kishi ternganga. Perubahan
wajahnya terlihat jelas. Dia tidak membayangkan mempunyai teman sekelas jadi
pelayan ? Seprti tidak kenal, Kishi melahap pizzanya. Tantri segera berlalu
karena seorang ibu muda di sudut ruangan sudah tak sabar memanggilnya.
T
|
“Shi, berhenti! Kamu jangan
menghina Tantri karena dia bekerja menjadi pelayan cafe. Seharusnya kamu malu,
Tantri sudah lebih mandiri dari kita semua. Dia bisa nyari uang sendiri dengan
bekerja. Sedangkan kita? Ugh, paling-paling cuma bisa menghabiskan kredit card
dengan hal-hal yang tidak guna. Shopping, nonton, makan, nongkrong di cafe..”
“Ya. Lalu kenapa?” Dion dengan
tenang balik bertanya.
“Kita putus, Yon! Putus!” dengan
geram Kishi keluar dari kelas.
“Terserah,” Dion keluar juga
dari kelas. Tapi memilih arah yang berlawanan. Tantri berusaha mengejar Dion.
Tantri tidak ingin gara-gara Dion hanya membelanya, hubungan mereka berantakan.
“Yon, tunggu!” kejarnya.
Dion menghentikan langakahnya
dan ditunggunya gadis mungil itu berlari ke arahnya.
“tidak seharusnya kamu membela
saya, Yon. Hanya gara-gara saya hubungan kamu dan Kishi jadi begitu. Yon, saya
minta maaf....”
Apa-apaan sih kamu, Tri. Itu
bukan salah kamu kok. Malah Kishi yang sudah keterlaluan. Hanya karena kamu
kerja di cafe saja dia sudah begitu heboh. Padahal apa salahnya kamu kerja? Di
luar negeri anak seusia kita sudah bisa kerja part time sepulang sekolah dan
mereka tidak malu tapi kenapa di sini jadi aneh?” Dion geleng-geleng kepala
tidak mengerti.
“Iklim budaya kita berbeda
dangan mereka, Yon. Kita masih malu kalau cuma kerja jadi pelayan. Itu yang
menyebabkan pengangguran semakin bertambah,” lanjut Tantri dengan suaranya yang
terdengar lembut dan tenang.
“Hai, Yon!” sapa sebuah suara
tiba-tiba. Serempak mereka menoleh. Sosok laki-laki jangkung dengan wajah
simpatik dan keren tersenyum manis. Ruben, bisik Tantri dalam hati.
“Ben, ini Tantri yang suka bikin
cerpen. Kenalan dulu deh.”
Ruben menyambut perkenalan itu
dengan ramah. Sikapnya biasa saja ketika dilihatnya penampilan Tantri yang
sederhana. Berbeda sekali dengan cewek-cewek lain yang sok borju.
“Aku suka cerpen-cerpen kamu.
Gimana kalau aku tawarin kamu jadi pengurus mading,” Ruben tersenyum. Keren.
Tantri memandangnya terpana. Pantas saja banyak cewek yang ngefans berat.
“Saya tidak bisa,” Tantri
melirik Diion.
“Tantri bekerja sebagai pelayan di
sebuah cafe. Dia sudah tak punya waktu lagi,” Dion ikut menjelaskan.
“Oya? Cafe yang mana?” tanya
ruben tertarik.
“Di basement Deli Plaza,” jawab
Tantri gugup begitu tatapan Ruben menyergap.
“Ooo,” tanggapan Ruben hanya
itu. Kemudian dia dan Dion asik bercakap-cakap seputar mading dan basket.
Tantri pamit dan segera menuju kelasnya.
H
|
ujan turun tanpa permisi. Tantri menetap langit
dengan gelisah. Padahal lima menit lagi dia harus sudah sampai di cafe. Kalau
tidak Mbak Lila pasti marah-marah.
Dia ingin nekat berhujan-hujanan
naik bis. Tapi bis yang ditunggu tidak juga muncul. Mana dia lupa membawa
payung. Tantri makin gelisah. Makin tidak sabar.
“Hai, Tri, nunggu bis yah?”
sebuah suara dari dalam mobil Starlet yang berhenti tepat di depannya.
Tantri menoleh. Ruben tengah
memamerkan senyum manisnya.
“Mau ikut?” tawaran manis.
Tantri melirik jam tangan tuanya bingung. Tiga menit lagi.... aduh, bingungnya!
Tantri tidak sempat mikir
apa-apa lagi. Dia bergegas naik ke mobil Ruben bukan karena mumpung cowok itu
mengajaknya tapi dia tidak ingin melihat wajah Mbak Liala yang menakutkan jika
sedang marah.
