Kamis, 25 September 2014

Selamat Pagi




Selamat pagi para mahasiswa-mahasiswiku,
Pagi ini kau telah terbangun dari mimpi panjangmu.
Apa yang kau rasakan setelah satu bulan penuh kau berada dalam
sebuah desa yang terpencil, jauh dari pusat keramaian, jauh dari segala
kenyamanan yang selama ini selalu kau rasakan.
Baru kali ini kau rasakan,
betapa susahnya mendapatkan air bersih,
betapa susahnya tidur nyenyak di atas lantai yang dingin,
betapa susahnya mendapatkan informasi yang kau butuhkan.
Namun kau lihatlah,
anak-anak itu tertawa dengan riang,
melihat dengan takjub kamera yang kau bawa,
memperhatikan penjelasan materimu dengan semangat.
Harusnya kau banyak belajar dengan mereka,
bahwa dengan keterbatasan yang mereka miliki,
mereka masih bisa mensyukuri hidup.
Mulai saat ini,
mulailah memotivasi dirimu,
agar hidupmu akan lebih baik lagi,
semoga...
L

Selasa, 23 September 2014

FILE HANTU





Nama saya Klara. Sebelumnya saya adalah anak yang berasal dari keluarga yang harmonis dan serba kecukupan. Tapi segalanya berubah ketika Papa menikah lagi dengan sekretarisnya. Mama syok! Tidak menyangka laki-laki yang dikenalnya baik selama ini ternyata telah mengkhianati cintanya. Mama menjadi depresi berat. Berhari-hari kerjanya cuma mengurungkan diri di kamar. Mas Jay melarikan diri ke pergaulan sesat yang telah mengajarinya nge-drugs dan pesta obat-obatan. Setiap malam Mbak sarah keluyuran dari satu diskotik ke diskotik lainnya. Dia sering bolos kuliah untuk nongkrong dengan ganknya di cafe-cafe. Tinggallah saya, si bungsu, yang tidak tahu mau ngapain di rumah besar itu. Saya tidak tahan dengan penderitaan Mama. Kecewa dengan sikap Mas Jay dengan Mbak Sarah yang telah melarikan diri dari kenyataan. Marah dengan Papa yang telah menyebabkan semuanya berubah seperti ini. Saya beranggapan Papa-lah yang harus bertanggungjawab. Berkali-kali menghubungi Papa. Namun hanya kekecewaan yang selalu saya dapati. Papa seperti tidak peduli lagi. Saya sudah  tak tahan lagi. Saya pikir dengan meneguk racun adalah jalan satu-satunya buat saya melepaskan diri dari beban ini. Saya ingin bebas...
“Gila!” Maki Yovi tidak tahan lagi. Siapa juga yang tidak punya kerjaan ngarang cerita ini? Ini pasti perbuatan iseng teman-temannya. Cuma mau ngerjain dia aja. Brengsek!
 “Lo jangan asal nuduh dong. Yov, Mas Pono sih orangnya pengertian. Dia tahu kok kesusahan kita kalo lagi dikejar deadline tugas. Lagian Mas Pono sendiri sering juga kok ngalamin kejadian yang aneh-aneh. Ssst, lo jangan bilang siapa-siapa yah, Yov. Mas Pono tuh suka ngeliat bayangan wanita cantik di kamar mandi.”
“Ihhh.” Yovi langsung merinding. Dia jadi takut tugas malam. Padahal kalo tugas sebagai asisten lab di kelas malam honornya lebih besar ketimbang kelas pagi.
“Mangkanya jangan-jangan file itu dibuat oleh wanita cantik itu. Yov, gue liat dong,” Dani makin penasaran.
“ Lo gak kuliah?” Yovi melirik jam tangannya
“Bentar aja deh. Bu Ningrum suka telat kok datangnya. Yuk, cepetan! Entar gak kebagian komputer lagi,” Dani langsung membayar minuman mereka. Bergegas Yovi mengikuti langkah Dani.
Yovi mengisi password-nya. Sengaja dia telah menggantinya dengan yang baru. Agar tak seorang pun dapat memasuki homenya. Lalu diketiknya ‘Ndir’ seperti biasanya. Yovi bengong. File yang bernama Klara telah lenyap!
Yovi mengamati kesibukan teman-temannya. Tapi tak seorang pun dapat dicurigai telah memasuki home-nya dan menghapus file itu.
Bergegas Yovi mencari Dani di ruang santai para ketua dan asisten melepaskan lelah. Ada yang sedang menikmati makan siangnya, baca koran, ngegosip atau ngitung sfitt. Dilihatnya Dani sedang membaca sebuah buku komputer di pojok ruangan.
“Dan, file itu hilang,” bisik Yovi.
“Masak sih?” Kan dua hari yang lalu kita baru aja baca isi file itu” Dani menutup bukunya.”Lo yakin?”
“Suer! Ada yang masuk ke home gue lagi. Dan. Kacau deh! Masak ada yang tahu password gue yang baru. Gawat, pasti ada yang bisa nyuri modul-modul program gue.”
“Tenang dong, Yov. Lo yakin gak ngapus file itu? Siapa tau tanpa sengaja lo udah ngapus file itu?” Tanya Dani serius.
“Aduuuuuh, Dani. Gue yakin banget belom ngapus. Lagian buat apa gue ngapus toh gak mengganggu” Sanggah Yovi.
“Ya, udah kita ke lab aja, yuk! Kita selidiki,” Dani telah menarik tangannya masuk ke lab.
Dani membetulkan letak kacamatanya yang melorot. Dilihatnya dengan teliti file-file yang ada di home Yovi. Tapi file itu tetap lenyap! Tidak tahu siapa yang telah menghapusnya.
“Gimana kalo kita cari file dengan menggunakan ‘searching’ usul Dani. Tapi nihil! File bernama Klara itu tetap saja hilang.
“Kalo misalnya file itu udah dihapus kenapa gak kita batalin dengan menggunakan ‘undelete’.?”
“Aduh, Yovi. Jangan mentang-mentang lo bingung jadi ngawur gitu. Mana bisa file yang telah terhapus kita batalin lagi. Kecuali kalo CPU-nya belum dimatin," jelas Dani. Yovi mengangguk-angguk bego.
“Ya udah deh cuekin aja file itu, Yov. Paling-paling juga kerjaan anak-anak. Lo pura-pura aja gak tahu soal file itu,” usul Dani.
“Tapi kayaknya gak ada yang nyinggungin soal file itu deh, Dan. Kalo emang mereka mo ngerjain gue senggak-enggaknya kan nyindir-nyindir soal file Klara itu. Mereka kok pada adem ayem aja?”
“Udah deh, Forget it! Itu aja dipikirin,” Dani tak mau pusing soal itu. Dia lebih suka berpikir yang praktis-praktis aja.
 “Iya deh,” akhirnya Yovi ikutan cuek juga.
Yovi melompati pagar pembatas yang tingginya cuma selutut Yovi. Disapanya Pak Ali, satpam kampus, yang masih setia tugas di pos penjagaan. Padahal sekarang sudah jam sembilan malam.
Yovi naik ke lantai empat. Suasana lab telah sepi. Nyali Yovi langsung ciut. Dia berharap ada yang ngelembur di lab ngerjain tugas. Tapi tumben tak ada siapa-siapa. Bahkan Mas Pono pun telah pulang. Malah menitipkan kunci lab padanya. “Capek” jawabnya ketika ditanya Yovi.
Yovi telah memasuki home-nya. Dipusatkan perhatiannya pada tugas makalah Kewiraan-nya. “Busyet! Banyak banget” makinya melihat tumpukan bahan-bahan makalahnya yang akan dia ketik.
Tiba-tiba kesunyian menyergapnya. Bulu kuduk Yovi merinding. Dia teringat cerita Dani. Ihhhh! Cepat-cepat diketik makalahnya. Sebelum tengah malam dia sudah harus pindah, tekadnya.
Untung kosnya terletak disamping kampusnya. Jika dia perlu ke lab ini kapan saja tidak ada masalah. Seperti sekarang ini, komputernya masih juga rusak, tugas bejibun dan para dosen tidak perduli dengan kesulitan mahasiswanya. Yang penting tugas sudah harus dikumpul.
Konsennya pecah oleh dering telepon. Brengsek! Siapa juga yang iseng nelepon kesini? Yovi berlagak cuek. Siapa tahu yang nelepon itu adalah..... Ihhhh, Yovi merinding lagi. Ingat kejadian yang dialami Ucok.
Yovi menarik napas lega begitu telepon tidak berdering lagi. Disavenya makalah itu. Dia jadi boring ama pekerjaannya. Iseng-iseng dilistnya daftar file-file yang telah dibuatnya.
Jantungnya berdebar-debar. Dia tersentak kaget. Dikenakan kacamatanya untuk meyakinkan. File bernama Klara itu muncul lagi. Mendadak tangannya dingin. Tapi dibukanya juga file itu.
Isinya sama seperti yang dulu. Persis. Tidak ada yang berubah sedikit pun. Yovi geleng-geleng kepala tidak mengerti mengapa file yang hilang itu muncul kembali?
Tiba-tiba telepon berdering nyaring. Yovi menoleh kaget. Dipandangi benda terkutuk itu dengan penuh makian. Angkat-jangan-angkat-jangan... Telepon berdering lagi. Kali ini lebih panjang. “Haloo”, sebuah suara lembut menyapanya halus. Lutut Yovi gemetar saking syoknya. Jangan-jangan yang nelepon wanita cantik yang dilihat Mas Pono di kamar mandi lab itu. “Halo, siapa nih?” Suara itu terdengar tak sabar. 
"Disini Fiska.“
Oh elo, Fis”, Yovi menarik napas lega. “Ada apa kok malem-malem?” 
"Yovi, yah? Sorry Yov, udah gangguin kamu. Gue mo nyari Kak Yosep, udah pulang belom? Soalnya penting! Buku gue kebawa Kak Yos padahal besok gue tes. Bahannya dari buku itu.”
“Udah pulang tuh, Fis. Disini cuma ada gue doang. Yang lainnya udah pulang.”
“Lo sendirian, Yov? Gila berani baget,” suara Fiska terdengar kagum. “Lo gak pernah denger cerita anak-anak yah, Yov?”
“Udah deh jangan nakut-nakutin gue. Gak ngaruh,” kata Yovi sok cuek. Padahal sih kalo Fiska tahu Yovi udah setengah mati ketakutan.
“Iya deh. Good luck aja yah.... Gue tunggu cerita lo besok. Daaahhh!” Yovi membanting telepon gusar. Ugh, kirain siapa! Tanpa peduli dilanjutkan lagi pekerjaanya.
Setengah jam kemudian telepon berdering lagi. Nyaring. Yovi melirik jam tangannya. Tepat tengah malam. Sial! Dia masih harus mengedit makalahnya.
Ini pasti telepon dari... Yovi menggeleng. Sok cuek. Sok konsen sama pekerjannya. Padahal jantungnya makin berdebar-debar.
Tiba-tiba di layar monitor muncul sebuah pesan. “Kok teleponnya gak diangkat-angkat? Saya pegel nih nungguinnya." Mata Yovi melotot. Siapa juga yang iseng ngerjain dia maelm-malem gini?
Telepon berdering lagi. Yovi menatap kecut banda itu. Nyalinya mendadak ciut. Akhirnya diangkat juga setelah menghimpun kekuatan.
“Halo, Lab-Mi disini,” suaranya berubah wibawa
“Halo, Yovi yah? Klara nih....”
“Kla.. ra?,” lidahnya kelu. Tenggorokannya mendadak kering.
Iya, Klara. Yang buat file itu. Klara juga yang ngapus file itu sementara soalnya Klara gak suka Yovi ngasih tau ama yang lain. Cukup cuma Yovi aja yang tau.
“Klara, sebetulnya kamu itu siapa sih? Jangan nakut-nakutin saya dong!” Bentak Yovi panik plus jengkel. Keberaniannya telah timbul kembali.
Terdengar suara tawa panjang menakutkan. Lalu berubah menjadi suara rintihan yang menyayat hati. Bulu kuduk Yovi berdiri. Dia jadi curiga. Jangan-jangan Klara ini yang suka ‘gangguin’ teman-temannya. Wanita cantik yang dilihat Mas Pono di kamar mandi.
Yovi membaca doa-doa. Dia harus tenang. Dia harus melawan ketakutan itu.
“Kamu, ‘penghuni’ di Lab ini, ya?” Tanya Yovi hati-hati.
Diam. Tidak ada sahutan. Kesunyian tiba-tiba menyergapnya. Angin dingin menyentuh kulit Yovi. Seakan ada orang di belakan Yovi.
“Tolong, jangan ganggu kami lagi. Saya berdoa semoga arwah kamu tenang di sisi Tuhan. Amin....” 
Mata Yovi terpejam. Ditutupnya home telepon secepat mungkin.
Ditunggunya lagi siapa telepon itu berdering lagi. Yovi waspada siapa tau kejadian aneh yang menimpanya. Tapi sepuluh menit berlalu. Suasana lab terlihat sunyi senyap. Tidak ada kejadian apa–apa.
Yovi menarik napas lega. Makalahnya telah selesai di-edit. Sebelum nge-print, dia mengambil air wudhu.  
Menunaikan shalat isya. Diakhir shalat dia berdoa untuk Klara. Agar arwahnya diterima oleh Tuhan. Semoga diampuni dosa–dosanya dan diterima amal kebaikannya selama di dunia, Amin YRA...
*****

      