“Terimakasih, ben,” Tantri bergegas
turun. Ruben bukannya pergi malah ikut-ikutan turun. Tantri menghentikan
langkahnya dan bengong.
“Aku lapar, boleh dong makan di
cafemu,” katanya ringan. Tantri tidak bisa bicara apa-apa lagi. Dia berjalan
cepat menuju kitchen cafe.
“Dari mana saja sih kamu, kok
telat?” suara Mbak Lila yang judes menyambutnya.
“Maaf, Mbak, hujan,” jawab
Tantri singkat. Dia melirik jam dinding dapur dongkol. Cuma telat beberapa
menit saja Mbak Lila marah-marah seperti itu. Apalagi jika dia bolos kerja.
Tantri bergegas ke depan.
Dilihatnya Ruben duduk di sudut cafe. Tanpa sadar Tantri memandangnya dari
kejauhan. Rambut cepak Ruben yang terlihat basah seperti itu membuat Ruben
bertambah keren adn gagah.
“Pesan apa, Ben?” tanya Tantri
dengan kertas pesanan dan pulpen di tangan.
“Burger, pizza, CocaCola dan es
krim coklat, da kan ?” Tantri geleng-geleng kepala. Bagaimana bisa Ruben
memesan makanan sebanyak itu sedangkan badannya masih saja langsing.
Tiga jam Tantri bolak-balik
menerima, menyiapkan dan membawakan pesanan tersebut sementara Ruben belum mau
pulang juga. Dia masih saja di sudut cafe tekun dengan buku-bukunya.
“Kok belum pulang, Ben ?” tanya
Tantri juga akhirnya. Penasaran. Setelah dilihatnya pengunjung mulai agak sepi
dan Mbak Lila sudah pulang. Dia merasa bebas kini.
“Mau lihat kamu kerja. Lagipula
aku minta kamu ajarin kimia organik,” jawabnya dengan senyum termanis. “Kamu
tidak akan usir aku kan ? aku pesan cappucini deh, krimnya sedikit saja, Tri.”
Tantri hanya mengangguk. Dia
tidak tahu bagaimana caranya agar Ruben mau pulang. Lagipula Ruben punya hak
untuk berlama-lama di cafe seperti layaknya pengunjung lain.
Kalau tidak sibuk Tantri datang
ke mejanya untuk menerangkan kimia organik. Ruben mengangguk-angguk puas. Dia
senang dengan cara Tantri menerangakan kimia organik. Jelas tidak
berbelit-belit.
“Harusnya kamu yang jadi guru
kimia-nya, Tri. Bukan pak Kun yang tidak bisa mengajar....”
Sampai jam lima Ruben masih di
cafe. Tantri melepaskan celemek dan mengganti seragam pelayannya dengan baju
sekolahnya kembali. Dia keluar menemui Ruben.
“Ben, kamu tidak inagt pulang,
sudah jam berapa nih ?”
“Lho, kan nunggu kamu selesai
tugas. Aki ingin mengantarmu pulang,” suaranya masih terdengar ringan. Tantri
menatap wajah Ruben seraya geleng-geleng
kepala bingung.
“Tidak usah, Ben. Aku biasa naik
bis kok. Lamu pilang saja deh....”
“Lho, kita kan bisa sama-sama.
Kamu juga sudah mau pulang kan?” Tantri tidak bisa berkata apa-apa lagi. Dia lelah menghadapi tingkah Ruben yang aneh
hari ini.
Dibirakan Ruben yang membukakan
pintu mobil untuknya. Sungguh, Tantri tidak ingin berpikir macam-macam. Fisiknya
sudah lelah terkuras untuk sekolah dan kerja.
“Thank’s Ben. Lain kali kamu tak
usah serepot ini.”
Suaranya baru terdenagn tegas.
“Aku tidak repot kok. Aku malah
senang karena kamu sudah membantu menjelaskan kimia organik. Thank’s juga yah
Tri”
Ruben melambaikan tangannya.
Tantri masuk ke gang rumahnya tanpa ingin melepas kepergian Ruben lebih lama.
S
|
udah berapa lama kamu kerja di sini ?” tanya Ruben
begitu datang pada minggu sore. Penampilannya terlihat keren dengan kaos polo
putih dan jins. Tidak heran kalu sekelompok ABG yang duduk di tengah cafe
memandanng Ruben sambil bisik-bisik dan tertawa ceki-kikan. Tantri hanya
geleng-geleng kepala.