Senin, 22 September 2014

DENISE




Kami lagi gossip seru tentang Pak Hengki yang naksir Bu Aida, ketika Bella menghentikan suapan es krim coklatnya. Matanya asyik memandangi seseorang yang baru saja masuk. Serempak semua kepala menoleh.
Cowok itu dengan tenang mengambil tempat duduk di pojok kantin. Tidak dihiraukannya tatapan-tatapan itu. Dia lalu memesan sesuatu pada pelayan kantin dan begitu pesanannya dating, dia asyik melahap burger dan coca cola tanpa melihat-lihat isi kantin. Seakan dia ke situ cuma ingin makan.
Kulirik diam-diam. Hmmm, cool juga, mana kelihatannya kalem. Tanda cuek gitu. Boleh juga nih cowok. Kayaknya tipe setia yang tidak suka melirik cewek-cewek kece.
“Gila lho, cakep banget.” kali ini Bella bersuara.
“Iya, manis lagi. Aduuuh, pasti mahasiswa deeh.” seru Dinda sambil curi-curi pandang kea rah cowok itu.
Cowok itu Cuma makan dalam waktu sepuluh menit. Setelah membayar makanannya ke kasir kantin itu, dia pun segera berlalu.
“Net, kayaknya aku suka cowok itu.” bisik Denise setelah kami keluar dari kantrn Diaros. Yang lain kayaknya sudah lupa dengan cowok itu. Mereka sudah asyik ngecengin cowok-cowok yang asyik jalan-jalan di seputar komplek Pasiran yang terdapat dua buah sekolah SMA, satu sekolah SMP dan sekolah IKIP.
“Kayaknya dia anak IKIP deh.” kata Denise lagi ketika kami melewati sekolah itu.
“Yaahh, guru dong, Nis.” ledekku.
“Memang kalau guru kenapa, enggak keren?” Denis kelihatan marah. Aku Cuma berhihihi. Denise kalau sudah suka cowok susah melupakannya.
Satu minggu kemudian. Ketika lagi puyeng-puyengnya latihan matemika, terdengar suara ketukan.
“Silakan masuk.” suara Pak Gabril yang mengawasi kami terdengar berwibawa. Bu lila yang sedang mengambil cuti hamil tak dapat mengajar kami untuk beberapa bulan. Terpaksa selama ini Pak Gabril yang sok berwibawa itu mengawasi kami terus.
“Pak Gabril, saya membawa guru pengganti sementara Bu Lila.” Pak Kepala Sekolah masuk dengan seseorang. Serempak semua kepala menoleh.
Denise mencubit tanganku, Dinda bengong, Gladish mengucek-ucek matanya seakan tak percaya. Bella dan Yunita memandangnya tak berkedip. Ya ampun, bukankah itu cowok yang kami lihat di kantin Diaros seminggu yang lalu?
“Bapak tinggalkan dulu. Silakan, Pak Adit mulai mengajar.” Pak Kep-Sek keluar diikuti Pak Gabril. Sepeninggal beliau-beliau, kelas berubah ramai. Tapi tentu saja yang terbanyak jeritan tertahan cewek-cewek yang histeris melihat wajah dan penampilan guru baru itu.
“Nama saya Aditya. Tapi cukup panggil Pak Adit saja. Saya masih kuliah di IKIP jurusan Matematika. Saya mencoba akan mengajar sebaik-baiknya menggantikan Bu Lila sementara. Untuk itu saya mohon akan ada kerjasama yang baik antara kita.” Tuturnya lembut namun tegas. Suaranya simpatik seakan menyihir kami untuk segera menyetujui kata-katanya.
Denise sedari tadi diam. Semuanya asyik ngegosip seru tentang anak-anak SMP I. Kulirik wajahnya yang cantik. Sejak Pak Adit mengajar di SMP I ini. Denise memang kasmaran berat. Yang dibicarakan cuma soal Pak Adit. Pak Adit yang baik lah, yang manis lah, pintar, penuh perhatian dan lain-lain sebagainya. Demi Denise, telingaku kutabahkan untuk mendengar semua pujiannya tentang Pak Adit.
“Eh kita kompetisi yuuk untuk dapetin Pak Adit?” yunita menghentikan suapan baksonya. Lalu mengangguk setuju dengan usul Gladish.
“Enggak bisa! Denise udah naksir duluan. Kita ngalah dong untuk Denise.” Protesku.
“Betul niihh kamu naksir Pak Adit, Nis?”
“Pantesan sekarang kamu rajin benget ngerjain PR dan tugas matematika.”
“Yaa udah kita bantu Denise mendapatkan perhatian Pak Adit. Sori nis, lupain usulku tadi.” Gladish nyengir.
Pelajaran matematika berlangsung tertib dan menyenangkan. Cara mengajar Pak Adit yang enak. Serius tapi tidak kaku. Setiap Pak Adit menyuruh seorang anak maju untuk mengerjakan soal, mereka menunjuk Denise. Denise yang memang dasarnya jago matematika dengan mudah mengerjakan soal itu.
Bila ada tugas pasti Denise yang mengurusnya. Seluruh kelas tahu Denise lagi naksir Pak Adit dan mereka tahu kelima sahabat Denise sedang membantu Denise. Tidak ada yang protes dan iri karena Denise yang kalem dan baik hati itu telah memikat hati isi seluruh kelas.
Dua bulan sudah Pak Adit mengajar. Denise terpaksa harus sabar untuk mendapatkan hati Pak Adit. Pak Adit tetap saja baik dan tidak pernah membeda-bedakan perhatiannya. Denise sudah setengah putus asa tapi kami tetap member semangat untuknya.
“Net, menurutmu apakah aku salah jatuh cinta pada guru sendiri?” Tanya Denise seusai kami belajar kelompok di rumah Dinda. Kebetulan rumahku dan Denise searah hingga kami pulang bareng dengan jalan kaki.
“Menurutku sah-sah saja kamu jatuh cinta. Cinta itu kan anugerah. Siapa saja boleh jatuh cinta pun pada siapa saja. Entah pada sahabat, teman sekelas, teman kakak atau bahkan guru sendiri.” Ujarku so tua.
“Tapi rasanya Pak Adit lebih pantas menjadi abangku. Aku malu. Baru kelas tiga SMP jatuh cinta segala.”
“Ahh, enggak apa-apa kok, Nis, masak iya anak seusia kita enggak boleh jatuh cinta? Pokoknya usaha dulu kalau dia enggak menunjukkan perhatian yang lebih ya udah lupain aja, oke?” Denise mengangguk. Menyetujui usulku.
“Yang penting jangan gara-gara kamu naksir Pak Adit, kamu jadi acuhin belajar kamu. Ingat lho Nis, empat bulan lagi kita ujian akhir. Kita harus belajar sungguh-sungguh biar NEM kita semua bagus-bagus, biar masuk SMA I.” kataku semangat. Denise mengangguk. Seperti membeo saja kata-kataku tadi.

∞ ∞ ∞

RUMAH Bude Eti ramai oleh sanak family. Mbak Ratih kelihatan tambah cantik dan wajahnya berserk-seri menyambut kedatanganku.
“Aduuuhh Inet, kemana aja sih kamu. Mbak udah kangen nih.” Bertubi-tubi Mbak Ratih mencium kedua pipiku.
“Sori mbak, baru sekarang Inet sempat mampir. Habis sibuk belajar untuk menghadapi Ebtanas.”
Dengan tidak sabar Mbak Ratih menggandeng tanganku. Ingin cepat-cepat memperkenalkan aku dengan calon tunangannya.
Haaahh, Pak Adit? Aku terbengong-bengong. Pak Adit juga memandangiku tak percaya.
“Lhooo kalian saling kenal?” Tanya Mbak Ratih bingung.
“Aku mengajar Matematika di sekolahnya, Rat.” Jelas Pak Adit. Aku Cuma mengangguk saking shock-nya. Aku tak dapat membayangkan bagaimana reaksi Denise jika mengetahui Pak Adit akan bertunangan dengan Mba Ratih, sepupuku itu.
Aku tak mengatakan apa-apa kepada kelima sobat kentalku mengenai rencana pertunangan mereka beberapa bulan lagi. Apalagi kepada Denise. Aku tak ingin konsentrasi belajarnya akan terganggu.
Sedikitnya Denise sudah mencoba melupakan Pak Adit untuk menghimpun konsentrasinya menghadapi Ebtanas. Walau sekali-kali dia masih membicarakan tentang perasaannya terhadap Pak Adit.
Semua wajah tampak berseri-seri. Kami berenam saling berangkulan membentuk sebuah lingkaran kecil. Kami lulus dengan NEM baik dan yang paling surprise, kami semua diterima di SMA I.
“Net, Pak Adit.” Bisik Denise setelah mencoret-coret seragam dengan cat semprot dan spidol. Aku menoleh mengikuti arah tunjukan Denise.
Siang ini Pak Adit terlihat santai dengan kaos polo krem dan celana bahan coklat. Rambutnya dipotong pendek. Wajahnya terlihat berseri-seri. Iya seminggu lagi mau tunangan, siapa sih yang tidak bahagia?
“Kalian lulus semua kan? Gimana NEM-nya bagus?” Pak Adit datang menghampiri kami dan memberi ucapan selamat.
“Lulus doong!”
“Dapat SMA I.”
“Waaahh hebat dong.” Pujinya lagi. Dia lalu mengeluarkan sebuah amplop dari tas kerjanya.
“Kalau hari minggu besok kalian tidak ada acara kemana-mana, saya minta kalian sudi datang ke acara pertunangan saya dengan Ratih, sepupu Inet.” Pak Adit melirikku dengan wajah berseri-seri.
“Haahhh?” semua terbengong-bengong.mereka setengah tak percaya Pak Adit bakal menjadi calon saudara sepupuku. Tak sengaja kulihat mata Denise berkaca-kaca.
Setelah Pak Adit pamit menuju ruang Kep-Sek, semua sobatku menyemprotku dengan cat ke baju putih-biruku.
“Payah nih anak. Diam-diam bakal saudara sama Pak Adit.”
“Enggak bilang-bilang lagi.”
“Dasar pengkhianat!”
Setelah berkali-kali aku minta maaf, mereka baru melepaskan semprotan cat itu. Aku baru sadar ternyata Denise sudah tidak ada bersama kami.
“Dinda, Denise kemana?” tanyaku panik. Mereka baru sadar juga akhirnya. Lalu segera kami mencari Denise ke kantin, perpustakaan, WC, aula. Ternyata Denise tengah melamun di taman belakang depan kolam teratai.
“Nis, kenapa?” Tanya Bella lembut. Denise mengangkat wajahnya. Matanya terlihat  basah.
“Sudah deh Nis, relain Pak Adit pergi dengan hatimu. Broken heart itu soal biasa. Masih banyak episode-episode cinta lainnya. Siapa tahu pertemuanmu dengan Pak Adit Cuma sepenggal episode.” Kata Dinda sok puitis.
“Nanti di SMA I kita cari lagi cowok kayak Pak Adit, aku yakin deh masih banyak Adit-Adit yang lain. Yang lebih oke dan sesuai sama kita-kita.” Sambung Yunita.
“Memang kosmetika, apa?” sambar Gladis jail. Yunita melotot.
“Sudah Denise sayang, hapus air matamu. Kecantikan diwajahmu akan hilang, Dik.” Gurau Bella.
Perlahan mendung di wajah Denise lenyap. Senyumnya tersungging di bibirnya yang mungil.
“Ngomong-ngomong Pak Adit punya adik cowok enggak Net?” Tanya Gladish serius.
 “Ada dua malah. Adel dan Abel. Kembar lho. Sekolahnya di SMA I.” jawabku semangat.
“Cari yuukk!”
“Ayuuuk siapa takut!”
Kami beriringan pulang. Kami kembali ribut becanda dan ngegosip.
“Betul Net, Pak Adit punya kembar?” bisik Denise serius seakan tak percaya dengan informasiku tadi.
“Iyaa benar. Masak kamu enggak percaya sih….”
“Kenalkan aku satu yaa Net? Betul lhoo!”
Aku bengong. Denise sudah melupakan kesedihannya. Dasar cinta anak SMP. Ternyata cuma cinta monyet belaka. Biar air mata sudah keluar juga, tapi tetap saja mudah untuk dilupakan. Siapa bilang first love never dies.



Cerpenkoe di Majalah Kawanku




B
u rida, wali kelas 3A, nyuruh anak-anak bikin kelompok belajar. Ebtanas.
Kelompok Ade kekurangan satu anak. Dia pengin Uli masuk kelompoknya. Molin, Yayo dan Fatur juga setuju.
“Daripada dia nongkrong enggak karu-karuan sama gank-nya. Sambil ngerokok dan cekakak-cekikik. Gue rasa sih mereka juga minum,” ujar Molin disaat mereka belajar bersama untuk pertama kalinya dirumah Ade.
“Maksud lu mereka minum coca-cola gitu,” goda Yayo.
Molin cemberut. Terus terang aja ngomong tanpa memperhatikan ulah Yayo.
“Sejak bokapnya kawin lagi sama sekretarisnya, dia frustasi berat. Sampe mogok sekolah lagi. Tapi akhirnya masuk juga, soalnya enggak tega sama nyokapnnya yang sering masuk rumah sakit karena ulah suami.”
“Lo kok tau banyak sih?” tanya Adeh heran. Menghentikan membahas soal-soal matematik.
“Bigos! Masak lu enggak tau sih, De?” Fatur senyum masih asyik dengan corat-coret geometrinya.
Elegi buat uli