Tantri mencatat secangkir kopi
krim hangat dan pie strawberry di kertas pesanan di meja lain dengan bingung.
Baru kali ini Ruben menanyakan banyak hal tentang pekerjaannya.
“Kamu jangan mikir yang
tidak-tidak, Tri. Aku hanya sekedar bertanya, apa tidak boleh?”
Tanpa curiga Tantri menggeleng.
“Bagaimana kamu bisa kerja di
sini ?” lagi-lagi ruben melontarkan pertanyaan ketika Tantri datang membawakan
pesanannya. Tanpa terasa Tantri menjawab pertanyaan-pertanyaan Ruben. Sampai
selesai waktu tugas, Ruben juga yang mengantarkannya pulang.
N
|
ih, kejutan buat lo!” Kishi tiba-tiba melempar
koran sekolah edisi bulan ini ke atas meja Tantri. Setengah bingung, Tantri
mengambil koran itu. Sesaat kemudian wajahnya pucat.
Masyaallah, Ruben tega memuat
kisahnya sebagai pelayandi cafe itu. Di halaman depan itu ada foto Tantri yang
masih mengenakan seragam pelayan. Tantri
tak mengerti bagaimana Ruben bisa memotretnya secara diam-diam.
“Puas lo sekarang yah?” Kishi
meliriknya tajam. Tantri tak berkata apa-apa. Dirobeknya koran itu dengan
gemetar. Tantri tak menyangka Ruben yang disangkanya baik tega membuatnya malu
seperti ini.
Dia pura-pura tak mendengar.
Lalau duduk di bangkunya seraya sibuk mengeluarkan buku-buku dan alat-alat
tulisnya dari tas ransel.
“Tri, Dion berkelahi dengan
Ruben di lapangan basket!” teriak Yosi yang baru datang.
Tantri mengikuti Yosi ke
lapangan basket. Gadis itu melihat Dion berkelahi dengan Ruben. Keduanya tidak
mau saling mengalah. Sampai akhirnya pak Gio, guru olahraga meleraikannya.
Tantri mengobati wajah Dion yang
terluka di UKS.
“Seharusnya kau perlu bembelaku,
Yon”tutur Tantri tenang.
“Aku tidak rela Ruben
menghinamu, Tri. Apa salahnya kau bekerja sebagai pelayan cafe.”
“Mereka tidak sama cara
berpikirnya denganmu, Yon. Sudahlah. Aku tidak peduli lagi,” Tantri menunduk.
Dion memandang wajah lembut
Tantri dengan rasa iba. Tiba-tiba saja dia ingin melindungi gadis itu. Ingin
memberi apa saja asal gadis yang di hadapannya bahagia.
T
|
ak sengaja Tantri melihat sosok jangkung yang
berdiri di depan kelas tiga fisik satu. Tantri menghindar, memutar, lewat jaln
lain. Tapi sosok itu mengejar dan pelan menarik tangannya.
“Tri, aku mau bicara.”
“Maaf, saya buru-buru tugas
piket,” dengan pelan juga Tantri mengibas tangan Ruben. Lalu pergi. Tapi Ruben
masih terus membututinya hingga masuk ke kelasnya.
“Ben, saya minta. Mumpung masih
sepi lebih baik kamu keluar.”
“Tri, biar aku jelaskan...”
“Ben, jangan ganggu Tantri!”
keduanya menoleh. Tantri melihat Dion sudah berdiri di depan pintu kelas.
“Yon, aku hanya ingin meminta
maaf,” suara Ruben terbata-bata. “maksudku baik kok. Sungguh. Aku hanya
mengangkat kisah Tantri sebagai gambaran bagaimana susahnya dia mencari uang
untuk membantu meringankan beban keluarganya. Kau tahu, Yon, itu menimbulkan
rasa simpatiku hingga aku tertarik unutk menjadikannya profil di koran kita
bulan ini....”
“Tapi kau tidak meminta izin
Tantri sebelumnya kan?”
“Aku takut Tantri
menolaknya....”
“Kau memang pengecut! Kau pikir
kau sudah hebat apa” dion menunjukkan kepalan tangannya. Tanrti menggeleng.
Menyuruh agar Dion tenang. Ruben tanpa berkata-kata lagi pergi. Sebelum
perkelahian itu meletus lagi.
“Saya pikir mungkin maksud Ruben
baik dia hanya ingin menulis, memberi gambaran remaja yang baik menurut dia,
agar yang lain bisa menilai masih ada anak seperti saya yang harus bekerja
pontang-panting membantu meringankan beban ibu.,” suar Tantri tersendat-sendat.