“Ini bukan soal gosip doang! Semuanya juga tau. Termasuk Pak Bon, penjaga sekolah,” Molin tetap bersikeras.
“Wah, si Uli ngetop juga yah?” Yayo nyengir. Tapi Molin enggak pedUli. Mulut nya tetep aja ngegosip.“Li, lu udah punya kelompok belajar?” tanya Ade. Diliatnya pagi-pagi Uli udah nongkrong di kantin sambil ngelamun. Nasi goreng dan teh manisnya dicuekin begitu aja.
“Belon,” Uli menoleh sebentar. Lalu ngelamun lagi.
“Mao masuk ke kelompok gue?”
Uli menghela nafasnya yang kelihatan berat. “Boro-boro gue mau ikutan kelompok belajar. Gue malah mao berhennti sekolah aja.” Nadanya terdengar pesimis. Ade ngeliat mata Uli merah. Mulutnya tercium bau yang enggak enak. Ade jadi kasihan banget ama Uli. Dia pengen nolongin cowo itu.
“Li, jangan gitu dong. Kan kasihan orangtua lu. Kenapa lu nyia-nyiain kesempatan lu buat belajar. Seharusnya lu bersyukur bisa sekolah. Coba sekarang lu liat di jalan-jalan. Meraka terpaksa jualan koran, ngamen, jadi tukang semir sepatu bahkan ada yang minta-minta. Sekolah bagi mereka Cuma mimpi. Khayalan yang enggak bakal jadi kenyataan. Sedangkan lu yang segala sesuatu kebutuhan materi bis tercukupi dengan baik tapi malah ngebuang kesempatan itu,” nasihat Ade panjang lebar.
Lu bisa ngomong gitu karena lu berasal dari keluarga harmonis, enggak kayak gue. Coba kalo lu jaadi gue, apa lo masih bisa ngomong gitu?” suaranya ketus. Tatapannya berubah  dingin.
“Setiap orang punya masalah, Li. Enggak Cuma lu, gue juga. Tapi mungkin takarannya beda. Tapi itu enggak penting. Yang penting gimana caranya ngAdepin masalah itu dan mencari jalan keluarnya.”
Uli diam dengan pandangan mata kosong. Ade berharap Uli mao mencoba mencerna kata-katanya.
Dua hari kemudian Uli datang ke bangku Ade dan dia setuju masuk ke kelompok belajarnya Ade dan janji mao datang ke rumah Ade entar sore buat belajar fisika dan bahasa Inggris.
Acara belajar sore itu berjalan sukses. Ternyata Uli temen yang nyenengin juga. Uli bisa belajar serius., ngocol dan ketawa rame kalo abis belajar. Dan Uli juga mao bantuin bokap Ade Ade gantiin ban mobil dan nganterin riri, adik Ade, beli coklat di toko depan.
Lama-lama mereka bisa temenan juga. Ade banyak bantuin Uli soal belajar.  Walau dalam soal problem keluarganya, Uli tertutup banget. Tapi Ade enggak pedUli. Baginya itu urusan Uli.
Untuk ngebales kebaikan Ade itu, Uli kadang kala ngajak Ade nonton, nraktir makan. Mereka juga sering ke toko buku bareng atau sekedar nongkrong di toko kaset. Ade seneng punya temen yang nyenenbgin kayak Uli.
“Itu karena lo seneng diteraktir nonton, makan atau JJS ama Uli kan?”
Ade Cuma geleng-geleng kepala. Enggak nyangka lin bakalberpikir sekerdil itu. Suer, Ade enggak ngeliat Uli dari sisi kayanya. Dia seneng temenan ama Uli apa adanya. Di matanya Uli anak baik, enggak sombong walau anak orkay.
Tapi beberapa minggu kemudian, Ade sedih ngeliat Uli bolos sekolah dan ngumpul-ngumpul lagi dirumah iyus yang enggak jauh dari sekaolah. Setelah sekolah bubar, Ade diantar Fatur ke rumah iyus. Cuma mao ngasih tau bahwa entar sore ada jadwal belajar bareng.
Uli Cuma ngeliatin Ade dan Fatur dengan tatapan kosong. Ade ngeri ngeliatnya. Kata Fatur, Uli lagi fly. Ade enggak ngerti gimana Uli dan gank iyus bisa minum-minum dan fly kayak gitu.
“Ortunya Iyus kan lagi enggak disini, De. Jadi dia bebas ngajakin gank-nya berbuat yang enggak-enggak kayak gitu,” Fatur menjawab pertanyaan Ade dalam mmobil Fatur. Ade nebeng mobil Fatur yang dibawa ama sopir keluarga Fatur.
Seminggu penuh Uli enggak masuk. Ada yang bilang Uli pergi pergi ke Amrik nemenin nyokapnya shopping. Tapi gosip yang lebih di percaya Uli masuk rumah sakit ketergantungan obat.
Masya Allah! Ade sampe ngucap-ngucap nama Allah. Shock  ternyata Uli separah itu.
Senin berikutnya Uli masuk dengan tubuh lemah dan wajah pucat. Kepalanya menunduk terus. Malu. Hampir seluruh isi sekolah tau keadaan yang sebenarnya.
Enggak ada satu pun yang sudi ngajak Uli ngomong. Apalagi temenan. Mereka benci ama kelakuan Uli. Tapi suer, Ade enggak tega ngeliat Uli kemana-mana sendirian. Sejak peristiwa itu sopirnya rajin nganter dan ngejemputnya ke sekolah.
“Li,” panggil Ade pelan enggak tega ngeliat keadaan Uli. Pandangan kosong menatap Ade sebentar. Lalu menunduk. Pura-pura sibuk bolak-balik buku paket biologi.
“De, tinggalin gue sendiri. Lu enggak pantes jadi temen gue.”
“Li, biar gimanapun gue tetep temen lu.”
Uli menggeleng. “Tolong jangan hibur gue dengan kata-kata itu. Gue udah enggak pa-pa kok.”
“Li, suer, gue tetep temen lu!” Ade datang mendekat. Ditariknya tangan Uli.diajak salaman. Uli bengong. Menatap Ade enggak percaya. Tapi kepala mungil itu mengangguk kuat-kuat, Uli akhirnya narik nafas lega.
Sejak itu mereka temenan lagi. Ade enggak Cuma nolongin Uli dalam soal belajar. Tapi juga kasih nasihat-nasihat untuk Uli. Ade ngerasa lega karena Uli janji mao jadi anak baik-baik.
Sebulan kemudian Ade terkejut ama berita keluarga Uli yang mendadak jadi pembicaraan dimana-mana. Bokapnya masuk pengadilan karena di tuduh korupsi uang perusahaan. Istri muda nuntut cerai sebelum kabur keluar negeri bawa sebagian harta bokap Uli.
Sejak  itu Uli enggak pernah msuk sekolah lagi.

       ****


“KENAPA buru – buru pulang sih?” omel Mutia begitu dilihatnya Ade berlarian ke pintu gerbang sekolah ketika sekolah bubar.
“Capek. Gue pengen cepet pulang. Mana panas banget lagi. Gue pengen cepet sampe rumah. Mudah – mudahan enggak macet deh,“ Ade sibuk mengipas – ngipas tubuhnya dengan buku gambar.
“Minum es kelapa muda dulu yuk,” ajak Sisi. Tapi Ade menolak.
Dia buru – buru nyetop bis jurusan Blok M sampai di terminal Blok M Ade bergegas nyari bis nomor 12. Hup, untunglah enggak gitu ramai. Biasanya jam segini bis selalu penuh. Sambil narik nafas lega Ade duduk.
Dikeluarinnya Sidney Sheldon yang berjudul Malaikat Keadilan milik Mutia dari tas ranselnya.
“Ongkosnya, No.” Ade nyodorin uang seribuan tanpa mengangkat wajahnya dari novel itu.
“Enggak ada uang kecil, de?” suara itu bergetar. Ngembaliin uang Ade. Refleks, Ade ngangkat wajahnya. Dia kaget begitu ngeliat seorang cowok dengan kaos oblong kumal dan jins belel tersenyum  padanya. Uli!
Tubuhnya yang dulu kurus kini jangkung dan berisi. Wajahnya yang dulu putih mirip Indo kini gelap dan tak terurus.
“Li,” Ade menggigit bibir mungilnya. Dia terharu banget bisa bertemu dengan Uli lagi. Sekaligus kasihan. Siapa yang nyangka kalo Uli yang dulu hidupnya berlebihan dalam segala hal kini harus bekerja sebagai kenek untuk menyambung hidupnya. Hidup memang bagai teka – teki. Susah ditebak.
“Rumah lu masih dibelakang apotik Senopati kan, De? Kapan – kapan gue maen kesana, “ katanya sebelum Ade turun.
“Betul ya? Gue tunggu lho!”
“Lu gak malu kan punya temen kayak gue,” enggak ada nada pesimis. Biasa aja. Ade yakin Uli udah kuat ngAdepin segala cobaan.
Hari minggu Uli menepati janjinya. Aku udah banyak cerita ke papa dan mamanya. Mereka nerima Uli dengan baik.
Uli cuma pake kemeja yang udah lusuh dan jins belel itu. Beda banget ama penampilannya yang dulu. Yang keren dan serba mAde in  Amrik.
“Minum dulu deh, Li,”  Ade nyuguh teh hangat dan bolu pandan buatan mama.
:Thank’s, De,” dia minum teh itu sedikit. “Ngomong-ngomong lu sekolah dimana?
“SMA 14 di daerah Cililitan. Gue bareng Molin dan Fatur. Lu masih inget mereka kan, Li? Cuman gue enggak sekelas ama mereka. Fatur ke fisik, Molin di 2A2-1 dan gue sendiri dapet di 2A2-2.”
Uli lalu cerita tentang dirinya.
“Papa masih mendekam di penjara. Papa sudah lama cerai dari Tante Siska. Sedangkan Mama.. udah pergi, De. Beberapa bulan setelah Papa di penjara,” matanya berkaca-kaca. Ade menggigit bibirnya. Menahan supaya air matanya enggak jatuh.
“Gue nyesel, De. Kenapa dulu gue enggak serius sekolahkayak lu dan anak-anak yang lain. Gue malah gampang terpengaruh ama gank iyus yang enggak benar itu. Dulu, gue begitu putus asa ama kelakuan Papa dan ngelariin diri ama hal-hal yang bisa ngerusak diri sendiri. Seandainya gue mao dengerin terus kata lu mungkin gue masih bisa sekolah, matanya masih aja berkaca-kaca.
“Emangnya waktu itu lu kemana, Li?
“Setelah berita itu menyebar kemana-mana, gue malu banget, De. Gue kabur. Hidup gue enggak menentu. Gue jadi gelandngan. Lalu gue balik lagi ke Jakarta. Gue sekarang harus berjuang demi hidup gue sendiri.yah, jadi kenek bis gini.”
“Lu enggak mao sekolah lagi?” tanya Ade hati-hati. Ketika di liatnya Uli diem aja. Pikiranya mengembara ke langit sana.
“Bagi gue sekarang sekolah Cuma mimpi, khayalan yang enggak bakal jadi kenyataan.”

Ade menggigit bibir mungilnya lagi. Perih. Dia pernah ngeluarin kata-kata seperti itu. Persis dua tahun yang lalu.