Dion mengangkat wajah Tantri
seraya menggeleng.
“Tapi bagaiman tanggapan
anak-anak yang lain. Mereka malah mencemoohkan kamu, Tri. Karen mereka selalu
hidup serba berlebihan. Mereka mana mau mengerti kesulitanmu, Tri”
“Tapi toh maksud Ruben tetap
baik. Walau dia tidak berharap hasilnya seperti itu tapi sya rasa dia telah
mencoba.”
Dion memndangnya lurus. Dengan
pandangan kagum yang terlihat jelas.
“Kau berjiwa besar, Tri. Aku
salut!”
Tantri hanya melemparkan
senyumannya. Karena dia sadar, keadaanlah yang membuat dia menerima semuanya
dengan lapang dada.
Tidak ada yang tahu bagaiman sulitnya problem
keluarganya ketika usai Tantri melaksanakan ulangan umum semester lima. Walau
Ruben boleh berbangga hati artikel mengenai profil Tantri menjadi juara kedua
penulisan artikel majalah sekolah se-SMA.
Tapi di tengah kebahagiaan seperti itu Tantri
menerima kesulitan terbesar dalam hidupnya.
Pun ketika anak-anak kelas tiga fisik dua dengan
dada berdebar menunggu hasil rapot mereka. Tidak ada yang tahu bagaimana
cemasnya Tantri memikirkan Awi, saudara satu-satunya yang terkena penyakit
hepatitis.
Awi memang harus dirawat di rumah sakit. Untuk
itu diperlukan banyak biaya. Ibu Tantri tidak sanggup membayar biaya rumah
sakit yang terlalu tinggi. Tabuanga Tantri hasil bekerja menjadi pelayan di
cafe amat sangat tidak mencukupi.
Tantri pasrah jika jiwa Awi tak
tertolong karena mereka tak dapat berbuat apa-apa lagi. Pamannya tak mau
menolong mereka lagi karena hasutan istrinya yang memang dari dulu tidak
menyukai mereka.
Ketika Bu Dahlia mengumumkan
nilai tertinggi di kelas tiga fisik dua, Tantri tak tampil di depan kelas.
“Mengapa Tantri tak datang?”
tanya Bu Dahlia cemas. “Ada yang tahu rumah Tantri? Bagaimana Dion, kamu tahu?”
Dengan lesu Dion menggeleng.
“Tapi rasanyaanak kelas lain
mengetahui rumah Tantri. Dia Ruben, Bu.”
Berita itu tersebar ketika semua kelas larut dalam
kegembiraan Class-Meeting. Adik Tantri meninggal!
Bu Dahlia, Pak Kun, Pak Gio,
Ruben, Dion, Kishi Yosi dan perwakialan Osis melayat ke rumahnya. Mereka sama
sekali tidak menyangka kalau kehidupan Tantri amat sederhana.
Pelan-pelan penyesalan
menyelimuti batin Kishi kala dia melihat tatapan kosong Tantri dan Ibunya. Juga
kondisi rumah mereka yang amat menyedihkan.
Tanpa ragu lagi Dion menarik
tubuh ringkih ke dalam pelukannya. Di dadanya yang bidang, Tantri menangis
tersedu-sedu.
“Saya hanya punya Ibu, Yon. Saya
tak punya siapa-siapa lagi”
“Huss, jangan gitu. Kamu masih
punya kawa-kawan,” Dion membelai rambut Tantri penuh perasaan. ”Dan.. kamu
masih punya aku.”
Tantri tak menanggapi apa-apa.
Pikirannya masih kacau. Diterimanya semua jabatan tangan para tetanggga yang
melayat dengan perasaan hampa.
“Tri, maafkan aku,” Kishi datang
memeluknya. Tantri hanya mengangguk. Diterimanya pelukan Kishi dengan hangat.
“Tri, kamu juara satu, selamat!”
Bu Dahlia menggenggam tangannya erat. Seperti memberi kekuatan. Tantri
mengangguk seraya melihat nilai-nilainya.
Giliran terakhir, Ruben
mendekatinya sambil mengulurkan tangan.
“Tri, semoga kamu tabah menerima
cobaan ini. Aku yakin kamu kuat karena kamu gadis paling tabah yang kukenal.
Kamu mau menerima ku menjadi temanmu kembali kan?”
Tanpa ragu Tantri mengangguk.
Ruben memandangnya denngan tarikan napas lega.
Bapak dan Awi telah meninggalkannya dan kini dia hanya
memililki Ibu, satu-satu miliknya.
****
0 komentar:
Posting Komentar