Jiwa-Jiwa Melayang





Ben bergegas berdiri dan turun tepat di depan sekolahnya yang baru. Suasana STM Kusuma bangsa sudah ramai oleh para murid yang mayoritas kaum  cowok. Ben mendekati papan pengumuman pembagian kelas.
“Kelas I-1,” eja Ben bangga.
“Dapat di kelas mana?” Seseorang menyerobot kerumunan itu dan berdiri tepat di sampingnya. Ben menoleh. Seorang cowok bertampang indo, jangkung dan keren tersenyum ramah padanya.
“Kelas I-1.” Jawab Ben malas. Lalu meninggalkan kerumunan itu, pergi mencari kelasnya.
Belum banyak yang datang. Ben bergegas mencari tempat duduk paling belakang. Dengan tak peduli dia mengeluarkan kumpulan komik silat yang dia pinjam dari Bang Ali.
“Hei, sekelas kita rupanya ?” Ben mengangkat wajah. Dilihatnya si indo tampan. Dia tersenyum ramah. Ben membalas ala kadarnya.
“Boleh aku duduk di sini?” Si indo menunjukkan bangku yang masih kosong di sampingnya. Ben cuma mengangguk. Seperti tidak peduli dengan cowok keren itu.
Lima menit kemudian, Ben menangkap gerakan lincah memasuki kelas. Sosok mungil dengan wajah manis, rambut bob pendek, kacamata frame putih mungil dan tas ransel kulit, seakan menyita perhatiannya.
“Manis memang,” makhluk di sampingnya sibuk berdehem. Ben tersenyum kesal.
“Kita belum kenalan,” si indo menyodorkan tangan yang terawat begitu apik. Ben mencibir. Cowok model apa dia itu?. Tapi tak urung Ben membalas menjabat tangan.
“Fey,” dia menyebut namanya
“Ben,” jawabnya acuh tak acuh
Ben tidak menyangka si apik itu ternyata pintar. Setiap soal yang dilemparkan guru-guru baru mereka, Fey dapat mengerjakan dengan baik. Diam-diam Ben kagum. Karena walau pintar. Fey tidak sombong. Dengan senang hati dia membantu teman baru mereka yang kesulitan belajar.
“Pulang bareng, yuk, rumah kita searah kan?” ajak Fey setelah selesai memasukkan buku-buku ke tas ransel Adidas-nya dengan rapih.
“Makasih. Aku biasa ngebis.” Ben asal-asalan memasukkan  buku-buku ke tas ransel bututnya. Lalu pergi tanpa pamit meninggalkan Fey.
Di dekat pintu kelas, tubuh jangkung nya hampir menabrak tubuh mungil yang terburu-buru masuk kelas.
“Maaf.” Wajah polos itu merasa bersalah. Ben cuma senyum sedikit, memaafkan lalu pergi begitu saja seperti tidak ada kejadian apa-apa.
Setengah kecewa sisi melepas kepergian cowok itu. Padahal sisi suka melihat wajah dingin itu. Entah mengapa seperti ada yang menarik dalam dirinya.
“ada yang ketinggalan, kok balik lagi?” sapa Fey ramah.
“buku saya.” Sisi tersenyum malu.
“hati-hati, jangan ada yang ketinggalan lagi.” Nasehatnya penuh perhatian. Sisi mengangguk.
Fey mengajaknya pulang bareng tapi Sisi menolak karena telah dijemput oleh supirnya. Dalam mobil, Sisi sibuk melamun. Seandainya cowok dingin tadi yang mengajaknya pulang bareng, naik bus juga Sisi rela.
Tapi ahhh, cowok itu terlalu acuh. Sisi mengedarkan pandangannya ke luar jendela. Berharap menemukan Ben di dalam bus. Tapi dia kecewa, entah ke mana perginya tubuh jangkung itu.
Ben tidak menanggapi surat panggilan mengenai SPP dari petugas tata usaha. Ibunya belum berhasil meminjam uang dari Bu Magdalena, rentenir itu.
Surat panggilan ketiga datang. Ben terpaksa ke kantor tata usaha untuk menjelaskan keadaan yang sebenarnya,
“SPP-mu sudah dibayar tiga bulan berturut-turut,” kata Pak Tohir sambil membuka buku besar yang memuat data-data pembayaran SPP.
“Tapi kartu SPP-nya ada di saya, Pak.” Bantah Ben bingung.
“Sudah dibayar atas nama Martinus Feyanto.”
Ben melangkah lesu menuju kelas. Kini dia merasa berhutang budi pada teman sebangkunya. Ketika sampai kelas, dilihatnya cewek mungil itu tengah asyik bercanda dengan Fey.
Ben sempat melihat kebahagiaan yang ketara dari wajah keren itu. Diam-diam Ben mengeluh. Ben tahu Fey jatuh hati pada Sisi.
“Darimana?” tanya Fey setelah Sisi pamit ke perpustakaan dengan Oki.
“Kantor tata usaha.” Wajah Ben dingin.
“Maaf, Ben, aku tidak bermaksud mencampuri urusanmu. Sumpah, niatku baik kok, cuma ingin menolongmu. Keberatan?”
Ben diam. Dia tahu sekali utang tetap utang. Tapi bagaimana lagi. Sudah syukur Fey mau menolongnya.
“Kita pulang bareng, Ben.”
“Ke mana Starlet-mu?” wajah Ben heran. Dia tengah meneliti gambar proyeksinya yang sudah dinilai Pak Bas.
“Masuk bengkel.” Fey menjejeri langkah Ben.
“aku akan membiasakan diri naik bus. Anak masih bau kencur seperti aku rasanya tak wajar membawa mobil mengkilat ke sekolah. Rasanya terlalu pamer dan membuat perbedaan yang mencolok dengan yang lain.”
“Kuat kau naik bus.” Ledek Ben. Fey senyum. Tidak biasanya Ben tersenyum selebar itu.
Bus yang mereka tumpangi tidak terlalu penuh oleh penumpang. Sehingga mereka leluasa mengobrol di bangku belakang. Tapi tak lama kemudian segerombolan anak SMA naik dan terjadilah keributan yang tidak mereka inginkan.
“Lu berdua anak STM ya, yang kemarin bikin gara-gara, teman gue tuh masuk rumah sakit…”
Belum sempat Fey menjawab, seorang dari mereka menghantam pipi kiri Fey.
Ben langsung berdiri dan memukul punggung anak itu. Anak yang lain menghantam Ben dari belakang, Ben terjatuh.
Suasana bus berubah kacau balau. Anak-anak itu semakin beringas. Sopir kenek bus dan semua penumpang turun menyelamatkan diri.
Fey dan Ben terus mencoba mencoba melindungi diri dengan mengandalkan pertahanan dan serangan balasan. Ben sempat kagum karena ternyata Fey jago karate.
Seorang anak bertopi nekad menghunuskan pisau ke perut Fey. Nyaris saja benda itu menyentuh perut Fey. Ben dengan sigap menendang pisau. Tapi anak lain memukul punggungnya dengan keras.
Begitu ada kesempatan, Fey menarik dan menyeret tubuh Ben keluar dari bus. Sambil menuntun Ben yang sudah tak berdaya, fey berlari mencari taksi. Untunglah tak lama kemudian aparat keamanan datang.
Fey mengantarkan Ben pulang.
Selama hampir lima bulan mereka bersahabat, sungguh baru kali ini Fey tahu keadaan Ben yang sebenarnya.
Rumah Ben sangat sederhana berhimpit-himpit dengan rumah kecil yang lokasinya tak sehat. Mereka melewati sungai yang airnya keruh dan baunya memualkan perut Fey.
“Kenapa, Ben?” Seorang ibu berumur 40-an buru-buru menyongsong. Ben tak dapat berkata apa-apa. Mulutnya cuma bisa mengaduh-aduh.
“Las, Lastri, tolong ambilkan air hangat dan betadine untuk kakakmu.”
Tak lama kemudian seorang gadis yang masih mengenakan seragam putih-biru keluar membawakan semua suruhan ibunya.
Ben ditidurkan di bale-bale di ruang tamu berukuran kecil yang diisi beberapa kursi sederhana dan meja kayu. Selain itu Fey hanya melihat sebuah tv tua di atas bufet kecil di ruangan itu.
“Bu, ada yang mau beli gado-gado,” adik Ben menyela suara ibunya yang tengah sibuk menasehati Ben.
“Ya, sebentar…,” ibunya merapikan letak bantal. “Nak mau makan siang di sini?” tawarnya ramah sebelum ke luar.
“Terima kasih, Bu. Saya pamit saja,”
“Te-te-terima kasih, Fey,” kata Ben susah payah.
Fey menggeleng.
“aku sudah hutang nyawa padamu dan itu amat penting.”
Ben mencoba tersenyum tulus
Berita itu amat menggemparkan seluruh isi sekolah. Fey tersental dan hampir kalap memukul-mukul tembok kantin hingga tangannya nyaris berdarah.
Sisi cemas melihat keadaan Fey. Namun tak urung sudut matanya basah. Dia mencoba memejamkan mata, tapi yang hadir malah bayangan Ben.
Ben telah menarik hatinya, tapi sayang Ben terlalu cuek hingga Sisi tak berhasil menarik perhatiannya. Ben terlalu dingin. Terkesan angkuh.
Tapi siapa sangka kini si angkuh tewas oleh sebuah tawuran. Ya tawuran! Ya, Allah! Sisi menarik napas dalam-dalam. Wajahnya yang kini telah kuyup oleh air mata.
“Aku harus membalas dendam, Si.” Mata itu berubah garang. Tak ada lagi kesan ramah dan lemah lembut. Sisi sampai bergidik melihatnya.
“Tidak ada gunanya, Fey. Tawuran lalu membawa korban. Apa kematian harus dibalas kematian? Apa kaupikir dengan balas dendam itu akan membuat Ben hidup kembali?”
“Dulu Ben juga pernah berkata begitu, Si. Kau tahu sebenarnya aku hutang nyawa. Ben pernah beberapa kali menyelamatkan jiwaku dari amukan tawuran itu,” wajah Fey terlihat amat sedih. Sisi menggigit bibir hingga pedih. Menahan kesedihan yang sama.
Sungguh, Fey tak rela Ben pergi secepat itu. Rasanya Ben lebih berhak mengecap masa mudanya lebih panjang. Kalau saja kemarin Ben tidak menunggu sampai hujan berhenti dan tidak ketiduran di masjid sekolah mungkin dia tidak mengalami kejadiaan naas seperti itu.
Tapi Ben terlambat pulang. Dia naik bus yang agak sepi penumpang dan terjebak tawuran yang tiba-tiba hadir di bus itu di depan sebuah sekolah. Supir, kenek bus dan penumpang yang lain hanya bisa menyelamatkan diri.
Ben terlambat untuk menyelamatkan diri. Dia terkepung dalam bus. Dan segerombolan anak sekolah itu dengan buas mengahantamnya berkali-kali. Ben tak berhasil mempertahankan diri ketika sebuah benda berat menghantam kepalanya. Darah bercucuran dari kepalanya.
Polisi menemukan dia sudah tak bernyawa. Gerombolan anak itu ditahan dan konon akan diadili.
Fey tidak mengerti ketika Sisi menangis tersedu-sedu saat memandang tubuh beku Ben.
“Si, tenanglah,” hibur Fey tak berdaya.
Sisi masih saja menangis tersedu-sedu.
“Sebetulnya Ibu tidak setuju Ben sekolah di STM. Ibu ngeri mendengar berita perkelahian antara anak-anak itu. Tapi ibu tahu Ben anak baik. Dia tidak pernah terlibat apa-apa. Tapi kasihan nasibnya malang.”
Fey melihat wajah tua itu sarat akan kepedihan.
“Orangtua dari anak-anak yang terlibat datang ke sini. Menyodorkan secarik kertas dan meminta Ibu menandatangani seraya menyebutkan sejumlah uang. Ibu tak mengerti segitu rendahkah harga sebuah nyawa?” Ibu Ben kini menangis. Airmatanya meleleh ke pipi.
Pemakaman itu telah sepi. Cuma ada Fey yang sibuk berdialog dalam batinnya. Dia tidak rela Ben pergi secepat itu. Dia menyayangi Ben bagaikan saudaranya sendiri.
Dengan mata basah, Fey membolak-balik buku harian Ben. Fey tidak menyangka Ben ternyata mempunyai catatan hati. Rasanya baru kali ini tabir yang menyelubungi Ben terungkap.
Ben menjadi anak acuh tak acuh karena rasa minder yang melihatnya dari kecil. Karena kecerdasan Ben selalu diterima di sekolah yang terbaik. Di sekolah seperti itu Ben kerap kali menemukan kehidupan yang gemerlap milik teman-temannya.
Ben sadar siapa dirinya. Dia tak pernah mempunyai bapak, ibunya cuma penjual gado-gado dan Lastri, saudara satu-satunya. Selain itu dia tak punya siapa-siapa di dunia ini. Jangankan sahabat, teman saja cuma untuk bersapa ala kadarnya.
Karena itu dia merasa hari-harinya berubah nuansa sejak mengenal Fey dan pertama kali bertemu Sisi. Sungguh Fey sama sekali tidak menyangka jika diam-diam Ben menyukai gadis mungil yang manis itu.
Mata Fey basah. Napasnya terisak-isak menahan kepedihan.
Fey melihat tawuran lagi di depan sebuah SMA negeri. Fey tanpa kontrol diri turun dari bus. Seorang anak babak belur di hantam segerombolan anak sekolah. Fey seperti melihat Ben.
Fey menerobos gerombolan dan menyelamatkan anak itu yang tak berdaya lagi. Tapi mereka malah mengepungnya dan mengadakan serangan balas.
Seorang anak nekad mengeluarkan pisau dari ranselnya. Fey bergidik. Mencoba memasang kuda-kuda, tapi anak itu dengan liar menghujamkan pisau ke perutnya. Fey menghindar dan hup, untung pisau itu terjatuh.
Fey berhasil menginjak pisau itu. Tapi anak tadi malah bernapsu dan mencoba mengambil pisau itu lagi dengan menendang perut Fey. Pertahanannya lumpuh ketika seorang anak menghantam punggung dengan keras.
Fey terjatuh. Dirasakannya kepedihan yang amat sangat. Tapi dia tak peduli. Bayangan wajah Ben bagai menari-nari di matanya membuat dia bertahan.
Fey berhasil memungut pisau itu. Anak yang lain bernapsu merebutnya. Tapi sekonyong-konyong serangan datang. Fey tak kuat lagi. Pertahanannya lumpuh.
Darah bercecer ke mana-mana. Fey membelalakkan mata tak percaya. Jeritannya lalu menggema. Tapi pisau di tangannya telah berubah warna. Dan anak di depannya terjatuh dengan segudang makian kemudian suaranya lenyap. Matanya telah terkatup untuk selama-lamanya.
Jika ingin, Fey lebih suka di tempeleng Papa dulu-dulu sebelum peristiwa itu terjadi. Tapi selama ini papa terlalu sibuk dengan dunia bisnisnya sehingga orangtua itu tak pernah tahu apa-apa tentang dirinya.
Selama ini Fey melangkahkan kaki sendiri. Menurutnya Ben jauh lebih beruntung karena dia masih memiliki seorang ibu dan lastri. Fey selalu memberi perhatian yang lebih kepada siapa saja karena merupakan bentuk kompensasi dari rasa kekecewaan kehilangan perhatian dari papa.
Mama? Wanita lembut nan penuh kasih itu telah meninggal sejak Fey kecil. Kecelakaan pesawat ketika akan menengok Oma di belanda.
“Dasar, anak memalukan! Mulai saat ini kau tinggal saja dengan Oma di Belanda sana. Kau telah memalukan nama Papa!”
Pipinya ditempeleng lagi. Keras. Pedih. Dengan pandangan nanar Fey memandang orangtua itu dengan perasaan yang bercampur-aduk. Benci, marah, sakit dan terluka.
Kini dia tidak punya siapa-siapa. Papa telah membuangnya. Fey tak yakin apakah oma sudi menerimanya. Sedangkan Ben telah meninggalkannya untuk selama-lamanya.
“Untung saja Papa dapat menebus kebebasanmu walau dengan harga mahal. Kalau tidak, seumur hidup kau mendekam di penjara!”
Fey menulikan telinga. Terbayang wajah tua ibu Ben. Fey tidak menyangka ini terjadi pada dirinya, pada Papa. Betapa tragisnya
Fey jadi benci pada dirinya. Terlebih pada orangtua di hadapannya. Tapi siapa yang salah? Dia yang ingin menebus nyawa Ben atau Papa yang terlalu mengagungkan nama baiknya?

Kalau saja hidup seperti kaset yang bisa diputar ulang, Fey lebih suka Ben ada. Mereka akan terus bersahabat dan tawuran tak pernah ada. Mungkin tak ada jiwa-jiwa yang  melayang. Jiwa-jiwa yang tersia-sia begitu saja. Mereka akan mengecap masa remaja dengan penuh semangat. Mengejar mimpi hingga cita-cita mereka terwujud.